Breaking News

Indonesia Harus Waspadai Investasi Cina Timbulkan Debt Trap ??

  Opini    KU   - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Moh Zulfikar mengatakan pemerintah Indonesia harus mewaspadai investasi besar-besaran Cina di Indonesia dalam misi Belt Road Iniative (BRI). Sebab, investasi itu dapat menimbulkan debt trap atau jebakan utang






Ia menjelaskan, Cina telah melakukan beberapa cara untuk mendapatkan simpati dari negara-negara dalam proyek BRI. Penggunaan prinsip B2B (Business to Business) digunakan oleh Cina untuk BRI membuat negara-negara yang terkena dampak merasa bahwa mereka hanya berhadapan dengan 'aktor-aktor kecil dari Cina'.

Padahal dalam struktur ekonomi Cina, ia mengatakan, perusahaan-perusahaan Cina adalah BUMN yang mana pemerintah masih bermain peran. Jika memang perusahaan privat bermain, mereka juga biasanya dipimpin oleh orang-orang yang masih punya keterkaitan dengan Partai Komunis Cina.

"Jadi saya pribadi tidak begitu terbuai dengan pendapat Cina bahwa perjanjian Indonesia dengan Cina dalam konteks BRI adalah B2B. Masih ada kemungkinan adanya debt trap meskipun perjanjian dilakukan secara B2B," ujar Zulfikar dalam diskusi dengan media, Sabtu (11/5) malam.


Zulfikar mengatakan strategi BRI lainnya, adalah strategi promosi melalui budaya (cultural exchanges). Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis di dokumen resmi BRI.

Ia mengatakan strategi budaya ini mulai meningkat sejak beberapa tahun belakangan ini. Misalnya, berdirinya China-Indonesia Cultural Forum pada Januari 2019 dan Partai Komunis China melakukan pertukaran budaya melalui BRI di Bali, pada September 2018.


Cina kabarnya juga berencana lagi untuk membangun Confucius Institute di beberapa tempat di Indonesia, yang beberapa sudah dibangun. "Tapi perlu dicatat, bahwa strategi-strategi ini masih dalam tahap awal di Indonesia. Perkiraan ke depan ini akan meningkat seiringnya berjalannya waktu," katanya.

Melihat hal ini, menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, mempelajari tentang Cina, motif, dan strateginya seperti apa, sehingga Indonesia tidak salah dalam membuat kebijakan atau respons.

Kedua, Indonesia juga perlu sadar bahwa sebenarnya Cina yang lebih butuh Indonesia daripada sebaliknya. Berdasarkan peta BRI, jalur laut BRI memang direncanakan melewati Indonesia.

Ini artinya Indonesia memiliki posisi strategis dalam rencana Cina. Dengan kata lain, rencana untuk menghidupkan jalur sutra kembali tidak akan terwujud tanpa peran Indonesia.

"Karena itu, langkah kedua adalah kita harus lebih berani untuk berhadapan dengan Cina. Istilahnya 'Jangan Nrimo Aja'," kata Zulfikar.

Dia mencontohkan, Malaysia sudah membuktikan mereka bisa bernegosiasi dengan Cina. Begitu juga dengan Arab Saudi melalui proyek YASREF di Laut Merah, di mana perjanjian yang dilakukan dengan Cina adalah 63:37 dan Arab Saudi memiliki kontrol dan peran yang lebih strategis.

Bagi Indonesia, ia mengatakan, keberanian dapat dilakukan untuk menegosiasi jangka waktu pembayaran utang. "Jangka waktu pembayaran tersebut sebenarnya bisa dinegosiasi sehingga kita tidak terkena debt trap," ujarnya.

Kemudian, pemerintah juga harus pandai mengarahkan investasi Cina ke sektor-sektor yang dapat menguntungkan bagi kita atau dapat kita ekspor ulang seperti pertanian. "Cina juga lagi gencar di sektor Islamic Finance. Ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia," katanya.

Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menambahkan, adanya dominasi Cina dalam ekonomi Indonesia, baik dari sisi investasi dan perdagangan sulit untuk ditolak. Namun sepanjang itu menguntungkan bagi Indonesia diperbolehkan.

"Apabila misalnya investasi yang dilakukan hanya untuk pasar Indonesia, maka itu yang unfair atau tidak adil, sehingga perlu didorong investasi pada industri yang berorientasi ekspor," kata Tauhid.

Sementara dari perdagangan, jika Indonesia tidak bisa surplus maka ini akan menkhawatirkan ekonomi Indonesia. Dengan demikian, ia mengatakan, dominasi Cina bagi ekonomi kita memang bisa dianggap berlebihan.

Indonesia Sulit Keluar dari Belt Road Initiative Cina

Pemerintah Cina semakin gencar mengembangkan Belt Road Initiative (BRI) di Indonesia. Bahkan saat ini, ekonomi Indonesia sudah semakin terbuka untuk Cina.


Kebijakan BRI dimulai saat Cina masuk dalam perdagangan bebas ASEAN. Keterbukaan Indonesia terhadap Cina dibuka sejak perjanjian antar ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada 1 Januari 2010, dimana ditandatangani persetujuan pada tahun November 2004 dan direvisi pada tahun 2006 dan 2010.

Kesepakatan ini berlaku efektif pada 1 Januarry 2012 untuk produk barang dengan status �Normal Track�. Artinya, produk yang dikatakan dapat normal diperdagangkan antar negara dan bukan  produk �sensitive� yang diperdagangkan antar negara. Sementara keterbukaan untuk sektor Jasa ditandangani pada tahun 2007 dan fasilitasi investasi antar negara ASEAN dan China ditandatangani sejak 2009.

"Sejak kesepakatan ini ditandatangani,  ekonomi Indonesia semakin terbuka terhadap Cina," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad dalam diskusi dengan media, Sabtu (11/5) malam.

Dimulai tahun 2013 hingga 2018, investasi yang berasal dari Tiongkok naik pesat rata-rata 98 persen pertahun dan dari Taiwan rata-rata sebesar 49,87 persen. Sementara investor tradisional Indonesia yakni Singapura hanya tumbuh 16,49 persen, Malaysia 42,85 persen, Jepang 8,62 persen, Korea Selatan 3,17 persen, dan Amerika Serikat malah minus (-)3,04 persen. Ini artinya, peran Cina semakin besar bagi Indonesia sejak kesepakatan tersebut dibuat.

Meskipun demikian pada Januari 2013 hingga April 2019, investasi Cina dan Taiwan berjumlah 20,38 miliar dolar AS (11,4 persen). Angka itu masih berada di bawah Singapura yang sebesar 44,97 miliar dolar AS (25,2 persen) serta Jepang yang sebesar 26,9 miliar dolar AS (15,1 persen). Amerika sendiri investasinya hanya sebesar 8,9 miliar dolar AS (5,0 persen).

Dari angka tersebut dapat terlihat, dalam jangka lima tahun Cina dapat menyusul Jepang sebagai investor kedua terbesar di Indonesia. Dan kemungkinan dalam janga panjang akan sebagai investor terbesar (pertama) di Indonesia menggantikan Singapura.

"Artinya kita semakin sulit keluar dari tawaran BRI karena peran Cina sudah terlampau besar. Jadi penting bagi kita untuk diversifikasi investor luar Cina dan tujuan ekspor non-Cina," tuturnya.

Sementara dari sisi perdagangan, Cina adalah mitra terbesar Indonesia saat ini dibandingkan dengan negara mitra dagang utama Indonesia, baik Singapura,  Amerika dan Jepang. Ekspor Indonesia ke Cina sejak 2014 hingga 2018 rata-rata sebesar 18,1 miliar dolar AS dengan pertumbuhan sebesar 13,47 persen.

Sementara Impor pada kurun waktu yang sama sebesar 34,2 miliar dolar AS dengan pertumbuhan sebesar 10,37 persen, atau dalam kurun waktu yang sama, defisit perdagangan Indonesia mencapai sebesar 16,1 miliar dolar AS.

"Ini tentu sangat membahayakan apalagi pada saat perang dagang, maka ekspor kita akan menurun, mengingat banyak produk kita yang berbasis sumberdaya alam merupakan dalam bentuk produk antara, baik CPO, Produk Kayu, Produk Karet dan sebagainya," jelasnya.

Ekonom INDEF Moh. Zulfikar menambahkan, salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus pandai mengarahkan investasi Cina ke sektor-sektor yang dapat menguntungkan atau dapat kita ekspor ulang seperti pertanian.

"Cina juga lagi gencar di sektor Islamic Finance. Ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia," kata Zulfikar.

Tidak ada komentar