Kegagalan Pendidikan Kapitalistik di Masa Pandemi
Dimas Ibnu Alias, siswa SMP Negeri 1 Rembang, Jawa Tengah, ialah satu siswa yang tidak mempunyai gawai sebagai sarana belajar daring. Akibatnya, Dimas tetap berangkat ke sekokah untuk belajar meskipun sendiri di sekolah tersebut. Setiap pagi, anak pasangan Didik Suroyo (nelayan) dan Asiatun (buruh pengeringan ikan) berangkat sekolah dengan seragam lengkap diantar ibunya dengan sepeda. Dia duduk sendiri di kelasnya mengikuti pelajaran dari guru. Setelah pulang sekolah biasanya diantar wali kelas ke rumahnya di Desa Pantiharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang," kata Kepala SMPN 1 Rembang Isti Chomawati (m.mediaindonesia.com/24/06/2020).
Wabah corona yang melanda hingga saat ini telah memberikan pengaruh besar terhadap berbagai aspek seperti kesehatan, ekonomi dan juga termasuk pendidikan. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada masa pandemi ini dilaksanakan secara daring. Sejak akhir Maret lalu, puluhan juta murid di Indonesia menerapkan pembelajaran jarak jauh atau daring demi mengurangi dampak pandemi COVID-19.
Program ditengah pamdemi ini nyatanya tidak berjalan dengan baik di lapangan dikarenakan banyak faktor. Bagi sebagian masyarakat perkotaan, sudah bukan sesuatu yang aneh atau sulit untuk mempunyai gawai. Namun, bagi kebanyakan masyarakat pedesaan, perangkat telepon pintar itu menjadi barang baru dan mewah, terlebih bagi keluarga dengan ekonomi lemah. Padahal telepon pintar menjadi syarat lancarnya KBM.
Belum lagi kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), ternyata masih terus menuai protes karena dianggap tak adil dan memberatkan. Namun sebenarnya hal ini tidak hanya terjadi dimasa pandemi ini saja, karna jauh sebelumnya persoalan pendidikan di negeri ini sudah bermasalah dan sekarang justru malah tidak jelas arahnya.
Dan dimasa pandemi inilah nampak kegagalan pembangunan kapitalistik yg jor-joran membangun infrastruktur namun tidak memberi daya dukung/manfaat bagi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Pembelajaran jarak jauh yg menuntut sarana telekomunikasi dan ketersedian jaringan, memaksa puluhan juta pelajar kehilangan hak nya.
Semenjak wabah ini, dunia pendidikan dipaksa menyesuaikan diri dengan pola interaksi sosial yang tiba-tiba harus berubah dan diperparah perekonomian yang kolaps. Nyatanya sistem pendidikan memang telah gagal dalam menghadapi keadaan, dan fakta pun tidak bisa terelakkan bahwa sistem yang diterapkan melahirkan banyak persoalan.
Mulai dari visi pendidikan yang sekuler, kurikulum yang tak tau arah, metode pembelajaran yang kaku, sarana dan prasarana yang sangat minim, membuat pelaksanaan pendidikan di tengah wabah menjadi memberatkan berbagai kalangan. Baik bagi para siswa, orang tua, maupun pihak pendidik dan sekolah.
Dalam sistem kapitalistik ini, pendidikan hanya ditempatkan sekadar sebagai pengukuh penjajahan kapitalisme global. Yakni sekadar sebagai pencetak mesin pemutar roda industri belaka. Alias hanya untuk memenuhi pasar industri milik para kapitalis. Negara bahkan berperan besar dalam mendorong terjadinya kapitalisasi dan sekularisasi di bidang pendidikan ini.
Tentu hal ini berbeda jauh dengan pendidikan dalam sistem Islam. Sistem pendidikan Islam ini tegak di atas asas akidah Islam yang sahih lagi kokoh. Yakni berupa keyakinan bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta adalah ciptaan Allah Ta’ala. Dan bahwa apa yang ada sebelum kehidupan dunia, serta apa yang ada setelahnya, berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia di dunia. Yakni dalam bentuk hubungan penciptaan dan pertanggungjawaban (hisab).
Karena sistem pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban cemerlang, maka harus mendapat perhatian serius oleh negara, baik dalam menjaga kemurnian visi, kurikulum, metode pembelajaran, hingga dukungan sarana dan prasarananya. Negara juga memiliki fungsi sebagai pengurus dan penjaga umat- bahkan akan memastikan agar sistem pendidikan ini berjalan sempurna, dengan turut menciptakan suasana kondusif melalui penerapan sistem-sistem hidup lainnya.
Tidak hanya itu tetapi para guru, para ilmuwan dan peneliti diapresiasi dengan gaji dan insentif yang tinggi. Begitupun dengan para siswanya. Merekapun diberi fasilitas serba gratis, yang membuat mereka benar-benar fokus dalam tugasnya masing-masing. Baik sebagai pendidik dan arsitek generasi, maupun sebagai pembelajar yang siap berkhidmat untuk umat saatnya nanti.
Dan dari sinilah lahir sosok-sosok yang berkepribadian Islam dengan skill yang mumpuni, yang berhasil membawa umat ini pada level kehidupan jauh di atas level umat-umat lainnya, sebagai khairu ummah. Hingga sepanjang sejarahnya, umat Islam yang hidup di bawah naungan sistem kepemimpinan Islam tetap dikenal sebagai pionir peradaban. Di mana peradaban barat modern pun begitu berutang pada Islam.
Sehingga satu-satunya jalan untuk mengubah adalah dengan mencampakkan sistem pendidikan sekuler berikut sistem politik yang menerapkannya, serta menerapkan sistem pendidikan Islam berikut dengan sistem politik yang menaunginya. Wallahua'lam bishowab.[]
Oleh: Dita Puspita
Anggota Komunitas Setajam Pena
Tidak ada komentar