Sampai Kapan Menunggu Godot Perppu KPK?
Oleh: Denny Indrayana, Advokat Utama Integrity Law Firm
Presiden Joko Widodo belum memutuskan apakah ia akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari mati surinya.
Berbagai desakan dari tokoh masyarakat, aktivis antikorupsi, maupun berbagai demonstrasi mahasiswa tidak kunjung meyakinkan Presiden. Tekanan politik�atau lebih tepatnya, kepentingan dan kekuatan kelompok koruptif membuktikan bahwa mereka masih punya daya tawar kuat di hadapan Presiden. Sehingga, harapan ideal untuk menantikan perppu penyelamatan KPK ibarat menunggu godot. Kalaupun hadir, saya khawatir Perppu itu akan sarat dengan berbagai kompromi politik yang tetap melemahkan KPK.
Tulisan ini tidak akan membahas kenapa Perppu penyelamatan KPK itu penting, terkait adanya kegentingan memaksa yang melemahkan KPK. Sudah banyak pendapat dan diskusi soal itu. Meskipun pesimis, saya tetap ingin urun rembug bagaimana idealnya isi Perppu tersebut, dan bagaimana antisipasi politik hukum lanjutan yang perlu dilakukan agar Perppu demikian tidak mubazir, alias sia-sia.
Belajar dari Perppu Pilkada Langsung
Ramainya penolakan revisi UU KPK membuat saya dejavu. Hampir tepat lima tahun yang lalu, di akhir bulan September 2014, menjelang akhir masa jabatan Presiden SBY, Rapat Paripurna DPR yang berlangsung sejak Kamis (25/9/2014) siang hingga Jumat (26/9/2014) pukul 01.40 WIB, melalui pemungutan suara yang dramatis, akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah, dengan opsi pilkada menjadi tidak langsung, alias dipilih oleh DPRD.
Dalam hitungan hari, penolakan atas RUU Pilkada tidak langsung itu meluas dan menjadi berita utama di berbagai media massa. Presiden SBY yang kala itu sedang melakukan lawatan ke Amerika Serikat, meresponnya dengan cepat. Dalam jarak hanya satu minggu, pada 2 Oktober 2014, Presiden akhirnya menerbitkan dua perppu sekaligus, yaitu Perppu No. 1 Tahun 2014, yang pada dasarnya kembali membuat pilkada menjadi langsung oleh rakyat; dan Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Pemda.
Kebetulan, saya yang saat itu tengah mengemban amanah selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM, terlibat dalam proses penyiapan kedua Perppu tersebut.
Hari telah larut malam, mendekati pukul 23:00 WIB pada Sabtu (27/9/2014), ketika Presiden SBY menelepon dari Amerika. Dalam pembicaraan telepon sekitar setengah jam itu saya mencatat dialog penting sebagai berikut:
Saya bertanya, �Apakah Bapak Presiden hanya tidak sepakat dengan RUU Pilkada tidak langsung yang baru saja disetujui di forum DPR, atau lebih jauh Bapak betul-betul menolak Pilkada tidak langsung, dan tetap memperjuangkan Pilkada Langsung�.
�Saya ingin Pilkada langsung oleh rakyat dan menolak Pilkada oleh DPRD�, Presiden SBY menegaskan.
Karena demikian, akhirnya saya mengusulkan Presiden menjalankan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yaitu menerbitkan Perppu yang mengembalikan pilkada langsung. Presiden SBY meminta saya menyiapkan bahan dan kajiannya.
Paginya (28/9/2014), saya berdiskusi dengan empat ahli Hukum Tata Negara, yaitu Prof. Moh. Mahfud MD, Prof. Jimly Asshiddiqie, Prof. Saldi Isra dan Refly Harun. Nama yang terakhir saat itu tengah menyelesaikan program Doktor di Universitas Andalas, Padang. Seninnya (29/9/2014), saya mengumpulkan beberapa ahli HTN untuk berdiskusi di kantor Kemenkumham dan menyiapkan, serta mengantisipasi penerbitan perppu. Hadir di antaranya Saldi Isra dan Refly Harun.
Setibanya di tanah air, pada Selasa (30/9/2014), hari baru pukul 00.40 ketika Presiden SBY langsung menggelar rapat kabinet terbatas di bandara Halim Perdanakusuma. Atas perintah Presiden, dan seizin Menkumham Amir Syamsuddin yang juga hadir di rapat, saya mempresentasikan power point tentang perlunya perppu untuk menyelamatkan pilkada langsung. Setelah rapat sekitar 3,5 jam dinihari itu, ke pada insan pers yang telah menunggu, Presiden SBY menyampaikan tengah menyiapkan plan B untuk mencari solusi terkait RUU Pilkada. Yang dimaksud plan B adalah menerbitkan perppu.
Keesokan harinya (1/10/2014), saya memfinalisasi dua draft perppu yang diperlukan, sedangkan Presiden SBY bergerak cepat melakukan lobi-lobi politik dengan pimpinan parpol di DPR. Singkat cerita, dukungan dari DPR untuk persetujuan perppu didapatkan, dan Presiden SBY akhirnya menandatangani kedua Perppu tersebut pada Kamis (2/10/2014).
Teknis dan Substansi Perppu Penyelamatan KPK
Belajar dari pengalaman lahirnya Perppu Pilkada Langsung di atas, saya menyarankan Perppu Penyelamatan KPK segera ditandatangani oleh Presiden. Hal itu sejalan dengan syarat konstitusional terbitnya perppu �kegentingan yang memaksa�. Makin lambat perppu diterbitkan, makin menunjukkan ketiadaan sifat genting tersebut. Makin lambat dikeluarkan, makin menunjukkan lobi dan kompromi politik sedang bergerilya di sekitar Presiden untuk memastikan Perppu tidak hadir, atau kalaupun lahir, Perppu diaborsi melalui substansi yang tidak menyelamatkan, tetapi tetap melemahkan KPK.
Jadi, sebaiknya Perppu KPK memang segera diterbitkan. Bagaimana caranya? Presiden Jokowi segera menandatangani dan Menkumham ad interim mengundangkan revisi RUU KPK. Penandatanganan tersebut hanya langkah teknis untuk memberi nomor kepada UU tersebut, sehingga segera setelahnya Perppu Penyelamatan KPK dapat diterbitkan.
Nomor revisi UU KPK diperlukan, karena saya menyarankan, substansi Perppu Penyelamatan KPK hanya satu pasal, yaitu mencabut perubahan UU KPK yang baru saja ditandatangani tersebut. Hal demikian sama halnya dengan Pasal 205 Perppu 1 tahun 2014 yang mencabut UU 22/2014 tentang pilkada tidak langsung, yang baru berlaku. Baik Perppu 1/2014 ataupun UU 22/2014 sama-sama diundangkan pada tanggal yang sama, yaitu 2 Oktober 2014.
Dengan dicabut dan tidak berlakunya revisi UU KPK, maka pengaturan KPK kembali ke UU sebelumnya sebelum perubahan, dan dengan demikian KPK bisa hidup lagi dari kematian surinya.
Ada pandangan, bahwa substansi Perppu Penyelamatan KPK sebaiknya menerima dan membatalkan beberapa bagian saja dari revisi UU KPK. Saya tidak setuju pandangan yang demikian. Saya tidak menyarankan ada norma hukum lain dalam Perppu Penyelamatan KPK, kecuali pencabutan keseluruhan revisi UU KPK itu sendiri. Membuka ruang bagi norma hukum lain di dalam Perppu KPK�sekali lagi, sama saja membuka pintu kompromi substansi yang tetap akan melemahkan KPK.
Selain, itu, secara konsep proses legislasi, dengan mengandung hanya satu substansi pencabutan revisi UU KPK, hal demikian memudahkan persetujuan DPR atas Perppu tersebut, dan juga agar lebih fair bagi DPR karena tidak perlu difait accompli untuk menyetujui materi muatan Perppu lainnya, yang pastinya memerlukan waktu pembahasan lebih lama, dan lebih mendalam. Karena, sejatinya yang ditolak bukanlah ide perubahan UU KPK, tetapi substansi perubahan itu sendiri, karena senyatanya melemahkan, bahkan mematikan KPK.
Karena itu, Perppu penyelamatan KPK sebaiknya mengembalikan saja berlakunya UU KPK yang lama, dan dalam situasi lebih kondusif, tidak terburu-buru, dengan pikiran yang jernih, dan partisipasi publik yang luas, perubahan UU KPK dapat dibahas lagi dengan cara yang lebih baik, dengan tujuan betul-betul untuk menguatkan KPK.
Dengan hanya memuat satu pasal pencabutan revisi UU KPK, maka Perppu penyelamatan KPK sebenarnya sangat sederhana, dan karenanya dapat segera disiapkan dan diterbitkan.
Antisipasi Penolakan DPR
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan setiap perppu harus mendapatkan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Itu artinya, karena DPR telah dilantik pada 1 Oktober 2019, maka pembahasan Perppu penyelamatan KPK akan menjadi salah satu kerja pertama anggota DPR periode 2019-2024.
Untuk memastikan agar Perppu penyelamatan KPK efektif menjadi solusi penghidupan kembali KPK, maka tidak ada jalan lain kecuali memastikan persetujuan DPR atas Perppu tersebut. Karena, jika sampai Perppu penyelamatan KPK tidak disetujui DPR, maka Perppu tersebut harus dicabut (Pasal 22 ayat (3) UUD 1945), dan akibatnya revisi UU KPK yang dibatalkannya menjadi hidup kembali, dan KPK menjadi mati (lagi). Dengan demikian, penerbitan Perppu KPK menjadi mubazir, alias sia-sia.
Tidak ada pilihan lain, Presiden Jokowi harus memastikan dukungan partai politik koalisinya di DPR agar mendukung Perppu penyelamatan KPK. Saya yakin, Presiden Jokowi sangat piawai dan sudah paham langkah politik apa yang perlu dilakukan. Belajar dari pengalaman disetujuinya Perppu 1/2014 tentang Pilkada langsung, salah satu kuncinya saat itu adalah power sharing dan dukungan Presiden SBY atas pemilihan Pimpinan DPR 2014-2019.
Karena akan menyusun pemerintahan dan kabinet baru (2019-2024), Presiden Jokowi juga absah untuk menggunakan kewenangan dan daya tawar politiknya di hadapan para parpol koalisi. Yaitu dukungan politik Presiden atas posisi menteri di kabinet, ataupun power sharing lainnya, dengan syarat parpol tersebut mendukung Perppu Penyelamatan KPK yang diterbitkannya. Seharusnya, dengan syarat demikian, persetujuan DPR atas Perppu KPK akan mudah diperoleh.
Demikianlah masukan saya atas rencana diterbitkannya Perppu KPK oleh Presiden Jokowi. Kita semua perlu mengawal agar Perppu tersebut benar-benar terbit, dan arahnya betul-betul kembali menghidupkan KPK, dan yang tidak kalah penting juga, disetujui oleh DPR. Ataukah kita hanya bermimpi, dan berkhayal sedang menunggu Godot?
Presiden Joko Widodo belum memutuskan apakah ia akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari mati surinya.
Berbagai desakan dari tokoh masyarakat, aktivis antikorupsi, maupun berbagai demonstrasi mahasiswa tidak kunjung meyakinkan Presiden. Tekanan politik�atau lebih tepatnya, kepentingan dan kekuatan kelompok koruptif membuktikan bahwa mereka masih punya daya tawar kuat di hadapan Presiden. Sehingga, harapan ideal untuk menantikan perppu penyelamatan KPK ibarat menunggu godot. Kalaupun hadir, saya khawatir Perppu itu akan sarat dengan berbagai kompromi politik yang tetap melemahkan KPK.
Tulisan ini tidak akan membahas kenapa Perppu penyelamatan KPK itu penting, terkait adanya kegentingan memaksa yang melemahkan KPK. Sudah banyak pendapat dan diskusi soal itu. Meskipun pesimis, saya tetap ingin urun rembug bagaimana idealnya isi Perppu tersebut, dan bagaimana antisipasi politik hukum lanjutan yang perlu dilakukan agar Perppu demikian tidak mubazir, alias sia-sia.
Belajar dari Perppu Pilkada Langsung
Ramainya penolakan revisi UU KPK membuat saya dejavu. Hampir tepat lima tahun yang lalu, di akhir bulan September 2014, menjelang akhir masa jabatan Presiden SBY, Rapat Paripurna DPR yang berlangsung sejak Kamis (25/9/2014) siang hingga Jumat (26/9/2014) pukul 01.40 WIB, melalui pemungutan suara yang dramatis, akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah, dengan opsi pilkada menjadi tidak langsung, alias dipilih oleh DPRD.
Dalam hitungan hari, penolakan atas RUU Pilkada tidak langsung itu meluas dan menjadi berita utama di berbagai media massa. Presiden SBY yang kala itu sedang melakukan lawatan ke Amerika Serikat, meresponnya dengan cepat. Dalam jarak hanya satu minggu, pada 2 Oktober 2014, Presiden akhirnya menerbitkan dua perppu sekaligus, yaitu Perppu No. 1 Tahun 2014, yang pada dasarnya kembali membuat pilkada menjadi langsung oleh rakyat; dan Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Pemda.
Kebetulan, saya yang saat itu tengah mengemban amanah selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM, terlibat dalam proses penyiapan kedua Perppu tersebut.
Hari telah larut malam, mendekati pukul 23:00 WIB pada Sabtu (27/9/2014), ketika Presiden SBY menelepon dari Amerika. Dalam pembicaraan telepon sekitar setengah jam itu saya mencatat dialog penting sebagai berikut:
Saya bertanya, �Apakah Bapak Presiden hanya tidak sepakat dengan RUU Pilkada tidak langsung yang baru saja disetujui di forum DPR, atau lebih jauh Bapak betul-betul menolak Pilkada tidak langsung, dan tetap memperjuangkan Pilkada Langsung�.
�Saya ingin Pilkada langsung oleh rakyat dan menolak Pilkada oleh DPRD�, Presiden SBY menegaskan.
Karena demikian, akhirnya saya mengusulkan Presiden menjalankan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yaitu menerbitkan Perppu yang mengembalikan pilkada langsung. Presiden SBY meminta saya menyiapkan bahan dan kajiannya.
Paginya (28/9/2014), saya berdiskusi dengan empat ahli Hukum Tata Negara, yaitu Prof. Moh. Mahfud MD, Prof. Jimly Asshiddiqie, Prof. Saldi Isra dan Refly Harun. Nama yang terakhir saat itu tengah menyelesaikan program Doktor di Universitas Andalas, Padang. Seninnya (29/9/2014), saya mengumpulkan beberapa ahli HTN untuk berdiskusi di kantor Kemenkumham dan menyiapkan, serta mengantisipasi penerbitan perppu. Hadir di antaranya Saldi Isra dan Refly Harun.
Setibanya di tanah air, pada Selasa (30/9/2014), hari baru pukul 00.40 ketika Presiden SBY langsung menggelar rapat kabinet terbatas di bandara Halim Perdanakusuma. Atas perintah Presiden, dan seizin Menkumham Amir Syamsuddin yang juga hadir di rapat, saya mempresentasikan power point tentang perlunya perppu untuk menyelamatkan pilkada langsung. Setelah rapat sekitar 3,5 jam dinihari itu, ke pada insan pers yang telah menunggu, Presiden SBY menyampaikan tengah menyiapkan plan B untuk mencari solusi terkait RUU Pilkada. Yang dimaksud plan B adalah menerbitkan perppu.
Keesokan harinya (1/10/2014), saya memfinalisasi dua draft perppu yang diperlukan, sedangkan Presiden SBY bergerak cepat melakukan lobi-lobi politik dengan pimpinan parpol di DPR. Singkat cerita, dukungan dari DPR untuk persetujuan perppu didapatkan, dan Presiden SBY akhirnya menandatangani kedua Perppu tersebut pada Kamis (2/10/2014).
Teknis dan Substansi Perppu Penyelamatan KPK
Belajar dari pengalaman lahirnya Perppu Pilkada Langsung di atas, saya menyarankan Perppu Penyelamatan KPK segera ditandatangani oleh Presiden. Hal itu sejalan dengan syarat konstitusional terbitnya perppu �kegentingan yang memaksa�. Makin lambat perppu diterbitkan, makin menunjukkan ketiadaan sifat genting tersebut. Makin lambat dikeluarkan, makin menunjukkan lobi dan kompromi politik sedang bergerilya di sekitar Presiden untuk memastikan Perppu tidak hadir, atau kalaupun lahir, Perppu diaborsi melalui substansi yang tidak menyelamatkan, tetapi tetap melemahkan KPK.
Jadi, sebaiknya Perppu KPK memang segera diterbitkan. Bagaimana caranya? Presiden Jokowi segera menandatangani dan Menkumham ad interim mengundangkan revisi RUU KPK. Penandatanganan tersebut hanya langkah teknis untuk memberi nomor kepada UU tersebut, sehingga segera setelahnya Perppu Penyelamatan KPK dapat diterbitkan.
Nomor revisi UU KPK diperlukan, karena saya menyarankan, substansi Perppu Penyelamatan KPK hanya satu pasal, yaitu mencabut perubahan UU KPK yang baru saja ditandatangani tersebut. Hal demikian sama halnya dengan Pasal 205 Perppu 1 tahun 2014 yang mencabut UU 22/2014 tentang pilkada tidak langsung, yang baru berlaku. Baik Perppu 1/2014 ataupun UU 22/2014 sama-sama diundangkan pada tanggal yang sama, yaitu 2 Oktober 2014.
Dengan dicabut dan tidak berlakunya revisi UU KPK, maka pengaturan KPK kembali ke UU sebelumnya sebelum perubahan, dan dengan demikian KPK bisa hidup lagi dari kematian surinya.
Ada pandangan, bahwa substansi Perppu Penyelamatan KPK sebaiknya menerima dan membatalkan beberapa bagian saja dari revisi UU KPK. Saya tidak setuju pandangan yang demikian. Saya tidak menyarankan ada norma hukum lain dalam Perppu Penyelamatan KPK, kecuali pencabutan keseluruhan revisi UU KPK itu sendiri. Membuka ruang bagi norma hukum lain di dalam Perppu KPK�sekali lagi, sama saja membuka pintu kompromi substansi yang tetap akan melemahkan KPK.
Selain, itu, secara konsep proses legislasi, dengan mengandung hanya satu substansi pencabutan revisi UU KPK, hal demikian memudahkan persetujuan DPR atas Perppu tersebut, dan juga agar lebih fair bagi DPR karena tidak perlu difait accompli untuk menyetujui materi muatan Perppu lainnya, yang pastinya memerlukan waktu pembahasan lebih lama, dan lebih mendalam. Karena, sejatinya yang ditolak bukanlah ide perubahan UU KPK, tetapi substansi perubahan itu sendiri, karena senyatanya melemahkan, bahkan mematikan KPK.
Karena itu, Perppu penyelamatan KPK sebaiknya mengembalikan saja berlakunya UU KPK yang lama, dan dalam situasi lebih kondusif, tidak terburu-buru, dengan pikiran yang jernih, dan partisipasi publik yang luas, perubahan UU KPK dapat dibahas lagi dengan cara yang lebih baik, dengan tujuan betul-betul untuk menguatkan KPK.
Dengan hanya memuat satu pasal pencabutan revisi UU KPK, maka Perppu penyelamatan KPK sebenarnya sangat sederhana, dan karenanya dapat segera disiapkan dan diterbitkan.
Antisipasi Penolakan DPR
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan setiap perppu harus mendapatkan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Itu artinya, karena DPR telah dilantik pada 1 Oktober 2019, maka pembahasan Perppu penyelamatan KPK akan menjadi salah satu kerja pertama anggota DPR periode 2019-2024.
Untuk memastikan agar Perppu penyelamatan KPK efektif menjadi solusi penghidupan kembali KPK, maka tidak ada jalan lain kecuali memastikan persetujuan DPR atas Perppu tersebut. Karena, jika sampai Perppu penyelamatan KPK tidak disetujui DPR, maka Perppu tersebut harus dicabut (Pasal 22 ayat (3) UUD 1945), dan akibatnya revisi UU KPK yang dibatalkannya menjadi hidup kembali, dan KPK menjadi mati (lagi). Dengan demikian, penerbitan Perppu KPK menjadi mubazir, alias sia-sia.
Tidak ada pilihan lain, Presiden Jokowi harus memastikan dukungan partai politik koalisinya di DPR agar mendukung Perppu penyelamatan KPK. Saya yakin, Presiden Jokowi sangat piawai dan sudah paham langkah politik apa yang perlu dilakukan. Belajar dari pengalaman disetujuinya Perppu 1/2014 tentang Pilkada langsung, salah satu kuncinya saat itu adalah power sharing dan dukungan Presiden SBY atas pemilihan Pimpinan DPR 2014-2019.
Karena akan menyusun pemerintahan dan kabinet baru (2019-2024), Presiden Jokowi juga absah untuk menggunakan kewenangan dan daya tawar politiknya di hadapan para parpol koalisi. Yaitu dukungan politik Presiden atas posisi menteri di kabinet, ataupun power sharing lainnya, dengan syarat parpol tersebut mendukung Perppu Penyelamatan KPK yang diterbitkannya. Seharusnya, dengan syarat demikian, persetujuan DPR atas Perppu KPK akan mudah diperoleh.
Demikianlah masukan saya atas rencana diterbitkannya Perppu KPK oleh Presiden Jokowi. Kita semua perlu mengawal agar Perppu tersebut benar-benar terbit, dan arahnya betul-betul kembali menghidupkan KPK, dan yang tidak kalah penting juga, disetujui oleh DPR. Ataukah kita hanya bermimpi, dan berkhayal sedang menunggu Godot?
Post Comment
Tidak ada komentar