Breaking News

Kejar Sinyal Demi Belajar



Program kebijakan pembelajaran via daring di masa pandemi kini dianggap sebagai solusi, namun pelaksanaannya tidaklah berjalan secara efektif. Kendala sinyal sering kita jumpai hingga tidak sedikit siswa, guru dan bahkan orang tuapun ikutan pusing memikirkannya. 

Kini, lantaran hanya ingin belajar daring. Tiga siswa SMPN 7 Jember ini rela tiap hari menyusuri sungai dan berada diatas batu besar berikut naik turun gunung dan lembah hanya untuk mencari sinyal. Kadang sang guru juga menemani, lantaran takut jika tugas yang telah disebar lewat internet tidak sampai ke tangan siswa.
 
Rumah siswa di wilayah Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang Jember merupakan lokasi yang kurang menguntungkan untuk belajar daring, karena sinyal di wilayah tersebut blackspot.

Oleh karenanya, untuk melihat secara pasti tugas yang di berikan kepada siswa lewat internet sudah sampai ke tangan siswa dan telah dikerjakan atau belum. Para guru secara berkala menemui siswa untuk mengawal proses belajar mengajar.
 
Bahkan guru ikut juga mengawal siswa untuk menyusuri sungai, gunung , lembah dan terasering untuk mengerjakan tugas sekolah lewat media virtual.
 
Tiap hari  Doni, Andika dan Vina langsung lari ke sungai, ke pegunungan berikut ke terasering untuk mencari sinyal guna mengerjakan tugas sekolah mereka.
 
Jika di tengah sungai sinyal mulai redup, mereka segera bergegas menuju gunung dengan cara berjalan kaki menyusuri jalanan setapak naik turun gunung.

Kalau sudah menemukan sinyal, tiga siswa ini kemudian duduk di tempat itu sambil membuka hp, berikut mengerjakan soal yang diberikan guru kepada para siswa itu.
 
Menurut Andika, siswa kelas 7 SMPN 7 Jember, karena di rumahnya tidak ada sinyal, ia bersama teman - temannya mencari di tengah sungai berikut atas gunung.

Andika mengaku tidak senang belajar seperti ini dan ingin secepatnya belajar tatap muka. Selain tidak pernah bertemu teman temannya, belajar dengan cara daring kadang terkendala sinyal dan quota internet yang cepat habis. ( Senin, 03/08/2020/pojokpitu.com).

Disinyalir sekolah dengan sistem pembelajaran jarah jauh selama pandemi Covid-19 sudah berjalan 4 bulan, sebagian daerah berjalan lancar, namun sebagian lagi ada yang terkendala berbagai permasalahan, sehingga tidak efektif.

Salah satunya SMP di Desa Sidodadi, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Siswa di SMP ini terkendala sejumlah persoalan, seperti tidak ada sinyal internet, siswa tidak memiliki ponsel pintar dan tidak memiliki data internet.  (Selasa, 04/08/2020/KOMPAS.TV).

Inilah kenyataan di lapangan sekolah daring ternyata tidaklah hanya sekedar membutuhkan pulsa dan kuota data, tapi juga perangkat lain, yakni gawai (gadget) entah itu ponsel pintar (smartphone) ataupun komputer jinjing (netbook) dan yang terpenting lagi yakni adanya sinyal sehingga belajar daring bisa terlaksana.

Namun,  pelaksanaan sekolah daring acap kali terhadang banyak kendala. Di antaranya tentu saja ketika ada orang tua yang tidak memiliki perangkat android. Juga daerah-daerah yang tak terjangkau listrik dan sinyal internet. Sebagaimana kisah dari siswa SMPN 7 dan salah satu SMP di Jember.

Kendala-kendala seperti ini semestinya turut dipikirkan matang oleh pemerintah, baik dari sisi pembiayaan dan antisipasi segala kemungkinan yang harus disiapkan ataupun diupayakan.

Pada dasarnya kondisi pandemi sebenarnya tidak baru saja terjadi sehari dua hari. Jadi, tak perlu juga selalu mengkambinghitamkan pandemi sebagai “penghalang terbesar” pelaksanaan KBM di sekolah.

Di samping itu, bukankah dana pemerintah untuk penanggulangan Covid-19 memang lumayan besar? Apakah dana tersebut hanya berkutat untuk sektor kesehatan?

Boleh saja anggaran besar digelontorkan untuk sektor kesehatan demi mengatasi pandemi. Memang negara wajib untuk itu. Hanya saja, sektor lain tidak boleh diabaikan begitu saja termasuk pendidikan, terlebih masih banyak dana lain yang bisa dialihkan ke sektor yang lebih utama, yakni pendidikan ini. Bahkan, dibalik pandemi kini hutang negarapun nominalnya membengkak.

Namun demikian, mari sejenak kita kulik soal dilema sekolah daring ini. Yang sudah jamak diketahui, di satu sisi begitu banyak keluarga yang ekonominya jatuh. Mereka korban PHK, dirumahkan, bisnis sepi, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, mereka ternyata harus memperjuangkan kocek untuk anggaran lain demi sekolah buah hatinya. Untuk membeli pulsa/kuota internet, misalnya.
Bahkan, masyarakat, yang mayoritas kalangan ekonominya mendadak menjadi menengah ke bawah di tengah pandemi, tetap harus berjaga-jaga. Siap-siap dana lebih. Selain untuk mengisi urusan perut, juga berfikir  bagaimana agar sekolah ananda bisa tetap berlangsung.

Bahkan, tak jarang mereka harus bertaruh, beli beras atau kuota internet. Itu pun belum tentu sinyal internet lancar di wilayah tempat tinggal mereka, meskipun sudah menggunakan WiFi. Bagaimanapun, sinyal internet seringkali masih ruwet dalam pertarungan lalu lintas antara 3G dan 4G. Belum termasuk sinyal 5G yang ikut turut serta dalam pertarungan.

Kini, sungguh telah tampak tak sedikit kisah ironis, dramatis, hingga prihatin, yang diberitakan di sejumlah media tentang hal ini. Di antara mereka ada yang harus belajar daring di pinggir jalan raya, di atas pohon, kebun, pinggir tebing/jurang, naik turun gunung dan lokasi lain yang sebenarnya sama-sama tidak kondusif untuk belajar.

Bahkan, tidak sedikit anak didik yang mencoba menambah pemasukan dengan berjualan nasi bungkus atau barang lainnya. Hingga ada yang nekat, dari anak didik sampai rela jual diri. Astaghfirullah miris sekali.

Ada juga dari mereka yang benar-benar tak punya ponsel pintar, pada akhirnya terpaksa memilih belajar luring (luar jaringan) seorang diri di sekolah, tanpa teman-teman sekelasnya, hanya didampingi guru yang bersangkutan.

Semua upaya mereka itu semata demi tetap meraih hak pendidikan bagaimana agar bisa belajar. Namun, yang terjadi sungguh bagai mengejar sinyal yakni dalam kondisi kelelahan.

Dengan demikian, yang jelas ternyata belajar daring justru membuahkan diskriminasi pendidikan. Realitasnya, lagi-lagi hanya mereka yang punya uang yang bisa sekolah. Karena hanya yang punya uang yang bisa beli pulsa/kuota data yang besar beserta perangkat penunjang lainnya. Serta area tertentu  mendapatkan sinyal yang memadai sementara area lain tidaklah  mudah  mendapatkan sinyal untuk bisa belajar meskipun harus mencari dan mengejar.

Sehingga dalam menyikapi problem yang demikian,  sebenarnya tidak bisa berhenti pada aspek teknis pembelajaran semata. Tapi juga berfikir akan  dampaknya secara luas pada aspek lainnya, tak terkecuali pada aspek sosial dan ekonomi.

Demikianlah kiranya ketika pendidikan tidak dianggap sebagai bagian penting pencetak bangunan sebuah peradaban. Akibatnya, seolah penguasa terlihat tidak serius menggarap sektor pendidikan tetapi lebih terfokus pada perekonomian.
Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan hanya bersifat memerintah, tidak jarang juga menghadapi ancaman adanya output pendidikan yang justru merusak generasi.

Dengan kata lain, anak didik yang sudah sekolah, seringkali nasibnya malah berakhir menjadi korban peradaban. Mereka tidak tampil menjadi kaum terpelajar. Justru tidak sedikit ditemukan kasus mantan anak berprestasi yang ternyata di masa depan misalnya menjadi  koruptor.

Karena itu,  hendaknya sistem pendidikan di masa pandemi ini dikembalikan fungsinya sebagai wasilah menuju ketaatan dan ketakwaan.

Sistem pendidikan seyogianya tetap bisa menjadi perisai generasi dari berbagai ancaman generasi. Dengan catatan, sistem pendidikannya wajib berbasis akidah Islam yang akan mengantarkan pada penyempurnaan iman dan keterikatan pada syari'at Allah Swt..

Allah Swt. berfirman :

… يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS Al-Mujadalah [58]: 11).

Ayat di atas mengandung makna tentang wasilah dari fungsi sistem pendidikan Islam, sebagai satu-satunya sistem pendidikan yang menghasilkan sosok generasi berkepribadian Islam. 

Sebagaimana tujuan pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.

Oleh karena itu, sistem pendidikan harus ditopang dengan sistem politik Islam, agar fungsi pendidikan sebagai wasilah pencetak generasi pembangun peradaban itu dapat terwujud.

Dengan begitu, umat butuh sistem Khilafah  sebagai payung besar  tata aturan kehidupan yang berlandaskan akidah Islam dan terikat dengan syariat Allah Swt., Al-Khaliq (Sang Pencipta) dan Al-Mudabbir (Sang Pengatur).

Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda,

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Wallahu'alam bi-ashowab.[]


Oleh : Watini Alfadiyah, S. Pd.
Praktisi Pendidikan

Tidak ada komentar