Breaking News

KPK Melemah, Koruptor Sumringah



Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 Tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Peraturan tersebut ditandangani oleh Jokowi pada 24 Juli 2020 dan diundangkan pada 27 Juli 2020.

Saat dikonfirmasi, Pranata Humas Ahli Pertama Kementerian Sekretariat Negara Bayu Gialucca Vialli membenarkan hal itu.
"(Benar) Terlampir salinannya," (https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/09/161438465/pegawai-kpk-kini-resmi-berstatus-asn-pp-sudah-ditandatangani-jokowi, 9/8/2020)

Pergantian status pegawai KPK ini pastinya akan berpengaruh terhadap independensi. 
UU KPK terbaru menyatakan bahwa pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Aparatur Sipil Negara (UU No. 5 Tahun 2014) dan secara lebih spesifik harus tunduk dengan PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sesuai dengan PP 53 Tahun 2010 ini maka ASN harus patuh pada pemerintah. Sehingga pegawai KPK yang berstatus ASN tak akan mungkin memiliki independensi ketika melakukan pemeriksaan  dan pengawasan kepada pemerintah. Padahal untuk melakukan pemberantasan korupsi secara optimal diperlukan lembaga antikorupsi yang independen.

Status pegawai KPK menjadi ASN sangat rentan intervensi rezim yang tengah berkuasa. Kedudukannya pasti tidak akan independen ketika masuk ke jaringan kekuasaan eksekutif, sementara tugas dan wewenangnya lebih condong pada kekuasaan pengawasan hingga yudisial. 

Tak mengherankan dalam negara demokrasi seringkali membentuk lembaga-lembaga tertentu dalam rangka menyelesaikan permasalah. Misalnya pembentukan lembaga KPK dilatarbelakangi oleh tingginya kasus korupsi dengan harapan mampu memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Padahal pembentukan lembaga tersebut tak menyentuh akar permasalahan yang melandasi tingginya angka korupsi.

Tingginya angka korupsi di negara-negara demokrasi disebabkan:
1. Mahalnya ongkos pesta demokrasi
Pesta demokrasi pastinya membutuhkan dana yang besar. Misalnya untuk bergabung menjadi calon legislatif di suatu partai politik saja butuh puluhan juta. Belum lagi untuk modal kampanye melalui kegiatan-kegiatan sosial demi meraih simpati rakyat. Sehingga korupsi menjadi jalan tercepat untuk mengembalikan modal.

2. Penerapan sistem kapitalis yang mensuasanakan manusia berperilaku rakus. Sistem kapitalisme menjadikan materi(harta, jabatan, nama baik dan sebagainya) sebagai sumber kebahagiaan. Hal ini akan memicu manusia menghalalkan segala cara demi meraih materi sebanyak-banyaknya termasuk melakukan tindak pidana korupsi. Misalnya munculnya para pejabat yang telah digaji tinggi oleh negara namun tetap saja melakukan korupsi.

3. Sanksi hukum yang ringin bagi koruptor. Menjamurnya koruptor di negeri ini salahsatunya disebabkan ringannya sanksi bagi mereka sehingga tak mampu memberi efek jera. Ruang tahanan atau penjara bagi koruptor tak terlihat menakutkan malah terkesan mewah daripada ruang tahanan para pencuri  kelas teri. 

Islam memiliki sanksi hukum yang bersifat tegas bagi tindak kriminal termasuk pidana korupsi. Hukum Islam bersifat memberi efek jera dan menebus dosa. Pelaku korupsi diposisikan sebagai pencuri yang harus dipotong tangannya hingga dibunuh dan dimiskinkan. Hukuman tersebut jelas mampu memberi efek jera bagi koruptor dan calon koruptor, serta akan mampu menebus dosa tersebut. Namun pemberlakuan hukum ini hanya bisa diterapkan melalui institusi yang menerapkan Islam secara sempurna dalam kehidupan.

Pembentukan lembaga anti korupsi sebenarnya tak akan mampu memberantas tindak pidana korupsi di negara demokrasi. Apalagi jika tak didukung oleh penerapan hukum yang mampu memberi efek jera bagi koruptor serta tak ada independensi dan rawan intervensi. Hal ini malah semakin menjadikan KPK melemah dan koruptor sumringah.[]


Oleh: Nanik Farida Priatmaja

Tidak ada komentar