Mencari Pemimpin Rakyat Sejati dalam Sengkarut Demokrasi: Mungkinkah?
Dalam acara Webinar bertajuk "DISKUSI NASIONAL dengan tema: "RUU HIP Menjadi RUU BPIP, Apa Kabar Masirah Kubra MUI?" yang dilaksanakan pada hari Ahad, 9 Agustus 2020 saya memperoleh banyak pelajaran, khususnya terkait dengan kepemimpinan di negeri ini. Acara ini tampaknya digunakan sebagai media umat untuk menagih "komitmen" MUI terkait dengan maklumat MUI yang secara terang benderang diabaikan oleh pucuk-pucuk pimpinan negeri ini, baik di dalam bidang eksekutif maupun legislatif. Terbukti "teriakan" bahkan "jeritan" umat yang menuntut agar RUU HIP dibatalkan dari Prolegnas 2020 justru disambut dengan usulan RUU baru dari Pemerintah bernama RUU BPIP. Saya menilai binal betul rezim legislator kita. Jika akhirnya rezim legislator bersikukuh mengegolkan kedua RUU tersebut, maka umat Islam menagih janji untuk menggelar masirah kubra.
Pada Webinar ini saya terkesima dengan tausiyah yang disampaikan oleh KH Muhyidin Junaidi. Beliau adalah Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, MUI, bukan Mafia Ulama Indonesia. Panah-panah yang keluar dari "kendheng" beliau membuat "adhem panas" (panas dingin) jiwa saya. Bagaimana tidak, beliau mengupas tuntas tentang bagaimana menjadi pemimpin suatu negeri yang baik, yang akan mampu mewujudkan negara adil makmur, gemah ripah loh jonawi, tata titi tentrem kertaraharja (baldatun thoyibatun warrobun ghofur). Karakter pemimpin itu salah dua di antaranya adalah tidak berbohong dan menepati janji-janjinya.
KH Muhyidin Junaidi menyatakan ternyata sulit menemukan pemimpin yang tidak berbohong dan teguh menepati janji-janji (kampanye-nya). Sambil sedikit bercanda KH Muhyidin mengklaim bahwa jenis pemimpin itu dapat di temukan di "negeri sebelah". Di negeri itu banyak pemimpin yang suka berjanji tetapi tidak ditepati. Misalnya berjanji bahwa akan menurunkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah, tetapi ternyata malah makin membumbung tinggi. Berjanji tidak akan impor pangan karena kita sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan sendiri, ternyata mengimpornya besar-besaran. Itulah pemimpin yang bertampan merakyat tetapi justru "mesengsarakan", "menyesengsarakan", menyengsarakan rakyatnya. Pemimpin yang sebenarnya tidak mampu mengurus rakyatnya. Inikah masa yang oleh Polybios disebut masa okhlokrasi atau dalam konteks Islam adalah masa kepemimpinan ruwaibidhah?
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu, pendusta dibenarkan, sedangkan orang yang jujur malah dianggap berdusta. Pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah justru dipandang sebagai pengkhianat. Pada saat itu ruwaibidhah berbicara." Seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dengan ruwaibidhah?” Nabi SAW menjawab, “Orang bodoh yang ikut campur dalam urusan masyarakat luas" (HR Ibnu Majah). Ruwaibidhah juga berarti orang yang berbicara atas nama umat, tetapi tujuannya bukan untuk umat itu. Ruwaibidhah adalah mereka yang berbicara atas nama rakyat dan bangsa, tetapi kerjanya bukan untuk bangsa dan rakyat itu.
Jika kita mau bercermin pada karakter pemimpin dalam kepemimpinan Islam, kita akan mendapati karakter sebenar pemimpin. Pemimpin itu memiliki dua fungsi utama, yakni sebagai raa’in dan junnah bagi rakyat. Kedua fungsi ini dijalankan oleh para khalifah sampai 13 abad masa kegemilangan Islam. Pasang surut kekhilafahan secara sunnatullah memang terjadi, tapi kedua fungsi ini ketika dijalankan sesuai apa yang digariskan syara’, terbukti membawa rakyat pada rasa berkeadilan, penuh kesejahteraan dan tentunya dalam penjagaan sehingga terbentuk pola masyarakat yang berjaya. Anda meragukannya? Silahkan cari referensinya agar literasi kita makin meningkat baik.
Yang dimaksud fungsi pemimpin sebagai raa’in adalah pemimpin itu sebagai pengurus rakyat. Dalam sabda Rasulullah Saw menyebutkan “ Seorang Imam (Khalifah) adalah raa'in sebagai (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Adapun yang dimaksud junnah adalah pemimpin itu sebagai perisai rakyat atau pelindung terdepan “Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll). Terdepan itu berati juga menjadi teladan dalam segala penderitaan rakyat. Bila perlu menjadi orang yang menderita pertama kali sebelum rakyat mengalami penderitaan. Jika perlu, ia menjadi relawan pertama kali untuk uji coba vaksin corona sebelum diuji cobakan kepada rakyatnya, bukan malah sebaliknya minta "belakangan".
Sungguh, mencari sosok pemimpin yang berkarakter sebagai raa'in dan junnah di era demokrasi saat ini, memang ibarat pungguk yang merindukan bulan artinya akan sia-sia saja. Karakter tegas pemimpin dalam Islam akan tampak pada sikap kepada para pejabatnya, namun lemah lembutnya kepada rakyat dan dengan bijaksana dalam menerima atau mendengarkan baik-baik apabila ada semacam kritik atau gagasan yang berasal dari rakyatnya yang sungguh teramat sulit ditemukan di kalangan pemimpin era sekarang.
Yang terjadi justru sebaliknya pemimpin dalam demokrasi cenderung terkesan otoriter dan arogan, kritik dari masyarakat terkait kebijakan sering kali dituding sebagai ujaran kebencian bahkan diposisikan sebagai enemy (musuh) yang harus diperangi. Mereka seolah sudah tidak mampu lagi membedakan antara yang mana kritik dan yang mana ujaran kebencian. Apalagi jika kritik dilayangkan dari pihak-pihak yang dianggap berseberangan akan serta merta dipidanakan.
Ini bukan tipe pemimpin yang kita wajib taqlid kepadanya melainkan kita jauhi sembari terus amar ma'ruf nahi munkar, mengikutinya dalam perkara kebaikan yang sesuai pula dengan pandangan Islam bukan kebaikan yang hanya berdasar pada kepentingan dunia semata dan tidak mendengarnya dalam perkara kemaksiatan kepada Allah, tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezalimannya dan senantiasa berdoa dan memohon perlindungan kepada Allah agar selamat dari kepemimpinan mereka yang zalim dan kejam.
Pemimpin yang buruk sebaiknya tahu diri, namun mana ada pemimpin buruk itu tahu diri. Kalau tahu diri namanya pemimpin yang baik, bukan? Namun, setidaknya seorang pemimpin harus memasang betul telinga dan hatinya di tengah rakyatnya. Ketika rakyat tidak lagi percaya dan ia merasa tidak mampu lagi memimpin rakyatnya, maka lebih baik mengundurkan diri sebelum "ditawur dan dipaksa mundur oleh rakyatnya sendiri. Mengundurkan diri sebagai PEJABAT PUBLIK adalah watak satria dan juga konstitusional karena diatur pula dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Melalui kasus "binalnya" pimpinan rezim legislator dalam pengajuan RUU HIP dan RUU BPIP yang ditentang rakyat seharusnya rakyat sadar bahwa para pemimpin itu tidak sedang menjalankan kedaulatan rakyat melainkan sekedar menjalankan kedaulatan partai yang telah terindikasi kuat terbelenggu oleh kekuasaan oligarkis. Maka, tidak salah jika umat Islam pada akhirnya bertekad untuk menggelar masirah kubra dengan panglima utama dari MUI. Hal itu dilakukan umat sebagai cara mempertahankan harga diri agar tidak makin dipermalukan dan dilecehkan oleh rezim legislator. Jika masirah kubra digelar, sudahkah Anda mempuyai calon pemimpinnya? Siapakah yang layak menjadi Panglima Masirah Kubra? Tabik.[]
Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
Post Comment
Tidak ada komentar