Menyoal Wacana �Mengundang� Expert Luar
![]() |
Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Desi Dian Sari, S.I.Kom
Mediaoposisi.com-Profesi guru baru-baru ini menjadi perbincangan hangat. Setelah munculnya iklan dari perusahaan game yang diprotes masyarakat karena dipandang melecehkan profesi mulia ini. Dalam iklan tersebut digambarkan, seorang guru yang kalah main game melawan muridnya. Akibatnya, sang guru harus mengikuti keinginan siswa tsb, seperti menyambut (padahal si murid telat masuk) dan membawakan tasnya.
Namun, pelecehan yang sesungguhnya terjadi adalah ketika muncul wacana impor guru yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani. Bahkan menurut Puan, saat ini indonesia telah bekerja sama dengan beberapa negara untuk mengundang para pengajar ke Indonesia salah satunya dari Jerman.
Wacana impor guru dilakukan dengan pertimbangan agar cara mengajar guru lebih baik dan menghasilkan murid yang berkualitas. Meski kemudian diklarifikasi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Muhadjir Effendi, bahwa Menko Puan bukan hendak 'mengimpor' melainkan 'mengundang' guru atau instruktur luar negeri untuk program Training of Trainers atau ToT. (republika.co.id, 13 Mei 2019)
Wacana ini tentu mendapatkan protes dari berbagai pihak. Pasalnya, menurut Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim, jumlah guru di Indonesia sudah mencukupi. Ia merujuk data Kemendikbud yang menyatakan pada 2013 terdapat 429 LPTK, terdiri dari 46 negeri dan 383 swasta. �Total mahasiswa saat itu mencapai 1.440.770 orang dan diperkirakan lulusan sarjana kependidikan adalah sekitar 300.000 orang per tahun. Padahal, kebutuhan akan guru baru hanya sekitar 40.000 orang per tahun," ujar Ramli kepada reporter Tirto, Jumat (Tirto.com, 10 Mei 2019).
Problem klasik kualitas guru di Indonesia
Sebenarnya, pendidikan adalah kebutuhan masyarakat. Menyiapkan pengajar yang berkualitas adalah kewajiban negara sebagai penyelenggara pendidikan. Namun, bila melihat problem pendidikan hari ini, yang tampak adalah tidak berhasilnya sistem dalam mencetak generasi tangguh yang berkualitas, berkarakter kuat, mampu menjadi problem solver, dan memiliki skil dalam kehidupan. Sebut saja krisis moral yang terjadi, juga kriminalitas (mengatasnamakan kenakalan remaja) kerap bermunculan seperti tawuran, pencurian, dan seks bebas, menghiasai pemberitaan di portal-portal berita.
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Harusnya, kualitas guru sebagai tenaga pengajar ditingkatkan bukan malah mengundang guru dari luar negeri.
Bukan sekadar soal profesionalisme guru saja, akan tetapi semua aspek juga harus menjadi perhatian. Revitalisasi seluruh komponen pendidikan adalah hal mendasar yang harus dilakukan. Utamanya asas dari sistem pendidikan itu sendiri. Mulai dari regulasi, manajemen, SDM, fasilitas, kesejahteraan, layanan pendidikan, hingga pembentukan karakter peserta didik.
Dari segi asas, akidah sekuler (menihilkan agama dalam kehidupan publik) yang diterapkan di negeri ini menyebabkan para guru tak dinilai berstandar keimanannya. Yang penting bergelar dan punya sertifikat mengajar, beres. Mereka bisa jadi profesional tapi bagaimana mewujudkan output pendidikan terbaik jika kualitas sang guru pun tak ada yang bisa menjamin?
Belum lagi kalau bicara kesejahteraan. Guru-guru yang ada di Indonesia sendiri belum merata kesejahteraannya. Apalagi dengan mendatangkan guru luar negeri, tentu akan menambah beban biaya untuk negara. Sementara, nasib guru honorer masih terkatung-katung. Alangkah indahnya, jika besarnya biaya �impor� guru luar negeri itu dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan guru yang gajinya masih di bawah standar ini. Semua itu wajib dilakukan agar mereka bisa hidup lebih layak dan mengurangi beban hidup yang bisa mempengaruhi kualitas dalam mendidik.
Belum lagi bicara jumlah SDM sarjana pendidikan di Indonesia. Bukankah tersedia cukup besar jumlahnya? Bayangkan, 300.000 orang lulusan per tahun. Itu angka yang besar!
Lalu, mengapa harus mendatangkan instruktur dan senior expert dari luar negeri? Indonesia memiliki banyak instruktur pendidikan yang cakap. Hanya saja, negara yang belum memberdayakannya secara maksimal. Sungguh wacana ini harus dikaji ulang.
Jangan-jangan, wacana mendatangkan expert dari luar, menjadi magnet tersendiri, untuk menarik minat para siswa atau mahasiswa berduit saja. Atau jusru ada MoU yang sudah diteken terkait TKA (tenaga kerja asing termasuk guru/dosen) sebagai imbas dari utang infrastruktur. Entahlah, waktu yang akan menjawab.
Pendidikan dalam Islam
Din Islam memandang pendidikan sebagai tanggung jawab negara. Sistem Islam akan membentuk kesolehan personal dan komunal bagi para guru dan siswa. Melayani dan memfasilitasi generasi agar berilmu dan berakhlak mulia. Memberi kesejahteraan bagi para guru dengan gaji yang layak. Semuanya akan terwujud manakala Islam dijadikan sebagai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara mandiri dan berdikari membangun peradaban gemilang. Tanpa ada ketergantungan terhadap expert asing, juga pemikiran (tsaqofah), dan peradaban di luar Islam.
Tenaga Pendidik pun memiliki peran yang sentral dalam mencetak output terdidik yang berkualitas. Semua itu terlaksana agar kesenjangan sebagai masalah kesejahteraan tidak terjadi pada negeri ini. Hari ini, banyak kita lihat tenaga pendidik dengan beban kompetensi yang banyak dan gaji yang tak sesuai. Akibatnya, mereka mencari alternatif pendapatan lain sehingga fokus mengajar tidak maksimal. Solusinya, pemerataan kesejahteraan dan penghargaan negara terhadap para mualim dan pendidik.
Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam sistem Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al-Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madina yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 31.875.000).
Sungguh luar biasa, dengan sistem Islam para guru akan terjamin kesejahteraannya dan dapat memberi perhatian penuh dalam mendidik anak-anak muridnya tanpa harus dipusingkan lagi dengan pembagian waktu dan tenaga untuk mencari tambahan pendapatan.
Tidak hanya itu, negara juga harus menyediakan semua sarana dan prasarana secara cuma-cuma dalam menunjang profesionalitas guru untuk menjalankan tugas mulianya. Sehingga, mereka bisa mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Efeknya, tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.
Sayangnya, kesejahteraan guru seperti di atas tidak akan didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena, sangat dibutuhkan sistem pemerintahan dan ekonomi yang handal dan mampu memaksimalkan kemampuan negara dalam menyediakan segala kebutuhan masyarakat, termasuk pendidikan. Hal ini menjauhkan dari pandangan kapitalistik bahwa pendidikan adalah bisnis, untuk mencari keuntungan. Sungguh, umat membutuhkan sistem Islam dalam naungan Khilafah agar seluruh persoalan pendidikan mulai dari asas, kualitas pendidik, prasarana, bahkan kesejahteraan akan tuntas. Karena Islam adalah rahmatan lil alamin. Wallahu A�lam Bisshawab. [MO/ms]
Post Comment
Tidak ada komentar