Breaking News

Advokat Senior Dr. Maiyasyak Johan: Kecurangan Bisa Mendiskualifikasi Capres

  Opini    KU   -  Advokat senior, Dr. Maiyasyak Johan, SH, MH, memberi tanggapan tentang paparan "Fakat-fakta Kecurangan Pilpres 2019" yang diungkap Prabowo-Sandi di Hotel Grand Sahid, Selasa (14/5/2019).

Maiyasyak Johan adalah "jagoan tua", yang dulu dipenjara orde baru bersama doktor Mochtar Pakpahan. Namun, meski tua, saatnya turun gunung.

Sebagai kader alm. Adnan Buyung Nasution, bergelar doktor, eks komisi III DPR RI, tidak mungkin tahan hanya berdiam diri.

Berikut tulisan Dr. Maiyasyak Johan, SH, MH yang diposting di akun fbnya:





IMPLIKASI POLITIK & HUKUM ATAS HASIL SCIENTIFIC INVESTIGATION DALAM KASUS PILPRES 2019

Untuk menegakkan hukum dan keadilan, Scientific investigation, adalah salah satu instrumen yg sangat diinginkan oleh KUHAP dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana - agar kita bisa meninggalkan investigasi nginjak kaki atau intimidasi.

Dalam pengertian sempit, scientific investigation dalam praktek hukum selalu diletakkan dibawah otoritas formal pihak penyidik, seperti: permintaan visum et repertum pada rumah sakit, atau permintaan audit kepada BPK utk masalah keuangan negara dan lain sebagainya.

Namun dalam arti luas, scientific investigation bisa juga dilakukan oleh masyarakat atau pihak lain yang oleh karena posisi hukumnya dapat melakukannya. Termasuk dalam hal ini adalah dalam kasus Pemilu Capres atau Pileg - untuk membuktikan adanya kecurangan.

Kelihatannya itu yang dilakukan oleh Capres 02 dan Timnya yang diumumkan secara terbuka pada hari ini di Hotel Sahid jalan Sudirman Jakarta. Dan sebelumnya sebahagian telah diserahkan kepada Bawaslu - untuk diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, ternyata sangat lambat.

Pihak Capres 02 selain mengumpulkan data manual, memiliki
saksi juga melakukan scientific investigation terhadap IT dan sistem penghitungan suara yang ada di KPU - dan hasilnya tadi diumumkan, ditemukan bukti adanya kecurangan.

Di atas fakta dan bukti yang ditemukan tersebut, pihak 02 menyatakan sikap menolak hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU.

Pernyataan sikap Capres 02 dan Timnya tersebut memiliki implikasi hukum dan politik:

Pertama, secara hukum hal itu mewajibkan pemerintah dan aparat hukum untuk menindaklanjuti hasil temuan 02 tersebut utk melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Kedua, agar tidak ada usaha untuk menghilangkan barang bukti dan lainnya, penyidik harus melakukan pembeslagan- agar tidak ada barang bukti yg hilang, rusak atau dirusak.

Ketiga mensuspend untuk sementara kegiatan penghitungan suara - sembari meminta bantuan pakar-pakar IT terpercaya yang disetujui 02 untuk melakukan audit forensik atas sistem IT KPU termasuk Situng.

Bila hasil audit forensik para pakar itu membuktikan benar terjadi kecurangan dan membenarkan temuan tim 02, maka Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan:

a. terhadap yang melakukan kecurangan, yang menyuruh melakukan dan yang turut melakukan kecurangan semuanya diproses secara hukum.

b. mendiskualifikasi calon presiden yg melakukan kecurangan

c. mengumumkan pemenang pilpres 17 april 2019.

Jika tindakan itu tidak dilakukan, maka implikasi politiknya adalah kita memasuki ketidakmenentuan dengan segala kemungkinan.

Dan itu tak ada yang tau akan seperti apa - sejarah yang akan bicara.

Jakarta,
15 Mei 2019.

Maiyasyak Johan 
Advokat & Pemerhati politik.

*Sumber: fb penulis



Jika Terbukti Dicurangi Kedua Paslon Berhak Menolak Hasil KPU

Pengamat Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai sah-sah saja bagi kedua paslon untuk tidak menandatangani hasil penghitungan suara dalam sistem hitung manual atau Real Count KPU RI. Jika sudah terbukti kecurangan dilakukan secara masif dan disertai data akurat atas kecurangan tersebut.

Menurut Hendri, menandatangani hasil penghitungan suara di KPU RI merupakan tindakan menerima secara sukarela atas menang kalah bagi kedua paslon. Tapi jika tidak puas dengan hasil perhitungan suara tersebut, maka sah-sah saja menolak untuk menandatangani.





Untuk itu, perlu langkah preventif bagi KPU RI untuk mencegah tindakan chaos di waktu-waktu tersebut. Agar tidak terjadi perpecahan maka KPU RI diimbau untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU).

"Kalau semua clear dan jelas kan tidak ada alasan untuk tidak menandatangani hasil pilpres tersebut kan. Namun, jika ada yang merasa dicurangi sah-sah saja menolak dan meminta pemilu diulang," kata Hendri saat dihubungi TIMES Indonesia di Jakarta, Rabu (15/5/2019).

Namun, dia menyarankan kepada kedua paslon untuk bertindak tidak gegabah dan egois dalam menyikapi hasil perhitungan tersebut. Jika memang cukup bukti terkait kecurangan, maka segera memproses melalui jalur hukum yang sudah diatur oleh undang-undang sehingga Bawaslu RI nanti akan merekomendasikan langkah selanjutnya kepada KPU RI agar pemungutan suara ulang tersebut dilakukan.

"Jadi kalau memang direkomendasikan oleh Bawaslu dan diatur oleh undang-undang maka silahkan saja terus dilaksanakan itulah intinya. Dan yang lain-lain itu bisa dipertimbangkan," tegas Hendri Satrio, Pengamat Politik Universitas Paramadina. (TI)

Tidak ada komentar