Breaking News

"The Power of Sampling" Agar Tak Asbun Soal QC




Saya terpanggil untuk ikut menyampaikan sudut pandang dari kacamata praktisi statistika. Tulisan ini akan memberikan gambaran atas situasi yang terjadi saat ini dimana banyak pihak mempermasalahkan hasil quick count dari berbagai lembaga survey di Indonesia. 

Saya mencoba menyajikannya dengan gaya bahasa santai namun dapat memberikan pemahaman kepada pembaca. Bismillah...

-Pengantar-

Pastinya kita semua terbiasa melihat ibu kita memasak sup pada satu panci besar. Kita anggap sup satu panci besar itu adalah populasi. Ketika ibu kita menyimpulkan sup padasatu panci itu sudah enak atau pas rasanya, tetapi kita tidak pernah melihat ibu mencobanya dengan menghabiskan sup sepanci besar tersebut, kemudian dikatakanlah rasa sup enak.

Apa yang dilakukan oleh ibu? Dia cukup mengambil sendok makan, kemudian dengan sendok makan tersebut, dicicipilah sup pada panci besar tersebut, dan dia lalu bisa menyimpulkan bahwa sup satu panci itu enak.

Itulah prinsip statistika, dengan mengambil sampel, kita bisa menyimpulkan populasi dengan tepat.

-Pembahasan-



Atas asumsi ibu yang memasak sup sepanci besar tadi, maka sekarang saya akan membahas dari kubu capres-cawapres 02. Bolehkah kubu 02 mengklaim kemenangan? Jawabannya sangat boleh.

Lalu, apa dasarnya ?

Kubu 02 memiliki tim survey sendiri di internal mereka. Misalkan metodenya benar, apalagi diperkuat dengan keberadaan dokumen formulir C1 dari seluruh saksi di TPS yang jumlahnya ratusan ribu, maka kubu 02 diperbolehkan mengklaim kemenangan.

Mengapa dari kubu 02 sangat mencurigai hasil quick count dari banyak lembaga survey?

Perlu saya jelaskan, misal lembaga survey melakukan penentuan jumlah sampel. Katakanlah muncul angka 2002 TPS sebagai sampel, tetapi pada saat penentuan TPS mana dari 2002 sampel tersebut yang terpilih, metode yang digunakan oleh lembaga survey bukan mengacu pada prinsip "random" (acak), melainkan ditentukan secara "purposive".

Apa yang dimaksud dengan "random"? Random bukanlah acak-acakan, tetapi setiap unit sampel yaitu TPS yang terpilih,
memiliki peluang yang sama untuk terpilih. Apabila metode ini dijalankan dengan benar, maka hasil quick count dari berbagai lembaga survey bisa menjadi acuan untuk menyimpulkan bahwa kemenangan diraih oleh kubu 01. Dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, jika metode penentuan sampel ini benar mengacu pada kaidah statistika, maka seharusnya kubu 01 dapat secara tegas menyatakan bahwa hasil quick count sudah mewakili hasil real count.

Kecurigaan dari kubu 02, bisa jadi hal ini sudah direncanakan dari jauh hari secara matang, dimana dalam penentuan unit sampel-nya didominasi oleh pemilih kubu 01 atau "purposive". Akhirnya yang terjadi adalah seperti saat ini, dimana lembaga-lembaga survey tersebut sudah merilis hasil quick count yang mengunggulkan pasangan capres-cawapres 01, namun bagi kubu seberang yang berlandaskan data dari formulir C1 serta formulir perhitungan turus yang dipajang di TPS ketika perhitungan surat suara dilakukan (C1 Plano), hasil quick count tidak mencerminkan perhitungan real count.

Artinya, tindakan sebagian masyarakat yang "nyinyir" dengan apa yang dilakukan kubu 02, bukanlah tindakan yang tepat. Mereka yang nyinyir terhadap kubu 02 berarti tidak memiliki pemahaman terhadap statistika. 

Sekarang dari sisi kubu 01, apabila kita meyakini bahwa kubu 01 adalah pemenang dari Pilpres 2019, maka sebagai praktisi statistika, saya akan percaya diri untuk menyakini hasil quick count adalah menggambarkan hadil real count, jika penentuan unit sampel-nya atau penentuan TPS mana, telah mengikuti kaidah "random". Jika ini benar dilakukan oleh lembaga-lembaga survey, maka hasilnya akan mewakili perhitungan real count.

Menurut hemat saya sebagai praktisi statistika, seharusnya terdapat audit terhadap lembaga-lembaga survey tersebut, yang melibatkan expertise di bidang keilmuan statistika, sehingga kredibilitas atas lembaga survey dan juga hasil survey-nya, bisa dipertanggungjawabkan di depan publik, bukan malah membuat resah dan gonjang-ganjing seperti ini.

Nah, dari penjelasan tersebut, kita dapat memahami bagaimana dampak dari penentuan unit sampel dengan metode yang tidak tepat, akan menghasilkan kesimpulan yang keliru. Jangan sesekali mempermasalahkan jumlah sampel-nya, karena dalam statistika, sudah ada kaidah penentuan jumlah sampel dengan margin of error tertentu.

Apa langkah terbaik yang harus dilakukan kedua kubu dan juga kita sebagai masyarakat?

Marilah bersama kita kawal data-data hasil perhitungan di TPS yang masuk ke KPU. Cukup fokus saja disitu. Jika masih ada hal yang dipermasalahkan, sudah ada mekanisme yang dapat ditempuh hingga ke Mahkamah Konstitusi, selama disertai dengan bukti-bukti yang kuat.

Siapapun presiden dan wakil presiden yang terpilih, ayo sama-sama kita bangun bangsa ini :)

Ada satu pesan khusus saya untuk kubu 01. Apabila terbukti secara sah hasil akhir memenangkan pasangan capres dan cawapres yang diusungnya, perlu diingat dan digarisbawahi, bahwa kemenangan yang diraih tidaklah mutlak. Asumsikan persentasenya mengacu pada hasil quick count sekarang ini.

Ada sekitar 45% dari jumlah pemilih yang tidak mendukung capres-cawapres dari kubu 01. Artinya akan menjadi pekerjaan rumah bagi Bapak Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin untuk  merangkul sekitar 45% pemilih yang tidak mendukungnya. Karena jika persentase ini mau diuji lebih lanjut dengan kaidah-kaidah dalam ilmu statistika, boleh jadi persentase kisaran 54% ini tidak berbeda nyata dengan persentase kisaran 45%, akibat keragaman pemilih di seluruh indonesia.

Untuk para pendukung di kedua kubu, berargumentasilah pada kapasitas masing-masing. Jika masing-masing Anda tidak memiliki keahlian atau pemahaman di bidang keilmuan statistik, sebaiknya tahan diri untuk tidak berpendapat, karena akan menimbulkan bias. Berbicaralah dengan berandaskan data. Tidak peduli apakah Anda sudah bergelar doktor atau professor sekalipun, jika berargumen tidak dilandasi dengan data maka Anda tergolong komunitas ASBUN alias "asal bunyi".

-Penutup-

Semoga penjelasan ini dapat mencerahkan, karena sebagai orang yang mencintai ilmu statistika, saya prihatin apabila penerapan statistik digunakan untuk "tipu-tipu". Statistika adalah ilmu yang sangat berguna bagi manusia untuk melakukan pendugaan populasi dengan menggunakan data sampel, sehingga bisa membantu proses pengambilan keputusan.

Bogor, April 2019

Rina Hartini, S.Si, MM.

Tidak ada komentar