Demokrasi Mahal Namun Tak Melahirkan Pemimpin Ideal
Oleh: Wida Aulia
(pemerhati masalah sosial)
Mediaoposisi.com-Untuk kali pertama, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden (Pilpres) bersamaan dengan pemilihan legislatif (Pileg) pada 2019. Imbasnya, pemilih bakal mendapatkan lima kertas suara pada hari H pencoblosan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut pemilu tahun ini "tersulit di dunia". Dari sisi anggaran, pemilu 2019 juga lebih besar dari biasanya. Dalam Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2019, ada alokasi Rp24,8 triliun untuk menggelar pemilu serentak. Anggaran ini naik 31 persen dari alokasi anggaran pemilu 2014 sebesar Rp18,9 triliun.
Membengkaknya anggaran pemilu tersebut dipengaruhi oleh karena naiknya honorarium penyelenggara, meningkatnya kebutuhan dana kampanye caleg dan capres cawapres, bertambahnya anggaran untuk pengamanan pemilu, bertambahnya biaya untuk badan penyelenggara pemilu seperti KPU, BAWASLU, POLRI, Kementerian Pertahanan, BIN, Menko Polhukam, Kominfo, TVRI, RRI dan lain sebagainya. ( tirto.id )
Mahalnya biaya pemilu tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi dinegara lain seperti pada pemilu Kenya 2017 yang menghabiskan dana US$ 480 juta, di Srilanka US$ 9.29 juta dan di Amerika Serikat dengan US$ 6.5 miliar. ( tirto.id )
Hal tersebut membuktikan bahwa dalam sistem kapitalis demokrasi yang saat ini diterapkan oleh dunia menyebabkan mahalnya biaya untuk memilih seorang pemimpin. Bak ajang pemilihan artis/penyanyi idola yang hanya menitikberatkan pada penampilan luar sehingga tidak akan mendapatkan pilihan yang ideal. Karena pada kenyataannya, pemimpin tersebut tetap melanjutkan kerusakan yang telah terjadi akibat sistem demokrasi sekuler yang diterapkan.
Umat yang sudah mulai jengah dengan kebobrokan sistem ini berharap akan ada perubahan dan perbaikan dengan memilih calon pemimpin yang mereka nilai potensial yakni yang terlihat lebih islami.
Tolak pemimpin anti islam, pilih pemimpin pro ulama adalah jargon-jargon yang digulirkan agar masyarakat memilih pemimpin yang lebih islami. Faktanya, islami saja tidak cukup. Yang penting Islam juga tidak cukup, karena dari pemilu-pemilu yang telah lalu bukankah juga terpilih pemimpin yang beragama islam.
Namun korupsi, ketumpulan hukum, hutang luar negeri, kerusakan remaja dan keluarga toh tidak berkurang justru semakin besar. Bahkan pemimpin tersebut juga tetap tak berkutik melihat penderitaan saudara seakidah di luar negeri yang mengalami penganiayaan dan pembantaian seperti yang terjadi pada muslim uighur di Cina, muslim rohingya di Myanmar dan juga di negara-negara lainnya.
Harusnya dari sini, rakyat dapat lebih jeli menilai dan dapat mengambil kesimpulan bahwa permasalahan ini bukan cuma masalah sosok pemimpin namun juga dari masalah sistem yang diterapkan. Karna sudah terbukti bahwa demokrasi yang mahal namun tak mampu melahirkan pemimpin yang ideal. Tentu saja karena kapitalisme demokrasi adalah aturan yang dibuat oleh manusia yang lemah bukan berasal dari Allah sang pencipta.
Oleh karena itu masyarakat harus mulai memperhatikan dan fokus bukan pada sosok calon pemimpin saja namun juga fokus dengan sistem apa pemimpin itu akan dipilih. Sistem yang simpel, tidak ribet, tidak mahal hanyalah sistem Islam. Karena dalam Islam, pemimpin dipilih berdasarkan kapabilitasnya dalam mengurusi urusan rakyat dan kesanggupannya untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Allah SWT berfirman:
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)
Jelas sekali bahwa pemimpin ideal yang menerapkan hukum Allah sehingga akan berorientasi pada kehidupan dunia dan akhirat hanya akan lahir melalui proses pemilihan yang spesial yakni melalui sistem Islam. [MO/sr]
Tidak ada komentar