Breaking News

Pemilu Berdarah, Jebolan Demokrasi

Gambar: Ilustrasi
Oleh: Rafiah Hafid

Mediaoposisi.com-17 April 2019, tepatnya bulan lalu, Indonesia menggelar pemilihan umum untuk pilpres dan pileg. Ini pemilu yang kesekian kalinya semenjak Indonesia dikatakan merdeka. Namun, yang menggegerkan pada pemilu tahun ini yakni kabar ratusan petugas KPPS yang meninggal dunia. Sebagaimana dilansir BBC News Indonesia (10/05/2019) bahwa Lebih dari 550 petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia selama Pemilu 2019, terdiri dari anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panwaslu, dan Polri.

Terkait dengan pemilu berdarah, ternyata bukan hanya di Indonesia. Sebagaimana juga dilansir oleh BBC News Indonesia pada 31 Desember 2018 lalu, dalam sebuah berita yang berjudul �Pemilu berdarah di Bangladesh: PM Sheikh Hasina menang lagi, oposisi minta pemilu ulang� mengabarkan tentang bentrok berdarah antara aktivis partai saat pencoblosan yang mengakibatkan setidaknya 17 orang meninggal dunia. Liga Awami disebut telah merebut 281 dari 350 kursi parlemen dimana kubu oposisi hanya menduduki tujuh kursi. Liga Awami pimpinan Hasina telah menjadi partai berkuasa di Bangladesh sejak 2009. Namun, salah satu partai oposisi mengklaim Liga Awami mengerahkan sejumlah orang yang memilih berulang kali di berbagai tempat pemungutan suara (TPS).

Juru bicara Partai Bangladesh Nasional (BNP) menuding, ada 'ketidakwajaran' pada 221 dari 300 kursi yang diperebutkan. Berbagai ketidakwajaran seperti koresponden BBC menyaksikan bahwa kotak-kotak suara di sebuah TPS di Kota Chitaggong, terisi kertas suara yang sudah digunakan beberapa jam sebelum pemilu berlangsung tapi petugas di TPS tersebut malah menolak berkomentar. Hanya saksi-saksi partai berkuasa yang ada di TPS tersebut dan beberapa TPS lainnya di kota kedua terbesar Bangladesh itu, serta sedikitnya 47 kandidat dari aliansi oposisi mengundurkan diri sebelum pemilu berakhir, menuding adanya kecurangan dan intimidasi.

Begitupun di Indonesia, hilangnya ratusan nyawa petugas KPPS, Panwaslu, dan Polri rasanya menjadi hal yang tidak wajar. Meski Sekjen Kementerian Kesehatan memaparkan bahwa hasil audit dan autopsi menyatakan bahwa kematian disebabkan karena kelelahan, adanya penyakit bawaan dan usia tua.

"Selain di DKI Jakarta, secara garis besar kita sudah mendapatkan poin dari daerah, rata-rata meninggalnya karena penyakit. Ditambah juga dengan kelelahan. Dan usia juga rata-rata di atas 50 tahun paling banyak," papar Oscar Primadi, Sekjen Kementerian Kesehatan. (BBC News Indonesia, 10/05/2019)

Namun berbagai kejanggalan menguak dipermukaan, baik dari segi jumlah kematian yang tidakwajar hingga banyaknya kesalahan input data suara. Sehingga, khalayak pun ramai membicarakan dan membawa hal ini dalam konstelasi perpolitikan Indonesia sehingga tidak sedikit masyarakat yang menuntut agar kasus ini diusut tuntas.

Salah satunya, seorang dokter Ahli syaraf merasa ada ketidakwajaran dalam hal ini. Sehingga, beliau melakukan investigasi di Yogyakarta. Hal ini seperti dilansir oleh Wartakota Live.com (08/05/2019). Beliau meminta agar dilakukan pemeriksaan dan otopsi terhadap para korban penyelenggara pemilu yang tewas sebab beberapa hasil investigasi, sebagaimana yang ditampilkan di TV One menyatakan kesimpulan, bahwa hasil investigasinya tidak ada kaitan kelelahan dengan kematian anggota KPPS.

Pemilu Jebolan Demokrasi?
Pemilu tidak bisa dipisahkan dengan sistem demokrasi. Pemilu dalam demokrasi merupakan cara untuk memilih pemimpin, sebuah penerapan dari landasan demokrasi bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Sehingga, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang didasarkan oleh suara mayoritas sebagai ciri khas demokrasi. Untuk itu, pemilu adalah cara penerapannya.

Oleh karena itu, dalam demokrasi, rakyat adalah musyarri� (pembuat hukum) sebagai pemilih kedaulatan, juga sebagai munaffidz (pelaksana hukum) sebagai sumber kekuasaan. Namun pada faktanya, seluruh yang dibawa demokrasi hanyalah gagasan yang utopis. Sebab pada faktanya, demokrasi sampai kapanpun dan dimanapun tidak akan bisa diwujudkan. Presiden, pemerintah, dan anggota parlemen yang diklaim dipilih berdasarkan suara mayoritas atau dewan perwakilan yang diklaim sebagai penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat ataupun majelis perwakilan yang diklaim sebagai wakil mayoritas rakyat, pada hakikatnya sangat tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

Sebab, jumlah suara yang terpilih pada dasarnya merupakan hasil jumlah rakyat yang dibagi berdasarkan jumlah sekian calon sehingga pemenangnya adalah bukan dari suara mayoritas tapi sesungguhnya suara minoritas. Jadi, demokrasi dalam landasan suara mayoritas hanya utopis.

Begitupun jika ditelisik lagi, berbagai kebijakan yang diambil dan ditetapkan oleh negara nyatanya menggambarkan kepentingan kapitalis lebih diutamakan daripada mayoritas rakyat. Hal ini ini pun dapat dilihat dari berbagai problem negeri ini yang ternyata setiap kebijakan lebih banyak mementingkan para pemilik modal dan penguasa daripada rakyatnya sendiri. Sehingga, kesenjangan antara pemilik modal dan rakyat biasa sungguh semakin tampak.

Sehingga, jika melihat bagaimana fakta dari pemilu bedarah dari jebolan demokrasi merupakan sesuatu yang tidak wajar padahal sebenarnya sangat wajar ketika itu terjadi di era demokrasi hari ini. Asas kepentingan yang menjadi landasan dari demokrasi menjadikan tudingan-tudingan akan kejanggalan pemilu mungkin saja terjadi. Sebab, siapapun yang memahami konsep dan landasan kekuasaan di era demokrasi akan paham bahwa perebutan kursi kekuasaan adalah hal yang wajar. Kacamata demokrasi adalah kapitalisme, sehingga segala bentuk peruratan akan merujuk pada pendapatan atau keuntungan materi, termasuk dalam menduduki kursi kekuasaan.

Dalam demokrasi penguasa dan pengusaha itu dekat. Sehingga, kursi kekuasaan adalah jalan melanggengkan bisnis pengusaha demi meraup keuntungan bukan kepentingan rakyat.

Khalifah dan Khilafah Selamatkan Umat?
Khilafah yakni sebuah sistem kepemimpinan Islam yang sangat jauh bertolak belakang dengan sistem demokrasi. Khilafah akan melahirkan khalifah-khalifah yang amanah dan akan menjadi penjaga terpercaya bagi umat, agama, bahkan negara. Sehingga, keberadaan khalifah akan hanya bisa terwujud jika ada khilafah. Dan, hanya khilafahlah satu-satunya yang bisa mewujudkan kepemimpinan islam oleh seorang khalifah.

Dalam Islam, pengangkatan khalifah hanya diberikan batas waktu 3 hari 3 malam. Itupun batas 3 hari maksimal hanya ketika khalifah sebelumnya meninggal dunia. Ini menunjukkan pentingnya seorang khalifah bagi kaum muslim. Jika kaum muslim, dalam 3 hari 3 malam, tidak berhasil mengangkat seorang khalifah maka ini menjadi hal yang sangat perlu diperhatikan.

Jika selama itu belum mengangkat khalifah karena keterpaksaan dan sebab sebab lain namun ada usaha untuk mewujudkan maka telah gugur dosa pada mareka. Ibn Hibban dan Ibn Majah telah menuturan riwayat dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah Shalallahu �alaihi wa salam bersabda, �Sesungguhnya Allah telah mengabaikan (mengampuni dosa) dari ummatku kesalahan (yang tidak disengaja), kelupaan, dan keterpaksaan.� 

Berbeda jika memang tidak ada usaha untuk mengangkat khalifah. Rasulullah Shalallahu �alaihi wa salam bersabda, "Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada para khalifah, dan banyak (jumlahnya)." Para sahabat bertanya, "Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi Shalallahu �alaihi wa salam menjawab, "penuhilah bai'at yang pertama, dan yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin" (HR. Muslim). Rasulullah Shalallahu �alaihi wa salam berwasiat kepada kaum muslimin agar jangan sampai ada masa tanpa adanya khalifah (yang memimpin kaum muslimin). Jika hal ini terjadi, dengan tiadanya seorang khalifah, maka wajib bagi kaum muslimin berupaya mengangkat khalifah yang baru meskipun hal itu berakibat pada kematian.

Rasulullah memerintahkan kaum muslim untuk mengangkat khalifah dengan bai�at syar�i. Dalam Sistem khilafah, mahkamah mazalim bertugas memverifiasi kelayakan calon-calon khalifah apakah memenuhi syarat secara syari�i atau tidak. Yang lolos verifikasi diserahkan kepada majelis umat. Lewat musyawarah majelis umat inilah akan terpilih mereka yang memenuhi kualifikasi.

Hasil keputusan majelis umat akan mendapatkan 6 calon kemudian dierucutkan menjadi 2. Dalam islam, pengangkatan khalifah adalah fardhu kifayah. Jika majelis umat telah menetapkan maka kifayah itu sudah terpenuhi selanjutnya khalifah bisa di-bai�at dengan bai�at in�iqad kemudian seluruh rakyat wajib mem-bai�at-nya dengan bai�at tha�ah. Sehingga, pengangkatan khalifah tidak perlu melalui pemilu. Namun, semua ini hanya bisa terapkan dalam naungan khilafah.

Oleh karena itu, kewajiban kaum muslim dalam mem-bai�at khalifah hanya bisa terlaksana dalam sistem khilafah. Sehingga, berjuang menerapkan khilafah rasyidah adalah mahkota kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin. Sabda Rasulullah Shalallahu �alaihi wa salam, "Barang siapa mati dan dipundaknya tidak membai'at Seorang imam (khalifah), maka matinya (seperti) mati (dalam keadaan) jahiliyyah." Wallahu a�lam bi ash-shawab. [MO/ms]

Tidak ada komentar