Breaking News

Jenderal "Hantu Laut" Musuh Soeharto

�Hitam komando Bung Karno, Hitam tindakan KKO dan Putih komando Bung Karno Putih tindakan KKO� pekik Panglima Korps Komando Operasi (KKO) Angkatan Laut Mayor Jenderal R. Hartono membakar loyalitas prajuritnya pada Hari Ulang Tahun (HUT) KKO atau Marinir, 15 November 1965.

Hartono punya alasan mengapa ia harus mengobarkan semangat pasukannya. Tudingan keterlibatan Presiden Soekarno dan KKO dalam skenario penculikan para jenderal Angkatan Darat (AD) pada 30 September 1965 membuatnya murka.

Sebagai Panglima KKO yang diangkat dan dilantik oleh Presiden Soekarno, maka Hartono merasa kesetiaannya kepada Sukarno selaku Presiden RI sekaligus Pemimpin Besar Revolusi adalah mutlak, atau harga mati prajurit TNI.

Dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945 pasal 10 disebutkan �Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.� Artinya, Presiden Republik Indonesia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Setiap prajurit dan perwira wajib menurut perintah Presiden. Itulah alasan Hartonio kenapa dia harus loyal kepada Soekarno.

�Apapun yang terjadi KKO akan tetap berdiri di belakang Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno, dan tetap loyal terhadap segala keputusan-keputusan yang telah diambil beliau,� tandas Hartono sebagai dikutip dari buku Hartono Jenderal Marinir Di Tengah Prahara yang ditulis Petrik Matanasi dan diedit Rajib Rakatirta.

Kesetiaan ini adalah keharusan. Karena, Batalyon IV Korps Komando (Marinir) dari Angkatan Laut telah secara resmi dimasukkan dalam resimen Cakrabirawa pada 23 Februari 1963. Artinya sebagai resimen pengawal presiden, maka wajib menjalankan seluruh perintah presiden sebagai panglima tertinggi.

Rasa percaya diri yang besar akan ketangguhan dan loyalitas pasukannya terlihat jelas dalam pidato Hartono. Terlebih KKO adalah pasukan elit yang memang diandalkan di berbagai pertempuran di Papua (Trikora), konfrontasi Malaysia (Dwikora), maupun menumpas berbagai pemberontakan di daerah seperti PRRI/Permesta.

Hari-hari pascapenculikan para jenderal TNI Angkatan Darat memang menjadi salah satu masa-masa genting sejarah perjalanan negeri ini. Saling curiga antarangkatan, khususnya RPKAD di bawah kendali Letjen Soeharto dan KKO begitu terasa. Kekhawatiran terjadinya perang saudara sangat besar.

"Gebuk" Soeharto
Hartono mencium adanya upaya penggulingan kekuasaan oleh Letjen Soeharto. Ini dibuktikan ketika Soekarno menghubungi dirinya yang mengabarkan akan ada penyergapan ke istana oleh RPKAD.

Tanggal 10 Maret 1966, sekitar pukul 12.00 sampai 14.00 Presiden bersama Soebandrio, Leimena dan Chaerul Saleh sengaja menemui Mayor Jenderal Hartono, Panglima KKO di Markas KKO Cilandak, Jakarta Selatan.

Tujuan Soekarno menghubungi Hartono sangat jelas, memastikan apakah KKO siap berhadapan dengan RPKAD. Hartono dengan tegas dan konsisten menyatakan dukungannya.

Presiden menanyakan apakah KKO sanggup menghadapi RPKAD, yang menurut info intelijen akan menyerbu istana?

Mayor Jenderal Hartono menjawab, �sanggup�.

�Melihat situasi yang makin memburuk dan merendahkan martabat Kepala Negara, Brigadir Jenderal Hartono sebagai Panglima KKO Angkatan Laut yang menguasai pasukan yang cukup besar dan tangguh, mengharapkan komando dari Presiden/Panglima Tertnggi mengenai tindakan yang harus ditempuh untuk menjaga kehormatan dan Martabat Presiden/Panglima Tertnggi. KKO merasa dapat melindungi Bung Karno. Merah kata Bung Karno, merah KKO. Hitam kata Bung Karno, maka KKO hitam� tukas Hartono.

Maka sejak itu, seluruh KKO diperintahkan untuk mempersiapkan diri.

Tak lama setelah pernyataan Hartono, prajurit KKO di Jawa Timur berdemo dan membentang poster bertuliskan, �Pejah-gesang Melu Bung Karno�� yang artinya, Mati-Hidup Ikut Bung Karno.

Kata-kata Hartono bukan gertak sambal. Dari basisnya di Surabaya, Hartono konon sudah menyiapkan 30.000 prajurit KKO dan siap menggempur ibu kota yang merupakan basis kekuatan Soeharto

�Akan tetapi, Presiden Soekarno tidak pernah mengeluarkan komando yang sedang mereka tunggu-tunggu tersebut�� tulis sebuah laporan penelitian dari tim Insititut Studi Arus Informasi (ISAI) yang berjudul Bayang-Bayang PKI.

Untuk lebih meyakinkan Presiden Soekarno, tepat pada peringatan ulang tahun Bung Karno yang ke-65 (6 Juni 1966), KKO �unjuk gigi� di Surabaya. Selain mengerahkan hampir seluruh pasukan, semua senjata berat mutakhir seperti tank dan amphibi juga dikeluarkan untuk melakukan pawai keliling Surabaya.

�Barisan pasukan tersebut diikuti ribuan massa, panjangnya sampai 30 km�� tulis Jenderal Soemitro dalam buku Perjalanan Seorang Prajurit Pejuang dan Profesional : Memoar Jenderal TNI (Purn.) Soemitro (Saleh A. Djamhari ; editor Soegiarto, Ramadhan Kartahadimadja).

Aksi-aksi provokatif dilakukan terhadap instansi-instansi yang dinilai pro Soeharto. Itu terlihat ketika barisan melewati rumah dinas Panglima Kodam Brawijaya di Jalan Raya Darmo, massa secara bergelombang berseru �Bung Karno Jaya! Bung Karno Jaya!�

Sebelumnya Hartono juga sempat memerintahkan 2 batalyon KKO untuk membuka pos taktis di Yogya, menyusul maraknya aksi menentang Bung Karno di kota gudeg tersebut.

Menurut Julius Pour, inilah bentuk �tantangan� Hartono untuk Soeharto yang saat itu juga tengah mengerahkan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) ke Yogya untuk memburu orang-orang PKI dan para Sukarnois.

Sikap kenegarawanan Soekarno-lah yang menggagalkan pertumpahan darah antara pasukan yang dipimpin Soeharto dengan prajurit KKO pimpinan Hartono. Soekarno tidak mengingkinkan terjadinya perang saudara hanya karena dirinya.

Operasi Ikan Paus
Singkatnya, kisah kursi kekuasaan Soekarno tak lagi bisa diselamatkan. Soekarno yang telah lemah secara politik dipaksa menyerahkan kekuatan kunci politik dan militer Indonesia kepada Soeharto yang saat itu menjadi kepala angkatan bersenjata Indonesia. Pada bulan Maret 1967 Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara (MPRS) mengangkat Jenderal Soeharto sebagai presiden, menggantikan Soekarno.

Guna melanggengkan kekuasaanya, perlahan namun pasti Soeharto �mengamputasi� satu persatu para loyalis Bung Karno, terlebih di lingkungan militer. Tak ayal, Hartono sebagai salah satu jenderal yang paling loyal kepada Soekarno disingkirkan.

Di tubuh Angkatan Laut, Suharto melakukan �pembersihan� melalui sebuah operasi dengan sandi Operasi Ikan Paus. Tujuannya tentu untuk menghabisi pengikut Sukarno di KKO.

Soeharto menjalankan misinya secara halus. Pada 8 November 1968, Hartono diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Korea Utara. Pangkatnya naik menjadi Letnan Jenderal.

Hartono sadar konsekwensi pilihannya. Suka tidak suka, perintah jadi Duta Besar di Korea Utara ia terima, meski ia juga sadar bahwa dirinya tengah diasingkan oleh rezim baru.

Mental prajurit yang tumbuh dan mengakar di dalam dirinya menolak mengeluh. Mengenakan pakaian ala Bangsawan Solo, Hartono menyerahkan Surat Kepercayaan sebagai Duta Besar kepada pemerintah Korea Utara.

Hukuman pengasingan ternyata tak cukup bagi Hartono. Tiga tahun menjadi Dubes di Korea Utara, pada tahun 1971 ia dipanggil ke Jakarta. Pemanggilan itu berkaitan dengan adanya pertemuan para duta besar Indonesia se-Asia Pasifik di Tokyo.

�Sebelum ulang tahun Mama, saya pasti pulang,� begitu janjinya kepada Grace Barbara Walandaow, istrinya tercinta.
Namun Hartono tak pernah kembali ke Pyongyang. Rabu, 6 Januari 1971 Hartono ditemukan tewas mengenaskan di kediamannya sendiri di jalan Prof. Dr. Soepomo, Menteng, Jakarta Pusat pada pagi hari pukul 05.30. Sebuah pistol berjenis Makarov dengan peredam suara tergeletak di atas meja, persis di dekat jasadnya.

Pernyataan resmi rezim Orde Baru menyebut Hartono bunuh diri. Dua perwira tinggi AL di bawah rezim Orba, Laksamana Sudomo dan Laksamana Madya TNI. H. L. Manambai Abdulkadir datang menemui Grace.

� Grace, ini sudah jelas ia��ujar Sudomo, seraya memperagakan dengan tangannya adegan seseorang menembak kepala dengan sepucuk pistol. Sudomo berkilah Hartono nekat bunuh diri karena kekecewaannya terhadap keputusan pemerintah yang menciutkan KKO.

Grace, kerabat keluarga dan teman-teman Hartono tahu persis sosok seperti apa pria kelahiran 1 Oktober 1927 itu. Hartono adalah prajurit bermental kuat yang tidak mungkin menyerah pada keadaan dan memilih bunuh diri.

Nyonya Prawirosoetarto (ibunda Hartono) adalah orang yang pertama menemukan jasad puteranya saat menjelang adzan subuh. Ia mengisahkan, di hari nahas itu ia hendak bergegas ke dapur menyiapkan sarapan untuk Hartono. Sekilas ia melihat puteranya sedang berbincang-bincang dengan dua tamunya di ruang tamu.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara kaca pecah dari ruang kerja Hartono. Jiwa keibuanya memaksa Nyonya Prawirosoetarto bergegas lari ke depan. Ia menyaksikan Hartono diam kaku bersimbah darah.

�Saya temukan Hartono terduduk di kursi dengan darah membasahi bagian belakang kepala. Di sampingnya kaca jendela pecah berantakan kena tembakan��demikian pengakuan Nyonya Prawirosoetarto seperti ditulis Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa.

Els J. Item, sepupu Grace bercerita, selama di Jakarta Hartono bertemu dengan beberapa tokoh penting. Mulai bertemu Laksamana Sudomo (KASAL) hingga menemui Soeharto. Ia juga ditenggarai bertemu dengan tokoh intelijen seperti Yoga Sugama dan Ali Moertopo. Namun inteligen Orba sengaja menyebar informasi bahwa Hartono terlibat dalam gerakan PKI.

Tak jelas apa hasil dari pertemuan tersebut, kecuali pada 6 Januari 1971, Hartono memutuskan untuk balik ke Pyongyang. Niatnya bertemu anak istri tak pernah kesampaian. Beberapa jam sebelum berangkat, sebutir peluru menghabisi hidupnya.

Kematian Hartono tidak pernah diungkap. Konon ia diduga menjadi salah satu target dari Operasi Ikan Paus yang diotaki Soeharto. 

Tidak ada komentar