Breaking News

Merancang Studium Irregulare


Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar*

Menteri Pendidikan telah mengumumkan konsep pendidikan merdeka. Di dalamnya tergambar bahwa mahasiswa diberi kesempatan 3 semester belajar di prodi lain atau di dunia bisnis yang telah terakreditasi. Sebenarnya konsep ini telah dipraktekkan di beberapa negara Eropa. Di Austria tempat penulis menyelesaikan S1 hingga S3, ada 4 indikator kemerdekaan tersebut.

Pertama adalah “Fach-kombination”. Mahasiswa diberi kesempatan mengikuti mata kuliah pilihan sampai 30% dari studinya. Penulis dari prodi Geodesi sempat mengikuti kuliah-kuliah astronomi, geofisika, informatika bahkan orientalistik & arabistik. Bagi mahasiswa prodi bahasa, mereka bahkan wajib kombinasikan studinya dengan prodi ilmu politik, bisnis internasional hingga antropologi. Ini karena filosofi bahwa prodi ini sebenarnya relatif sempit dan perlu diperkaya keahlian yang relevan. Demikian juga sebaliknya, ilmu politik atau bisnis internasional akan kuat bila diperkaya kemampuan berbahasa asing.

Kedua adalah “Campus-compatibilty”. Hampir seluruh campus negeri di negeri berbahasa Jerman yaitu Jerman, Austria dan Swiss (JAS) memiliki standar yang mirip, dan saling menghormati hak mahasiswa ujian di manapun. Walhasil ada mahasiswa teknik yang 3 semester pertama di Jerman, 3 semester di Swiss dan 2 semester akhir di Austria. Motivasinya beragam. Ada yang karena ingin belajar ski di Swiss, atau berhobby musik klasik di Austria. Namun apa yang dipelajari di tiap campus seluruhnya langsung diakui untuk prodi yang sama di campus berikutnya.

Ketiga adalah “Industrie Praktikum”. Beberapa perusahaan besar atau organisasi nirlaba yang bekerjasama dengan campus, memberi kesempatan magang, dan itu disetarakan sejumlah mata kuliah dengan sekian SKS. Belum semua mahasiswa mengambil kesempatan ini karena juga tak mudah mengidentifikasi skill yang sudah dikuasai mahasiswa yang sesuai kebutuhan di luar sana.

Keempat adalah “Studium Irregulare”. Sejak 1966 mahasiswa diberi kesempatan merancang studinya sendiri. Rancangan ini akan dinilai suatu komisi, dan bila dianggap layak, akan keluar keputusan legal prodi tersebut, meski mahasiswanya cuma seorang. Ada rekan penulis yang membuat prodi “Geofisika Dirgantara”. Prodi itu sebelumnya tidak ada. Dia mengusulkan prodi itu karena tertarik berprofesi sebagai surveyor geofisika dari udara. Untuk kuliah dasar, dia menempel ke prodi geodesi. Kedirgantaraan dicarinya di prodi penerbangan. Geofisika ditekuninya di prodi geofisika. Sedang instrumentasi dipelajarinya di prodi elektro.

Kalau melihat Studium Irregulare seperti ini, kita bisa membayangkan Indonesia bisa sangat kaya dengan aneka prodi baru. Dunia kuliner khas Indonesia belum banyak dipelajari di tingkat perguruan tinggi. Demikian juga dunia pengobatan tradisional, batik dan tenun, batu akik, tosan aji, tanaman hias, hingga pencak silat.

Dan kalau kita tengok karakteristik bahwa hampir separuh mahasiswa itu perempuan, lalu sebagian ini setelah lulus lebih bangga pada perannya sebagai istri dan ibu sehingga tidak bekerja sesuai prodinya, maka mengapa tidak kita ciptakan prodi yang lebih membekali mereka berbagai keahlian yang dibutuhkan, di level perguruan tinggi? Di sana yang ditawarkan tak sekedar mata kuliah untuk membentuk calon istri dan ibu yang salihah. Bukan pula sekedar ketrampilan memasak, menjahit dan menata rumah seperti di SMK Perhotelan. Tetapi adalah kemampuan berkiprah di masyarakat era 4.0, meski dari rumah. Mereka akan didampingi menguasai keahlian seperti Teknologi di rumah; Bisnis dari rumah; Bertani di lahan sempit; Literasi & Media; Manajemen acara keluarga; Kebencanaan & Beladiri untuk keluarga, hingga Politik Ramah Keluarga.

Tentu saja belum semua perguruan tinggi akan mampu segera beradaptasi ke pendidikan merdeka. Biarlah mereka juga merdeka mengatur ritme dan kecepatan masing-masing.

Yang jelas filosofi pendidikan merdeka ini harus mampu mengembalikan mahasiswa ke jati dirinya, yaitu merdeka sebagai hamba Tuhan, dan merdeka untuk merahmati seluruh alam. Bukan manusia yang dididik sekedar menjadi robot dunia industri yang mudah terdisrupsi di era 4.0. Bukan pula manusia yang mudah ditipu politisi-politisi palsu di era demokrasi liberal.

*) Alumnus Vienna University of Technology. Anggota Dewan Penasehat Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Tidak ada komentar