Buzzer Terlibat Politik, Medsos Jadi Pedang Mata Dua Bagi Demokrasi
IDTODAY.CO - Istilah buzzer kembali ramai diperbincangkan di media sosial. Sebenarnya, istilah buzzer tak hanya merujuk pada bidang politik, tetapi juga untuk kepentingan promosi produk.
Hal tersebut diungkapkan peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Klara Esti dalam diskusi 'Buzzer dan Ancaman terhadap Demokrasi' di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (11/10/2019). Menurut Klara, dalam hasil penelitiannya tahun 2017 yang bertajuk 'Di Balik Fenomena Buzzer', istilah buzzer telah mengalami pergeseran makna atau peyorasi.
"Dan emang harus diakui dan sebenarnya sudah kelihatan dari hasil riset kami di tahun 2017, istilah buzzer kan mengalami peyorasi (perubahan makna menjadi buruk) ya. Sekarang lebih bermakna negatif, dulu ya sebenarnya dia netral aja. Karena kan fungsi dia untuk amplifikasi pesan. Sejauh akun atau orang punya kemampuan itu ya sebenarnya bisa disebut buzzer," kata Klara.
Menurut Klara, awalnya buzzer lumrah dilibatkan oleh perusahaan untuk promosi produk, namun citra buzzer menjadi negatif setelah ada keterlibatan dalam peristiwa politik. Pengertian buzzer menurut Klara adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
"Menelusuri beberapa peristiwa kunci di mana istilah buzzer itu mulai muncul. Dan yang kami dapatkan, di 2006 Twitter lahir dan mulai digunakan di Indonesia, 2009 buzzer digunakan oleh brand untuk promosi produk, 2012 keterlibatan buzzer di politik waktu Pilgub DKI, dan 2014 buzzer semakin luas, terutama di politik. Termasuk istilah buzzer itu muncul sangat banyak di media saat itu," ungkapnya.
Klara menyebut ada empat karakter umum buzzer, yaitu memiliki jaringan yang luas, persuasif, memiliki kemampuan memproduksi konten, dan digerakkan motif tertentu--baik bayaran atau sukarela. Buzzer juga memiliki strategi khusus untuk amplifikasi pesan, misalnya memakai tagar yang unik di media sosial, memanfaatkan situs berita demi kredibilitas konten, serta memanfaatkan aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp untuk menyebarkan konten mereka.
"Lewat aplikasi pesan singkat ini lebih cepat daripada di Twitter. Mereka juga sengaja bikin portal berita tapi copas-copas konten dan menggunakan portalnya itu supaya twitnya terlihat 'ini loh udah dimuat di media'," ucap Klara.
Menurut Klara, ada arus kuasa dan aliran uang dalam industri buzzer, yaitu dari korporat, partai politik, maupun dari tokoh politik. Klara mengatakan buzzer bukan satu-satunya aktor dalam industri buzzing.
"Buzzer itu punya potensi besar untuk percakapan di medsos. Buzzer itu nggak bisa dipahami secara parsial, bukan satu-satunya produsen informasi. Ada aktor lain dalam industri buzzing yang mempengaruhi cara kerjanya," ucap Klara.
"Kami rasa dengan memahami buzzer dan industri buzzing secara utuh kita bisa melihat bahwa yang lebih dibutuhkan itu ke literasi akhirnya, di mana pengguna medsos melek, mana informasi yang bisa dipercaya, mana yang udah memang ini kok tidak meyakinkan. Jadi ya medsos jatuhnya jadi pedang bermata dua bagi demokrasi," pungkasnya.[dtk]
Hal tersebut diungkapkan peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Klara Esti dalam diskusi 'Buzzer dan Ancaman terhadap Demokrasi' di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (11/10/2019). Menurut Klara, dalam hasil penelitiannya tahun 2017 yang bertajuk 'Di Balik Fenomena Buzzer', istilah buzzer telah mengalami pergeseran makna atau peyorasi.
"Dan emang harus diakui dan sebenarnya sudah kelihatan dari hasil riset kami di tahun 2017, istilah buzzer kan mengalami peyorasi (perubahan makna menjadi buruk) ya. Sekarang lebih bermakna negatif, dulu ya sebenarnya dia netral aja. Karena kan fungsi dia untuk amplifikasi pesan. Sejauh akun atau orang punya kemampuan itu ya sebenarnya bisa disebut buzzer," kata Klara.
Menurut Klara, awalnya buzzer lumrah dilibatkan oleh perusahaan untuk promosi produk, namun citra buzzer menjadi negatif setelah ada keterlibatan dalam peristiwa politik. Pengertian buzzer menurut Klara adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu.
"Menelusuri beberapa peristiwa kunci di mana istilah buzzer itu mulai muncul. Dan yang kami dapatkan, di 2006 Twitter lahir dan mulai digunakan di Indonesia, 2009 buzzer digunakan oleh brand untuk promosi produk, 2012 keterlibatan buzzer di politik waktu Pilgub DKI, dan 2014 buzzer semakin luas, terutama di politik. Termasuk istilah buzzer itu muncul sangat banyak di media saat itu," ungkapnya.
Klara menyebut ada empat karakter umum buzzer, yaitu memiliki jaringan yang luas, persuasif, memiliki kemampuan memproduksi konten, dan digerakkan motif tertentu--baik bayaran atau sukarela. Buzzer juga memiliki strategi khusus untuk amplifikasi pesan, misalnya memakai tagar yang unik di media sosial, memanfaatkan situs berita demi kredibilitas konten, serta memanfaatkan aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp untuk menyebarkan konten mereka.
"Lewat aplikasi pesan singkat ini lebih cepat daripada di Twitter. Mereka juga sengaja bikin portal berita tapi copas-copas konten dan menggunakan portalnya itu supaya twitnya terlihat 'ini loh udah dimuat di media'," ucap Klara.
Menurut Klara, ada arus kuasa dan aliran uang dalam industri buzzer, yaitu dari korporat, partai politik, maupun dari tokoh politik. Klara mengatakan buzzer bukan satu-satunya aktor dalam industri buzzing.
"Buzzer itu punya potensi besar untuk percakapan di medsos. Buzzer itu nggak bisa dipahami secara parsial, bukan satu-satunya produsen informasi. Ada aktor lain dalam industri buzzing yang mempengaruhi cara kerjanya," ucap Klara.
"Kami rasa dengan memahami buzzer dan industri buzzing secara utuh kita bisa melihat bahwa yang lebih dibutuhkan itu ke literasi akhirnya, di mana pengguna medsos melek, mana informasi yang bisa dipercaya, mana yang udah memang ini kok tidak meyakinkan. Jadi ya medsos jatuhnya jadi pedang bermata dua bagi demokrasi," pungkasnya.[dtk]
Post Comment
Tidak ada komentar