Breaking News

Panduan Pesta Pernikahan Dalam Islam


Asianmuslim.com - Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia mengadakan pesta saat resepsi pernikahan. Kurang afdol aqad nikah tanpa pesta demikian anggapan sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun bagaimana islam memandang maslah ini, apa hukum pesta pernikahan dalam tinjauan syariat?

Resepsi pernikahan atau dikenal juga dengan Walimah al-‘urs adalah istilah untuk makanan yang khusus dihidangkan untuk acara pernikahan.

Hukum Pesta Pernikahan

Walimah al-‘urs suatu sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mustahab muakkad untuk dilaksanakan oleh pengantin laki-laki dengan apa yang mudah baginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyelenggarakan walimah saat menikahi istri-istrinya, dan menganjurkan para sahabatnya untuk melaksanakan walimah.

Dari Anas radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjadi pengantin dengannya (yaitu Zainab binti Jahsy). Beliau kemudian mengundang para sahabatnya, maka mereka pun menikmati makanan yang dihidangkan lalu pulang.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu ketika dia menikah,

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاهٍ

“Selenggarakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing.”

Dalam melaksanakan walimah, tidak disyaratkan harus dengan seekor kambing atau selainnya, tetapi dengan apa yang mudah bagi pengantin laki-laki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri berwalimah dengan hais saat menikahi Shafiyah radhiallahu ‘anha.

Hais adalah buah kurma yang dibuang bijinya lalu dicampur dengan adonan keju atau tepung.

Waktu Pelaksanaan Walimatul 'Urs

Kapan walimatul 'urs dilaksanakan? Apakah saat akad nikah, sesudah akad nikah, saat hari berhubungannya suami istri, atau setelahnya?

Pendapat yang benar adalah bahwa walimah dilakukan saat hari pengantin laki-laki masuk menemui pengantin perempuan atau sesudahnya, dan bukan saat akad nikah. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiallahu ‘anhu yang lalu --tentang pernikahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha-- di mana disebutkan di dalamnya bahwa “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjadi pengantin dengan Zainab, lalu beliau mengundang para sahabatnya untuk menikmati makanan (walimah)”.

Sebagian ulama berpendapat bahwa waktu walimah panjang mulai dari akad nikah hingga berakhirnya acara pernikahan.[1]

Undangan Walimatul 'Urs

Dianjurkan bagi pengantin laki-laki untuk mengundang orang-orang shalih ke acara walimahnya, baik dari kalangan miskin maupun kaya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِناً، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ

“Janganlah engkau berteman kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”

Dan dianjurkan agar disediakan dalam acara itu bagian untuk orang-orang fakir dan miskin.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Seburuk-buruk jamuan makan adalah jamuan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya dan tidak mengundang orang-orang miskin. Siapa tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah mendurhakai Allah dan rasul-Nya.”

Hukum Menghadiri Undangan Walimah.

Jumhur ulama berpendapat bahwa memenuhi dan menghadiri undangan walimah al-‘ursadalah wajib hukumnya --kecuali jika ada halangan--. Mereka berdalil dengan dalil-dalil berikut ini.

1. Hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Jika salah seorang dari kalian diundang ke acara walimah, hendaklah dia menghadirinya.”

2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas: “Siapa tidak memenuhi undangan walimah, maka dia telah mendurhakai Allah dan rasul-Nya.”

Dalam hukum ini, perempuan sama dengan laki-laki, wajib hadir. Hanya saja, jika dengan menghadirinya akan terjadi percampuran dengan undangan laki-laki atau khalwat dengan laki-laki bukan mahram, maka dia tidak boleh menghadirinya.

Bagaimana Dengan Orang Yang Diundang Ke Walimah Sementara Dia Sedang Berpuasa?

Siapa yang diundang untuk menghadiri suatu walimah, sementara dia --baik laki-laki atau perempuan-- sedang berpuasa, maka dia tetap wajib menghadirinya berdasarkan dalil-dalil yang lalu. Jika dia menghadirinya, maka dia bebas memilih antara ikut menikmati makanan hidangan bersama yang hadir -- jika puasanya adalah puasa sunnah dan dia memang ingin berbuka-- atau tetap berpuasa lalu mendoakan penyelenggara walimah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Jika salah seorang dari kalian diundang ke acara walimah, hendaklah dia menghadirinya.”

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ

“Apabila salah seorang di antara kalian diundang makan, maka hendaknya dia memenuhinya. Apabila dia tidak berpuasa, hendaknya dia makan. Dan apabila dia sedang berpuasa, maka hendaknya dia berdoa”. Yaitu mendoakan untuk penyelenggara walimah.

Kapankah Suatu Walimah Boleh Tidak Dihadiri?

Telah dijelaskan bahwa kewajiban menghadiri walimah dan memenuhi undangan diikat dengan syarat tidak ada halangan. Di antara bentuk-bentuk halangan di sini adalah:

1. Jika seseorang diundang ke suatu tempat yang padanya terdapat suatu kemungkaran, seperti khamar, alat-alat musik, dan semisalnya, maka pada saat itu dia tidak boleh menghadirinya kecuali dengan maksud mengingkari hal-hal tersebut dan berusaha menghilangkannya. Jika memang bisa dihilangkan, maka dia boleh datang ke sana, tetapi jika tidak, maka dia harus pulang.

Di antara dalil-dalil yang mendasari hal ini adalah hadits Ali radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Aku pernah membuat suatu makanan lalu aku mengundang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menikmatinya, maka beliau pun datang. Namun, begitu beliau melihat di rumahku ada gambar-gambar, beliau balik pulang. [Maka, aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, apakah yang membuatmu memutuskan pulang?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

إِنَّ فِي الْبَيْتِ سِتْرًا فِيهِ تَصَاوِيرُ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ

‘Sesungguhnya di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sesungguhnya para malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar.”

2. Mengundang hanya khusus mengundang orang-orang kaya dan tidak mengundang orang-orang miskin.

3. Pengundang termasuk orang yang tidak merasa bersalah memakan makanan haram dan berkecimpung dengan perkara-perkara yang syubhat.

4. Halangan-halangan syar‘i lainnya yang dengannya kewajiban boleh ditinggalkan.

Demikian pula, orang yang diundang akan diterima uzurnya jika dia memiliki uzur syar‘i, seperti uzur yang membolehkannya tidak ikut shalat jumat baik berupa hujan yang lebat, jalanan yang berlumpur, takut ancaman musuh, khawatir dengan harta, atau faktor-faktor penghalang lainnya.

Pengantin Perempuan Boleh Melayani Tamu-Tamu Suaminya Pada Hari Pernikahannya

Dari Sahl bin Sa‘ad radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Abu Usaid as-Sa‘idi mengundang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada acara pernikahannya. Pada hari itu, istrinyalah yang melayani mereka, padahal dia pengantin perempuan.” Sahl kemudian berkata, “Tahukah kalian minuman apa yang dia suguhkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Dia merendamkan kurma untuk beliau dari semalam, kemudian saat beliau makan, dia menyuguhkannya kepada beliau.”

Penulis berkata: Tentunya ini baru bisa dilakukan jika aman dari terjadinya fitnah, wallahu a‘lam.

Memberi Ucapan Selamat Atas Pernikahan

Di antara keindahan-keindahan syariat Islam adalah ajarannya agar seorang muslim memberi ucapan selamat kepada saudaranya muslim atas kebaikan yang diperolehnya, dan mendoakannya agar mendapat keberkahan dari Allah Subhanahu wata’ala, senantiasa mendapat nikmat dan mensyukurinya. Oleh karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mendoakan orang yang menikah agar mendapat berkah dan taufik dari Allah Subhanahu wata’ala, serta kekekalan pernikahan.

Doa Yang Diucapkan Untuk Kedua Mempelai

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengucapkan selamat kepada seseorang atas pernikahannya, beliau biasa mengucapkan:

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Semoga Allah memberkahimu, senantiasa melimpahkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata, “Saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahiku, ibuku mendatangiku lalu membawa aku masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalam rumah telah ada perempuan-perempuan Anshar. Mereka berkata,

عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ

“Semoga memperoleh kebaikan dan keberkahan, dan semoga mendapat nasib yang terbaik.”

Tidak sepatutnya kita berpaling dari ucapan-ucapan selamat yang disyariatkan tersebut dengan beralih menggunakan ucapan yang biasa diucapkan orang-orang awam: bi ar-rafa’ wa al-banin (semoga selalu akur dan dikaruniai anak laki-laki) karena telah dijelaskan larangan mengucapkan ucapan tersebut.

Dianjurkan Memberi Hadiah Kepada Kedua Mempelai

Dasar hukumnya adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Zainab, Ummu Sulaim menghadiahkan kepada beliau hais yang diletakkan di dalam bejana dari batu ...”

Wallohu a'lam bishshowab

Tidak ada komentar