ACC Sulawesi Desak Buka Berkas SP3 Kasus Alkes Pangkep, Kejati Sulselbar "Bungkam"
KORANPANGKEP.CO.ID - Lembaga Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) untuk segera membuka ulang berkas dan dokumen Surat Penghentian Penyidikan (SP3) Dimana sebelumnya, Kejati Sulsel melalui Pelaksana Tugas (Plt) Kajati Sulsel, Jan S Maringka terang-terangan mengekspose ke publik jika penyidikan dugaan korupsi pengadaan alkes telah dihentikan karena tak ditemukan unsur kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel.
Padahal menurut Direktur ACC Sulawesi Abdul Kadir Wokanubun menjelaskan, dari hasil temuan audit yang dilakukan BPK menyimpulkan bahwa ada beberapa temuan terkait aktifitas proyek pengadaan Alat kesehatan (Alkes) senilai Rp22 milar bersumber DAK tahun 2016 di Kabupaten Pangkep, untuk itu pihaknya meminta kejati Sulselbar melanjutkan kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) di Kabupaten Pangkep.
"Dari laporan hasil pemeriksaan BPK, kami mencatat ada tujuh poin temuan audit BPK yang dikeluarkan, diantaranya, proses pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun anggaran 2016 pada Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep tidak sesuai ketentuan," katanya.
Pihak ACC Sulawesi pun telah berulangkali meminta Salinan SP3 kasus Alkes Pangkep tersebut secara resmi namun tidak mendapat respon dari kejati Sulsel meski dalam Undang-undang Komisi Informasi Publik (KPI) nomor 14 tahun 2008, disitu disebutkan SP3 bukan dokumen rahasia sehingga bisa diakses oleh publik.
"Pihak Kejati mengatakan penyidikan perkara Alkes dihentikan. Tetapi setelah kami bersurat meminta salinan SP3, tidak direspon apalagi dibalas sampai sekarang, Pihak Kejati Sulsel kami anggap membangkang terhadap Undang-undang Komisi Informasi Publik (KPI) nomor 14 tahun 2008, disitu disebutkan SP3 bukan dokumen rahasia sehingga bisa diakses publik, " ungkap Direktur ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun di Makassar.
Sejak awal penanganan dugaan korupsi Alkes Pangkep, Kejati Sulsel, kata Kadir, dianggap tidak menjalankan kinerjanya secara profesional. Kendati ada pertimbangan pengembalian uang negara yang dijadikan alasan Kejati untuk menghentikan perkara Alkes, serta disebut tidak ada kerugian negara di dalam kasus itu.
Hal tersebut menurut Kadir juga bertolak belakang dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan di Sulsel bahwa dalam kasus Alkes Pangkep ditemukan banyak kesalahan sejak awal perencanaan hingga pengadaan termasuk melanggar peraturan.
"Pihak Kejati Sulsel menyebut tidak ada kerugian negara dalam kasus ini, tapi mengapa menerima pengembalian kerugian negara dari salah seorang tersangka, jelas ini sangat aneh," ungkap mantan aktivis PMII Sulsel itu.
Sebelumnya, mantan Kepala Kejati Sulsel Jan S Maringka telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi dan penggelembungan pengadaan Alkes di Kabupaten Pangkep pada Sabtu, 16 November 2017 lalu.
Jan mengatakan Kejati telah menerima uang pengembalian senilai Rp6 miliar yang disebut sebagai uang kerugian negara dalam proyek tersebut, sehingga salah satu tersangka diketahui adik kandung Bupati Pangkep Syamsul A Hamid dinyatakan tidak bersalah sehingga status tersangkanya dicabut.
"Uang kerugian negara sudah dikembalikan, dengan begitu status tersangka yang bersangkutan otomatis gugur," papar Jan kepada wartawan kala itu masih menjabat.
Dirinya menambahkan, kerugian negara menjadi salah satu unsur paling penting untuk menyebut bahwa disitu ?terdapat perbuatan korupsi. Tidak adanya unsur tersebut, maka tidak ada alasan bagi jaksa meneruskan perkara ini.
Meski Kejati Sulsel menyebut tidak ada unsur korupsi didalamnya, namun ACC Sulawesi menganggap ada unsur, sebab berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK ditemukan pelanggaran terkait proyek itu pada tahun 2016 yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus atau DAK senilai Rp22 miliar.
"Kami anggap ada temuan, pertama pengadaan Alkes ini tidak sesuai ketentuan pada penyusunan Harga Penetapan Satuan atau HPS dan disusun berdasarkan surat penawaran dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Kedua, dugaan pengaturan peserta lelang," bebernya
Dia menjelaskan, Di mana penyusunan Harga Penetapan Satuan (HPS) tidak didasarkan atas survey harga di wilayah setempat. Melainkan, lanjutnya HPS tersebut disusun berdasarkan surat penawaran yang diperoleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kasubag Perencanaan Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep.
Selanjutnya, Kadir menambahkan, dari Laporan hasil pemeriksaan BPK juga, ditemukan adanya indikasi Mark Up harga dalam penyusunan HPS. HPS disusun dengan dasar penawaran dari penyalur. Harga satuan untuk dental unit, jauh melebihi harga satuan standar yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Pangkep Nomor 486 tahun 2016. Diantaranya harga dental unit merek king asal negara Jepang, ditetapkan melalui SK sebesar Rp180.000.000 sedangkan dental unit dalam HPS sebesar Rp625.000.000.
�SK Bupati tentang penetapan standarisasi harga satuan barang dan jasa tersebut itu diterbitkan pada tanggal 26 Juli 2016. Meski setelahnya tepatnya pada tanggal 1 September 2016, SK Bupati itu dicabut dan diganti dengan SK Bupati nomor 569 tahun 2016 yang sama sekali tak mencantumkan penetapan harga standarisasi,� ujar Kadir
Temuan BPK berikutnya, lanjut kadir, yakni proses pengadaan alkes yang ada, tidak melalui sistem e-purchasing. Melainkan proses lelang dilakukan karena mengikuti perintah Pengguna Anggaran (PA) dan tidak pernah melakukan pengecekan di e-katalog.
�Padahal sesuai ketentuan yang ada, proses pengadaan untuk barang-barang yang sudah ada di e-katalog dilakukan e-purchasing,� terang Kadir.
Tak hanya itu, BPK juga menemukan adanya indikasi pengaturan peserta lelang. Dimana dari tiga perusahaan yang memasukkan penawaran yakni PT. Aras Sanobar, PT. Toba Medi Sarana dan CV. Jaga Sarana Kencana, terdapat dua penawaran yang diunggah dari sumber yang sama yakni berasal dari desktop IP 180.251.172.8.
Dua perusahaan yang memasukkan penawaran dari sumber yang sama tersebut diketahui penawaran milik PT. Aras Sanobar dan CV. Jaga Sarana Kencana.
�Ada juga temuan terkait kinerja Pokja ULP. Dimana Pokja ULP tidak melakukan evaluasi dokumen penawaran. Diantaranya tak pernah mengunduh dokumen penawaran yang masuk. Tapi dokumen penawaran hanya pernah diunduh oleh user inisial AY yaitu auditor BPK yang sedang melakukan pemeriksaan,� jelas Kadir.
Selain itu, Izin edar alat kesehatan juga tidak dapat ditelusuri dan enam unit alat kesehatan belum didistribusikan dan masih berada digudang rekanan.
�Itu ditemukan saat tim pemeriksa BPK bersama PPK memeriksa fisik alkes ke gudang penyimpanan alat yang berlokasi di Kabupaten Maros tepatnya pada tanggal 24 Februari 2017,� beber Kadir.
Enam unit alat kesehatan masing-masing 3 unit dental unit dan 3 unit incubator bayi yang rencananya didistribusikan ke 3 unit puskesmas yakni ke Puskesmas Lk. Kalmas, Puskesmas Lk. Tangata dan Puskesmas Sarappo tersebut ditemukan tersimpan di gudang milik PT. Aras Sanobar.
Terakhir kata Kadir, BPK juga menemukan sikap PPK yang tidak cermat dimana melakukan pembayaran tidak sesuai dengan kontrak yang ada. PPK, lanjut Muthalib, membayar pengerjaan sebesar 30 persen atau senilai Rp6.867.630.000 sedangkan dalam kontrak perjanjian disepakati nilai pembayaran uang muka yang harus dibayarkan hanya sebesar 20 persen.
�Di balik itu semua ada temuan, kalau sudah temuan berarti jelas ada kerugian negara, menurut BPK sekitar Rp6 miliar lebih,� jelas kadir.
Dari hasil penyidikan kasus ini telah menetapkan tiga orang tersangka masing-masing inisial SC selaku rekanan, S pemilik korporasi dan AS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Namun belakang penetapan tersebut dianulir karena Kejati berasumsi kalau tersangka tersebut telah memgembalikan kerugian negara.
(ADM-KP)
Padahal menurut Direktur ACC Sulawesi Abdul Kadir Wokanubun menjelaskan, dari hasil temuan audit yang dilakukan BPK menyimpulkan bahwa ada beberapa temuan terkait aktifitas proyek pengadaan Alat kesehatan (Alkes) senilai Rp22 milar bersumber DAK tahun 2016 di Kabupaten Pangkep, untuk itu pihaknya meminta kejati Sulselbar melanjutkan kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) di Kabupaten Pangkep.
"Dari laporan hasil pemeriksaan BPK, kami mencatat ada tujuh poin temuan audit BPK yang dikeluarkan, diantaranya, proses pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun anggaran 2016 pada Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep tidak sesuai ketentuan," katanya.
Pihak ACC Sulawesi pun telah berulangkali meminta Salinan SP3 kasus Alkes Pangkep tersebut secara resmi namun tidak mendapat respon dari kejati Sulsel meski dalam Undang-undang Komisi Informasi Publik (KPI) nomor 14 tahun 2008, disitu disebutkan SP3 bukan dokumen rahasia sehingga bisa diakses oleh publik.
"Pihak Kejati mengatakan penyidikan perkara Alkes dihentikan. Tetapi setelah kami bersurat meminta salinan SP3, tidak direspon apalagi dibalas sampai sekarang, Pihak Kejati Sulsel kami anggap membangkang terhadap Undang-undang Komisi Informasi Publik (KPI) nomor 14 tahun 2008, disitu disebutkan SP3 bukan dokumen rahasia sehingga bisa diakses publik, " ungkap Direktur ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun di Makassar.
Sejak awal penanganan dugaan korupsi Alkes Pangkep, Kejati Sulsel, kata Kadir, dianggap tidak menjalankan kinerjanya secara profesional. Kendati ada pertimbangan pengembalian uang negara yang dijadikan alasan Kejati untuk menghentikan perkara Alkes, serta disebut tidak ada kerugian negara di dalam kasus itu.
Hal tersebut menurut Kadir juga bertolak belakang dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan di Sulsel bahwa dalam kasus Alkes Pangkep ditemukan banyak kesalahan sejak awal perencanaan hingga pengadaan termasuk melanggar peraturan.
"Pihak Kejati Sulsel menyebut tidak ada kerugian negara dalam kasus ini, tapi mengapa menerima pengembalian kerugian negara dari salah seorang tersangka, jelas ini sangat aneh," ungkap mantan aktivis PMII Sulsel itu.
Sebelumnya, mantan Kepala Kejati Sulsel Jan S Maringka telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi dan penggelembungan pengadaan Alkes di Kabupaten Pangkep pada Sabtu, 16 November 2017 lalu.
Jan mengatakan Kejati telah menerima uang pengembalian senilai Rp6 miliar yang disebut sebagai uang kerugian negara dalam proyek tersebut, sehingga salah satu tersangka diketahui adik kandung Bupati Pangkep Syamsul A Hamid dinyatakan tidak bersalah sehingga status tersangkanya dicabut.
"Uang kerugian negara sudah dikembalikan, dengan begitu status tersangka yang bersangkutan otomatis gugur," papar Jan kepada wartawan kala itu masih menjabat.
Dirinya menambahkan, kerugian negara menjadi salah satu unsur paling penting untuk menyebut bahwa disitu ?terdapat perbuatan korupsi. Tidak adanya unsur tersebut, maka tidak ada alasan bagi jaksa meneruskan perkara ini.
Meski Kejati Sulsel menyebut tidak ada unsur korupsi didalamnya, namun ACC Sulawesi menganggap ada unsur, sebab berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK ditemukan pelanggaran terkait proyek itu pada tahun 2016 yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus atau DAK senilai Rp22 miliar.
"Kami anggap ada temuan, pertama pengadaan Alkes ini tidak sesuai ketentuan pada penyusunan Harga Penetapan Satuan atau HPS dan disusun berdasarkan surat penawaran dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Kedua, dugaan pengaturan peserta lelang," bebernya
Dia menjelaskan, Di mana penyusunan Harga Penetapan Satuan (HPS) tidak didasarkan atas survey harga di wilayah setempat. Melainkan, lanjutnya HPS tersebut disusun berdasarkan surat penawaran yang diperoleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Kasubag Perencanaan Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep.
Selanjutnya, Kadir menambahkan, dari Laporan hasil pemeriksaan BPK juga, ditemukan adanya indikasi Mark Up harga dalam penyusunan HPS. HPS disusun dengan dasar penawaran dari penyalur. Harga satuan untuk dental unit, jauh melebihi harga satuan standar yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Pangkep Nomor 486 tahun 2016. Diantaranya harga dental unit merek king asal negara Jepang, ditetapkan melalui SK sebesar Rp180.000.000 sedangkan dental unit dalam HPS sebesar Rp625.000.000.
�SK Bupati tentang penetapan standarisasi harga satuan barang dan jasa tersebut itu diterbitkan pada tanggal 26 Juli 2016. Meski setelahnya tepatnya pada tanggal 1 September 2016, SK Bupati itu dicabut dan diganti dengan SK Bupati nomor 569 tahun 2016 yang sama sekali tak mencantumkan penetapan harga standarisasi,� ujar Kadir
Temuan BPK berikutnya, lanjut kadir, yakni proses pengadaan alkes yang ada, tidak melalui sistem e-purchasing. Melainkan proses lelang dilakukan karena mengikuti perintah Pengguna Anggaran (PA) dan tidak pernah melakukan pengecekan di e-katalog.
�Padahal sesuai ketentuan yang ada, proses pengadaan untuk barang-barang yang sudah ada di e-katalog dilakukan e-purchasing,� terang Kadir.
Tak hanya itu, BPK juga menemukan adanya indikasi pengaturan peserta lelang. Dimana dari tiga perusahaan yang memasukkan penawaran yakni PT. Aras Sanobar, PT. Toba Medi Sarana dan CV. Jaga Sarana Kencana, terdapat dua penawaran yang diunggah dari sumber yang sama yakni berasal dari desktop IP 180.251.172.8.
Dua perusahaan yang memasukkan penawaran dari sumber yang sama tersebut diketahui penawaran milik PT. Aras Sanobar dan CV. Jaga Sarana Kencana.
�Ada juga temuan terkait kinerja Pokja ULP. Dimana Pokja ULP tidak melakukan evaluasi dokumen penawaran. Diantaranya tak pernah mengunduh dokumen penawaran yang masuk. Tapi dokumen penawaran hanya pernah diunduh oleh user inisial AY yaitu auditor BPK yang sedang melakukan pemeriksaan,� jelas Kadir.
Selain itu, Izin edar alat kesehatan juga tidak dapat ditelusuri dan enam unit alat kesehatan belum didistribusikan dan masih berada digudang rekanan.
�Itu ditemukan saat tim pemeriksa BPK bersama PPK memeriksa fisik alkes ke gudang penyimpanan alat yang berlokasi di Kabupaten Maros tepatnya pada tanggal 24 Februari 2017,� beber Kadir.
Enam unit alat kesehatan masing-masing 3 unit dental unit dan 3 unit incubator bayi yang rencananya didistribusikan ke 3 unit puskesmas yakni ke Puskesmas Lk. Kalmas, Puskesmas Lk. Tangata dan Puskesmas Sarappo tersebut ditemukan tersimpan di gudang milik PT. Aras Sanobar.
Terakhir kata Kadir, BPK juga menemukan sikap PPK yang tidak cermat dimana melakukan pembayaran tidak sesuai dengan kontrak yang ada. PPK, lanjut Muthalib, membayar pengerjaan sebesar 30 persen atau senilai Rp6.867.630.000 sedangkan dalam kontrak perjanjian disepakati nilai pembayaran uang muka yang harus dibayarkan hanya sebesar 20 persen.
�Di balik itu semua ada temuan, kalau sudah temuan berarti jelas ada kerugian negara, menurut BPK sekitar Rp6 miliar lebih,� jelas kadir.
Dari hasil penyidikan kasus ini telah menetapkan tiga orang tersangka masing-masing inisial SC selaku rekanan, S pemilik korporasi dan AS selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Namun belakang penetapan tersebut dianulir karena Kejati berasumsi kalau tersangka tersebut telah memgembalikan kerugian negara.
(ADM-KP)
Post Comment
Tidak ada komentar