Breaking News

Kembalikan Bumi pada Syariat Illahi




Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi jika puncak musim kemarau di Jawa Timur terjadi pada Agustus 2020, seiring saat ini sejumlah wilayah di daerah setempat sudah mengalami hari tanpa hujan. Kasi Data dan Informasi BMKG Juanda, Teguh Tri Susanto menuturkan, akibat dari puncak musim kemarau itu sejumlah wilayah berpotensi terjadi kekeringan.

Dia menuturkan, secara nasional berdasarkan hasil monitoring kejadian hari kering berturut-turut dan prediksi probabilistik curah hujan dasarian, terdapat indikasi potensi kekeringan meteorologis hingga dua dasarian ke depan dengan status waspada hingga awas. "Dari hasil monitoring tersebut, wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan meteorologis dengan kategori waspada di antaranya adalah, Bali, Jawa Barat, Jateng, Jatim, Maluku, NTB dan juga NTT," ujar dia. (antaranews.com 21/7/2020)

Sementara wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan meteorologis dengan kategori siaga di antaranya Bali, DI Yogyakarta, Pasuruan Jawa Timur. "BMKG mengimbau masyarakat serta pemerintah daerah setempat yang wilayah berada dalam daftar di atas untuk mengantisipasi dampak kekeringan ini terhadap sektor pertanian, yaitu berkurangnya pasokan air pada lahan pertanian," ujar Teguh.

Krisis air bersih dan darurat kekeringan akut memang tengah melanda hampir seluruh wilayah di Indonesia. Ini merupakan sebuah pertanda bahwa di tangan peradaban sekuler kapitalis bumi tengah menderita kerusakan lingkungan yang sangat parah. Karena sekuler kapitaisme lah yang membuat manusia tidak peduli lagi akan pertanggungjawaban dia di hadapan Allah SWT dalam mengelolah alam yang merupakan titipan penciptanya.

Karena sekuler kapitalisme pulalah manusia hari ini hanya berorientasi bisnis dan keuntungan dalam mengelolah dan memanfaatkan alam. Karena AIlah SWT telah menciptakan sumber daya air yang berlimpah, berikut mekanis daur air agar air lestari bagi kehidupan. Selain itu, Allah SWT juga menciptakan keseimbangan pada segala aspek yang dibutuhkan bagi keberlangsungan daur air. Mulai dari hamparan hutan, iklim, sinar mata hari, hingga sungai danau dan laut.

Penelitian terkini para ahli iklim dan lingkungan menunjukan laju deforestasi yang sangat cepat adalah yang paling bertanggungjawab terhadap darurat kekeringan dan krisis air bersih, di samping iklim ekstrim dan pemanasan global. Keduanya, baik deforestasi maupun iklim ekstrim faktor penghambat sangat keberlangsungan daur air.

Laju deforestasi yakni alih fungsi hutan yang begitu pesat selama beberapa dekade terakhir bukan karena tekanan populasi manusia sebagaimana yang banyak disangkakan. Akan tetapi lebih karena tekanan politik globalisasi dengan sejumlah agenda neoliberal yang hegemoni. Berupa liberalisasi sumber daya alam kehutanan, pertambangan, hingga pembangunan kawasan ekonomi khusus dan energi baru terbarukan. Kondisi ini diperparah dengan eksploitasi mata air oleh pebisnis air minum kemasan, pencemaran sungai dan liberalisasi air bersih perpipaan. 

Semuanya, yakni deforestasi, eksploitasi mata air, pencemaran sungai dan liberalisasi air bersih perpipaan memiliki ruang yang subur dan luas dalam sistem kehidupan sekuler. Khususnya sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi yang melegalkan kelalaian negara. Mereka enggan menghentikannya, bahkan menjadi fasilitator bagi kerusakan ini. Ujungnya, terjadi petaka lingkungan dan perubahan iklim. Sementara itu, penanggulangan dan pencegahan yang di lakukan sistem neoliberal telah gagal. 

Fakta di atas cukup menjadi bukti kegagalan peradaban sekuler kapitalis dalam mengelolah alam. Dan sekaranglah saatnya membangun kesadaran  untuk mengembalikan bumi dan segala isinya ke pangkuan sistem Penciptanya yakni sistem kehidupan Islam. 

Sungguh Allah SWT telah mengingatkan kita dalam QS Ar Rum, 30:41, yang artinya,” Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Yaitu, dalam hal ini kembali pada Syariat Allah dalam mengatasi persoalan darurat kekeringan dan krisis air bersih. 

Bagaimana pandangan dan tata aturan syariat Islam mengatasi aspek-aspek yang berkontribusi pada deforestasi, eksploitasi mata air dan liberalisasi air bersih perpipaan? Semuanya berlangsung di atas prinsip-prinsip yang benar, di antaranya adalah:

Pertama, mengembalikan fungsi hutan sebagai ekologis dan hidrologis yang dibutuhkan jutaan orang di Indonesia bahkan dunia. Jangan sampai ada privatisasi hutan sehingga menyebabkan disfungsi hutan. Karena pada hutan dan sumber-sumber mata air, sungai danau dan lautan secara umum melekat karakter harta milik umum sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw yang artinya, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api”(HR Abu Dawud dan Ahmad).

Status hutan dan sumber-sumber mata air, danau, sungai dan laut sebagai harta milik umum, menjadikannya tidak dibenarkan dimiliki oleh individu. Akan tetapi tiap individu publik memiliki hak yang sama dalam pemanfaatannya. Hanya saja pemanfaatan itu tidak menghalangi siapapun dalam pemanfaatannya. Karena jika tidak akan menimpakan bencana pada diri sendiri maupun orang banyak, yang hal ini diharamkan Islam. Rasulullah saw bersabda, artinya, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain” (HR Ahmad dan Ibnu Majah). 

Kedua, Negara wajib hadir secara benar dengan tidak memberikan hak konsesi (pemanfaatan secara istimewa khusus) terhadap hutan, sumber-sumber mata air, sungai, danau dan laut, karena konsep ini tidak dikenal dalam Islam. Negara wajib hadir sebagai pihak yang diamanahi Allah swt, yakni bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya terhadap pengelolaan harta milik umum. Rasulullah saw menegaskan, artinya, ”Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawa terhadap gembalaannya (rakyatnya),” (HR Muslim). 

Pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah ada pada tangan negara, dengan tujuan untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Tidak ada hima (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasulnya” (HR Abu Daud). 

Ketiga, negara berkewajiban mendirikan industri air bersih perpipaan sedemikian rupa sehingga terpenuhi kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat kapanpun dan dimanapun berada. Dan status kepemilikannya adalah harta milik umum dan atau milik negara. Dikelola pemerintah untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Hal ini kembali pada kaedah bahwa status hukum industri dikembalikan pada apa yang dihasilkannnya. Untuk semua itu, Negara harus memanfaatkan berbagai kemajuan sain dan tekhnologi, memberdayakan para pakar yang terkait berbagai upaya tersebut, seperti pakar ekologi, pakar hidrologi, pakar tekhnik kimia, tekhnik industri, dan ahli kesehatan lingkungan. Sehingga terjamin akses setup orang terhadap air bersih gratis atau murah secara memadai, kapanpun dan dimanapun ia berada. 

Keempat, bebas dari agenda penjajahan apapun bentuknya termasuk agenda hegemoni climate change dan global warming, karena Islam telah mengharamkan penjajahan apapun bentuknya. Allah SWT berfirman dalam QS Al Maaidah (4): 141, artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”. 

Inilah sejumlah prinsip dasar yang benar yang telah disyariatkan di dalam Islam untuk mengakhiri krisis akut air bersih dan darurat kekeringan. Keseluruhan konsep ini adalah aspek yang terintegrasi dengan sistem kehidupan Islam yaitu khilafah Islam, bukan sistem selainnya. Karena hanya sistem Islamlah sistem benar yang didesain Allah SWT Yang Maha Tahu kebaikan buat makhluk cipataan-Nya.[]


Oleh Irma Setyawati, S.Pd
Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan

Tidak ada komentar