Islam Selamatkan Ekonomi Negeri Tanpa Pajak
Oleh : Djumriah Lina Johan
(Blogger dan Pendidik)
Berdasarkan data dari CNBC Indonesia, pada tahun 2018 lalu, penerimaan pajak mencapai Rp 1.315,9 triliun atau hanya 92 % dari target APBN 2018. Ini berarti kekurangan penerimaan (shortfall) pajak sebesar Rp 108,1 triliun. Namun, Menteri Keuangan mengatakan seluruh angka tersebut masih bisa berubah hingga audit BPK.
Untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, Pemerintah menargetkan sektor ekonomi digital yang sedang berkembang terus dan cukup kuat. Pemerintah akan mengimplementasikan pajak pada e-dagang. Potensi untuk penerimaan pajak pun jika dihitung untuk Pph Final bisa mencapai Rp342 miliar dengan melihat jumlah transaksi di tiga platform e-datang sebesar Rp68,4 tirliun di tahun 2017.
Untuk itu Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 210 tahun 2018 tentang Pajak untuk e-dagang. Peraturan ini akan berlaku sejak April 2019 bagi para pedagang, pengusaha, dan penyedia jasa di platform e-dagang. Seperti halnya pedagang offline, para pedagang online harus memiliki NPWP dan melaporkan omzet dagang per tahun.
Jika kurang dari Rp4,8 milliar akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 0,5 persen dari omzet. Sedangkan mereka yang omzetnya melebihi Rp4,8 milliar akan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dan membayar pajak sebesar 10% dari omzet. (Kompasiana.com)
Tidak hanya para pedagang online yang menjadi sasaran baru di sektor pajak, Selebgram dan Youtuber pun kena. Sudah menjadi rahasia umum jikalau Selebgram dan Youtuber berpenghasilan jutaan, puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Hal tersebut juga berdasarkan dengan Peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Sri Mulyani mengatakan, �Kalau mereka mendapatkan pendapatan di bawah Rp 54 juta, itu tidak mendapatkan pajak. Tidak masuk di dalam pendapatan tidak kena pajak�. Tetapi, bagi selebgram dan YouTuber yang sudah terkenal dan mendapatkan penghasilan sampai Rp 500 juta, maka mereka akan dikenakan pajak. (Suara.com)
Kesalahan Paradigma Sistem Ekonomi Kapitalis
Negeri-negeri kaum Muslimin sekarang secara faktual dipimpin atas dasar sistem ekonomi kapitalis dalam semua sektor kehidupan perekonomiannya. Pasalnya, paradigma berfikir ini telah mengubah umat secara revolusioner. Sehingga umat silau dengan sistem ekonomi kapitalis dan tidak mampu melihat secara jernih dan jelas kesalahan pada sistem ekonomi tersebut.
Sistem ekonomi kapitalis memandang utang dan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Dimana pajak digenjot untuk menopang kehidupan bernegara. Padahal sejatinya pajak justru merugikan serta mendzalimi rakyat.
Terbukti dengan adanya pajak, rakyat semakin tercekik. Setiap bayi yang lahir sudah menanggung utang sebesar Rp 13 juta. Makan kena pajak. Parkir kena pajak. Rumah, tanah, kendaraan, pekerjaan, semua dikenai pajak. Sedang rakyat sendiri hidup kekurangan.
Bersumber dari data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Februari 2018, Informasi APBN 2018, Profil Informasi Utang Pemerintah Pusat April 2016, dan Buku Saku Perkembangan Utang 2010, tercatat utang dalam negeri Pemerintah meningkat dari Rp 2.609 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp 4.227 triliun pada tahun 2018. Sedangkan utang luar negeri meningkat dari Rp 1.541 triliun menjadi Rp 2.400 triliun. Padahal dikatakan sebelumnya pendapatan negara mengalami peningkatan. Jika pendapatan meningkat mengapa utang turut ikut meningkat? Inilah kebohongan sistem ekonomi kapitalisme.
Islam Selamatkan Ekonomi Negeri
Islam sebagai agama yang haq dan shahih berasal dari sang Pencipta, Allah swt. Islam disebut sebagai agama yang sempurna bukan tanpa sebab. Dalam Islam, terdapat aturan sistem ekonomi tidak seperti agama dan kepercayaan yang lain.
Sistem ekonomi Islam memiliki sumber pendapatan yang berasal dari kepemilikan negara maupun kepemilikan umum. Kepemilikan negara meliputi harta yang berasal dari jizyah, kharaj, ghanimah, fa�i, �usyur, 20% dari rikaz, harta tanpa ahli waris, harta orang murtad, dan berbagai lahan bangunan milik negara. Kepemilikan umum meliputi sumber daya alam seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, dan semua hasil tambang beserta kekayaan laut maupun hutan.
Sehingga negara tidak akan mengalami defisit dan justru akan mendapat surplus. Hal ini nyata dan terbukti di masa kekhilafahan. Ketika masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak ada satu pun yang berhak mendapat zakat. Sebab, tidak ada satu pun warga miskin. Inilah sistem ekonomi yang mampu menyelamatkan negeri ini. Oleh karena itu, sudah saatnya berpaling dari sistem kufur menuju sistem rahmatan lil �alamin.[MO/sr]
Tidak ada komentar