Cerita Wamena: Aku Pilih Bunuh Diri Atau Mati Dibakar
Tepat di belakang rumah warga OAP (Orang Asli Papua) yang letaknya tepat di belakang kampus.Kami bersembunyi. Semua pintu dikunci rapat.
Bapak-bapak OAP itu (saya tak sempat menanyakan namanya) menyuruh kami ke bagian paling belakang rumahnya yang dibuat seperti Honai.
Sambil berpikir gemetar harus apa setelah ini. Saat itu kampus sudah terbakar. Api sudah terasa panasnya. Tak sampai 200 meter jarak kami.
Saat tempat ini ketahuan pasti dibakar. Saat mereka datang akan dibinasakan entah dibacok parang, kapak, dianiaya atau dibakar hidup-hidup.
Sempat berpikir saya akan lebih duluan bunuh diri dari pada mati konyol terdzalimi mereka jika ketahuan.
Pasrah lemas, akan mati di situ saat itu.
Ayat kursi, sholawat, tasbih tanpa henti saya ucapkan. Karena saya sadar sudah tak ada yang bisa datang menolong di tempat yang sulit dijangkau itu.
Hp disilent. Semua teman saya suruh merapat duduk di bawah agar tidak terlihat masa. Ada teman yang mengintip dari dalam untuk memantau masa sampai di mana.
Lalu semua membisu saat ada beberapa orang mengintai di sekitar tempat sembunyi kami.
Bapak OAP itu membantu menyembunyikan kami mengalihkan perhatian masa ke tempat lain.
Selama 1 jam lalu bapak OAP tsb membuka pintu honai dan berkata ada aparat.
Sontak saya berlari sekencang-kencangnya keluar dari Honai menuju keluar pagar melambaikan tangan dan berteriak "Tolong, Pak!"
TNI menjawab, "Lari Mbak. Cepat!" sambil berpakaian senjata lengkap.
Berlari sekuat tenaga terengah-engah, menerobos pagar kawat, rawa, masuk selokan dengan berseragam rok panjang. Saya angkat saja sudah tak peduli lagi.
Sepatu flat yang saya gunakan tertanam di rawa, saya tidak lagi hiraukan.
Dengan kaki telanjang berlari menuju jalan besar untk dapat segera sampai di truck evakuasi.
MasyaAllah. Saya masih hidup.
Suara tembakan seperti pesta kembang api. Kanan kiri api berkorbar tinggi asap hitam dimana mana.
Sakit sekali hati ini jika teringat perjuangan itu. Kenapa begini?!
-- Errisa Dwisand, Dosen Stisip Al Yapis Wamena
Bapak-bapak OAP itu (saya tak sempat menanyakan namanya) menyuruh kami ke bagian paling belakang rumahnya yang dibuat seperti Honai.
Sambil berpikir gemetar harus apa setelah ini. Saat itu kampus sudah terbakar. Api sudah terasa panasnya. Tak sampai 200 meter jarak kami.
Saat tempat ini ketahuan pasti dibakar. Saat mereka datang akan dibinasakan entah dibacok parang, kapak, dianiaya atau dibakar hidup-hidup.
Sempat berpikir saya akan lebih duluan bunuh diri dari pada mati konyol terdzalimi mereka jika ketahuan.
Pasrah lemas, akan mati di situ saat itu.
Ayat kursi, sholawat, tasbih tanpa henti saya ucapkan. Karena saya sadar sudah tak ada yang bisa datang menolong di tempat yang sulit dijangkau itu.
Hp disilent. Semua teman saya suruh merapat duduk di bawah agar tidak terlihat masa. Ada teman yang mengintip dari dalam untuk memantau masa sampai di mana.
Lalu semua membisu saat ada beberapa orang mengintai di sekitar tempat sembunyi kami.
Bapak OAP itu membantu menyembunyikan kami mengalihkan perhatian masa ke tempat lain.
Selama 1 jam lalu bapak OAP tsb membuka pintu honai dan berkata ada aparat.
Sontak saya berlari sekencang-kencangnya keluar dari Honai menuju keluar pagar melambaikan tangan dan berteriak "Tolong, Pak!"
TNI menjawab, "Lari Mbak. Cepat!" sambil berpakaian senjata lengkap.
Berlari sekuat tenaga terengah-engah, menerobos pagar kawat, rawa, masuk selokan dengan berseragam rok panjang. Saya angkat saja sudah tak peduli lagi.
Sepatu flat yang saya gunakan tertanam di rawa, saya tidak lagi hiraukan.
Dengan kaki telanjang berlari menuju jalan besar untk dapat segera sampai di truck evakuasi.
MasyaAllah. Saya masih hidup.
Suara tembakan seperti pesta kembang api. Kanan kiri api berkorbar tinggi asap hitam dimana mana.
Sakit sekali hati ini jika teringat perjuangan itu. Kenapa begini?!
-- Errisa Dwisand, Dosen Stisip Al Yapis Wamena
Tidak ada komentar