Breaking News

Pengamat Hukum : Jika Mengikuti UU yang Berlaku, Pidato "Pribumi" Anies Baswedan Bisa Masuk Penjara



AKTUALIZER,- LBH Jakarta mengecam penyebutan istilah �pribumi� dalam pidato politik Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, usai pelantikan, Senin (16/10/2017). Menurut LBH, selain bisa menyulut sentimen primordial antar kelompok, juga bertentangan dengan ketentuan hukum.

LBH pun berharap Anies mau mencabut pernyataan tersebut dan meminta maaf secara terbuka kepada publik.

�Pemilihan penggunaan istilah �pribumi� dalam pidato resmi pejabat negara kontraproduktif dengan upaya mendorong semangat toleransi dan keberagaman. Sayangnya, banyak pejabat negara, termasuk Anies Baswedan, masih kerap menggunakan istilah tersebut dalam memberikan pidato atau pernyataan publik melalui media massa,� ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa di Jakarta, Senin (16/10).

loading...

Menurut Alghiffari, pernyataan Anies Baswedan tersebut senada dengan narasi yang digunakan oleh salah satu kelompok pendukungnya kemarin (16/10) yang membentangkan spanduk �Kebangkitan Pribumi Muslim� di depan Balai Kota DKI Jakarta menjelang pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Seandainya dimaksudkan untuk menyebar kebencian diskriminasi ras dan etnis, kata Alghiffari, hal itu termasuk pelanggaran Pasal 4 huruf b ke-1 dan 2 dan Pasal 16 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang secara tegas mengatur sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah).

Alghifari menambahkan, penggunaan istilah �pribumi� di lingkungan pemerintahan sudah dicabut sejak diterbitkannya Instruksi Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi oleh Presiden Habibie untuk mengakhiri polemik rasialisme terhadap kelompok Tionghoa di Indonesia pada masa itu.

Anies - Sandiaga dilantik menjadi Gubernur/Wakil Gubernur DKI.

Penggunaan istilah �pribumi� dalam pidato publik juga melanggar semangat penghapusan diskriminasi rasial dan etnis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.

loading...

Pertimbangan UU Nomor 40 Tahun 2008 menyebutkan bahwa umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama tanpa perbedaan apapun, baik ras maupun etnis.

Setara Institute Kritik Pidato Anies

Hal senada juga diungkapkan Ketua Setara Institute, Hendardi. Ia menilai isi pidato Anies bisa dianggap mengandung unsur rasisme.

�Pidato yang penuh paradoks. Di satu sisi mengutip pernyataan Bung Karno tentang negara semua untuk semua, tapi di sisi lain menggelorakan supremasi etnisitas dengan berkali-kali menegaskan pribumi dan non pribumi sebagai diksi untuk membedakan sang pemenang dengan yang lainnya,� ujar Hendardi melalui pers Setara Institute, seperti dikutip Antara, Selasa (17/10/2017).

Hendardi menilai penggunaan istilah pribumi bisa dianggap melanggar Instruksi Presiden Nomor 26/1998 yang melarang penggunaan istilah pribumi dan non pribumi untuk menyebut warga negara.

Selain itu, ia juga menanggap Anies telah mengabaikan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Mestinya, menurut Hendardi, Anies mengajak masyarakat Jakarta menyatukan kebersamaan karena sebelumnya sempat terbelah saat Pilkada DKI Jakarta.

Ketua Setara Institute, Hendardi

�Anies seharusnya di hari pertama kerja melakukan emotional healing atas keterbelahan warga Jakarta akibat politisasi identitas, tetapi justru mempertegas barikade sosial atas dasar ras dan etnis,� kata dia, Selasa (17/10/2017).

Berikut rilis pers lengkap Hendardi, Ketua SETARA Institute, 17/10:

1. Pada mulanya banyak pihak yang beranggapan bahwa politisasi identitas agama, ras, golongan adalah sebatas strategi destruktif pasangan Anies Sandi untuk memenangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Artinya politisasi identitas itu hanya untuk menundukkan lawan politik dan menghimpun dukungan politik lebih luas, hingga memenangi Pilkada.

2. Akan tetapi, menyimak pidato pertama Anies setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, publik menjadi mafhum bahwa visi politik Anies adalah rasisme. Politisasi identitas bukan hanya untuk menggapai kursi Gubernur tetapi hendak dijadikan landasan memimpin dan membangun Jakarta. Pidato yang penuh paradoks: satu sisi mengutip pernyataan Bung Karno tentang negara semua untuk semua, tapi di sisi lain menggelorakan supremasi etnisitas dengan berkali-kali menegaskan pribumi dan non pribumi sebagai diksi untuk membedakan sang pemenang dengan yang lainnya.




3. Pernyataan Anies bukan hanya keluar dari nalar etis seorang pemimpin provinsi melting pot yang plural, tetapi juga membangun segregasi baru atas dasar ras. Kebencian atas ras adalah mula dari suatu praktik genocida seperti di Myanmar. Genocida tidak hanya dalam bentuk fisik tetapi juga dalam bentuk penegasian ras dan etnis lain dalam membangun Jakarta.

4. Anies bisa dianggap melanggar instruksi presiden no. 26/1998 yang pada intinya melarang penggunaan istilah pri dan non pri untuk menyebut warga negara. Anies juga bisa dikualifikasi melanggar semangat etis UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

5. Anies, yang seharusnya di hari pertama kerja melakukan emotional healing atas keterbelahan warga Jakarta akibat politisasi identitas, tetapi justru mempertegas barikade sosial atas dasar ras dan etnis. Sosok pemimpin seperti ini tidak kompatibel dengan demokrasi dan Pancasila, karena mengutamakan supremasi golongan dirinya dan mengoyak kemajemukan warga..Next Page


Tidak ada komentar