Breaking News

Pidato Kampanye Tuan Presiden yang Semu



Dengan mengenakan pakaian adat khas NTT, Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan (Jum'at, 14 Agustus 2020). Dari awal hingga akhir pidatonya, harapan demi harapan dibiuskan kepada segenap bangsa. Seolah dalam rentang setahun ini tidak ada persoalan kronis yang membelenggu negeri. 

Sebelum kita mencermati lebih detail isi pidato presiden, saya yakin semua mata bangsa terfokus pada penampilan presiden. Presiden Jokowi memakai baju adat khas NTT. Aneh saja di forum resmi kenegaraan, pemimpinnya pingin tampil beda. Geli sambil bergumam, tampil beda boleh lihat kepatutan. Dari pakaian saja sudah mengandung pesan tersirat. Presiden telah mencitrakan diri sebagai pemimpin yang merakyat, cinta tanah air dan peduli dengan kearifan lokal bangsa. Inilah bentuk pencitraan diri. Selanjutnya bisa ditebak isi pidatonya. Tidak jauh dari istilah pencitraan.

Yang paling absurd dan mengherankan dari isi pidato presiden adalah presiden sudah berbicara proyeksi untuk 25 tahun yang akan datang. Artinya isi pidato presiden dikemas dengan harapan - harapan menuju satu abad usia Indonesia. Dengan kata lain, pidato presiden tersebut tidak realistis. Wajar saja karena pidato presiden dilandasi oleh harapan masa depan di usia Indonesia yang sudah satu abad. Jadi isi pidatonya tidak memberi gambaran nyata langkah strategis yang sudah dan yang akan dilakukan guna menyelesaikan persoalan yang mengemuka selama setahun ini. Di samping hambatan apa yang masih jadi kendala dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.

Lebih jauh lagi, timbul asumsi jika Jokowi menyampaikan pesan bahwa ia termasuk salah satu presiden Indonesia yang mempunyai visi jauh kedepan. Pendek kata, Presiden Jokowi masih ingin menjadi orang nomor satu di masa yang akan datang. Hal ini diperkuat dengan wacana yang pernah bergulir tentang presiden 3 periode. Paling tidak masa depan bangsa Indonesia tidak boleh melenceng dari proyeksinya.

Guna mencapai tujuan besar bangsa Indonesia di 25 tahun mendatang, Jokowi menegaskan perlunya gotong royong dan kerjasama. Kehidupan demokrasi menurutnya, memberikan kebebasan yang menghargai hak orang lain. Tidak boleh merasa paling benar, paling agamis dan paling pancasilais. Tidak boleh ada yang memaksakan kehendak pada yang lain. Itu tidak benar, tegasnya. 

Tentunya makna kebebasan yang menghargai hak orang lain menjadi hak prerogatif kekuasaan. Bukankah slogan "Saya Indonesia, Saya Pancasila" itu menunjukkan ada pihak yang merasa paling pancasilais. Bahkan slogan tersebut dipakai untuk menggebuk kaum oposisi. Dan tidak tanggung - tanggung slogan tersebut disalahgunakan untuk melakukan upaya radikalisasi dan kriminalisasi para ulama dan aktifis Islam. Kebetulan saja mereka menyuarakan ajaran Islam terkait pengaturan politik dan pemerintahan.  Mestinya pendekatan dialog dan mendengar aspirasi yang dikedepankan. Bukan dengan pendekatan arogansi kekuasaan. Jadi sebenarnya siapa yang suka memaksakan kehendaknya sendiri. 

Sedangkan terkait sebutan paling agamis. Tidak ada yang salah bila kita bersikap paling agamis. Bukankah sebagai seorang muslim wajib menjadikan halal haram sebagai ukuran perbuatannya? Bukankah sebagai seorang muslim tujuan hidupnya adalah meraih Ridho Allah Swt? Jadi frase tidak boleh mengklaim diri paling agamis mengandung maksud terselubung guna menjauhkan umat Islam dari ajarannya yang paripurna. Walhasil masa depan Indonesia masih tetap didesain dalam landasan sekulerisme.

Adapun terkait beberapa persoalan krusial bangsa, presiden masih normatif dalam memberi arahan. Presiden mendorong perawatan yang bagus dan prima dalam menangani dampak kesehatan dari pandemi. Realitasnya pemerintah tidak bisa mandiri dalam pengadaan APD termasuk vaksin Covid-19. Menghadapi pandemi pun hanya berpatokan dengan protokol kesehatan tanpa strategi yang berarti. Jadinya wajar jika pandemi masih berlangsung lama. 

Dalam bidang pemulihan ekonomi, presiden mendorong adanya program bantuan bagi rakyat. Dengan disahkannya perppu Corona diharapkan bisa segera memulihkan ekonomi nasional. Tapi apa daya, justru di tengah pandemi, pemerintah menaikkan iuran BPJS, mengadakan iuran Tapera, dan adanya liberalisasi sektor listrik yang mengakibatkan membengkaknya tagihan listrik.

Yang ada pemerintah lebih fokus menangani ekonomi. Indikasinya, penekanan presiden pada terciptanya stabilitas hukum, politik dan cepatnya regulasi untuk interes iklim investasi. Hal ini terlihat dari disahkannya UU Minerba. Semakin lengkap sudah kekayaan negeri tergadai. Klaim kemandirian energi tidak terwujud dalam pengelolaan SDA.

Terkait aspek penegakan hukum. Jokowi menegaskan tidak akan kompromi dengan korupsi. Pemberantasan korupsi harus digalakkan, imbuhnya. Padahal presiden sendiri telah mengesahkan UU KPK yang notabenenya melemahkan KPK. Adanya Dewan Pengawas KPK betul - betul menciderai upaya pemberantasan korupsi. Hasilnya nyata sekali. Kasus Mega korupsi Jiwasraya, Asabri dan lainnya terjadi beruntun.

Di bidang pendidikan, Jokowi tidak menyinggung sama sekali karut marut pendidikan daring. Dari persoalan peralatan, kuota internet, zonasi PPDB, biaya sekolah dan lainnya. Justru Jokowi secara normatif agar pendidikan mampu menguatkan karakter bangsa dan pemanfaatan teknologi.

Bisa dikatakan bahwa pidato kenegaraan Presiden Jokowi pada 14 Agustus 2020 itu hanya bersifat normatif, tidak realistis dan lebih cenderung berkamuflase dengan harapan - harapan. Rakyat seperti penulis menerimanya bahwa pidato tersebut adalah hanyalah kampanye bernuansa pencitraan. 

Semoga dengan momen semangat Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1442 H menjadi tonggak bagi rakyat Indonesia bisa berubah keadaannya menjadi lebih baik. Dari penerapan sekulerisme yang hanya menjanjikan setumpuk ilusi harapan menjadi penerapan aturan hidup sang pencipta. Termasuk agar terwujud kepemimpinan hakiki yang memihak kepada kesejahteraan rakyat. Di samping adanya rasa takut kepada Allah menjadikan para pemimpin bisa amanah. Di dalam sistem Khilafah Islam, hal demikian bisa diwujudkan. []

Oleh: Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP

Tidak ada komentar