Sidang Suap Benur, Hakim Marah Saat Saksi Anton Setyo Nugroho Bilang Lumrah Ada Uang Partisipasi Eksportir Rp 3,5 Miliar
BACANEWS.ID - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat marah karena uang "partisipasi" dianggap lumrah terjadi di pengadaan izin ekspor benih bening lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Majelis Hakim yang marah itu adalah, Hakim Ketua, Albertus Usada kepada saksi Anton Setyo Nugroho yang merupakan mantan PNS di Kementerian Kemaritiman dan Investasi yang kini menjadi PNS di KKP.
Saksi Anton yang dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di persidangan terdakwa Edhy Prabowo dkk ini mengungkapkan adanya permintaan uang partisipasi oleh Andreau selaku Staf khusus (Stafsus) Edhy yang juga menjabat sebagai Ketua tim due dilligen atau tim uji tuntas.
Dalam sidang ini, Hakim Ketua Albertus meminta JPU memperdalam keterangan saksi Anton yang disebut adanya konflik kepentingan.
Dalam keterangannya ini, Anton mengaku pernah mengurus izin ekspor PT Anugerah Bina Niha (ABN).
Anton pun menjelaskan bahwa, pada Januari 2020, Sukanto yang merupakan Direktur Utama PT ABN datang menemuinya untuk meminta tolong dibantu agar bisa menjadi eksportir BBL.
"Jadi Pak Kanto meminta saya, 'Ton tolong dibantu karena saya memang gak punya kenalan dimana saya harus berusaha, apa yang harus saya siapkan?'. Terus beliau juga menyampaikan 'modal berapa kira-kira yang untuk bisa menjalankan perusahaan ini?' Terus saya sampaikan ke beliau syarat-syaratnya yang pertama perusahaan bapak memang harus jelas secara izin, bapak juga harus mempunyai budidaya lobster serta bapak juga harus menyiapkan proposal bisnis," ujar Anton di ruang persidangan, Selasa (11/5).
Setelah itu, Anton menghadap Andreau di ruangan Andreau di Kantor KKP dan menyampaikan keinginan Sukanto agar PT ABN ikut berpartisipasi sebagai eksportir BBL.
Dalam pertemuan itu, Andreau kata Anton, membeberkan beberapa persyaratan. Salah satunya terkait modal yang harus disetorkan pengusaha untuk berpartisipasi.
"Ada tambahannya mohon izin ya memang ada semacam modal yang harus disetorkan dari pengusaha untuk berpartisipasi. Pak Andreau menyampaikan itu hal umum yang terjadi," kata Anton menirukan ucapan Andreau.
Tim JPU pun kembali mendalami terkait uang partisipasi yang dimaksud saksi Anton.
"Ada uang partisipasi, yang itu menjadi kebiasaan para pengusaha ekspor dalam pengurusan ini," kata Anton.
Andreau kata Anton, menyebutkan nominal uang partisipasi tersebut, yaitu sebesar Rp 3,5 miliar.
"Saya kutip aja ya pak di BAP bapak bahwa 'Andreau bilang namun harus ada uang partisipasi nyetor, kemudian saya jawab berapa bang nilai partisipasinya? Kemudian dijawab Andreau, yang duluh-dulu bisa mencapai Rp 5 miliar sampai dengan Rp 10 miliar. Yang sudah ini cukup Rp 3,5 miliar saja' Benar pak?" tanya Jaksa usai membacakan BAP Anton dan diamini Anton.
Dalam ucapan itu, Anton memahami bahwa uang tersebut merupakan hal yang lumrah dalam proses perizinan tersebut.
"Ya saya memahaminya itu sebagai hal yang lumrah dalam proses perizinan ini. Maksudnya, berarti kalau ABN..." jawab Anton yang kemudian dipotong oleh Hakim Ketua Albertus.
Hakim Ketua Albertus pun marah mendengar jawaban saksi Anton tersebut. Seharusnya kata Hakim, Anton mengurus mutasinya dari Kementerian Kemaritiman dan Investasi ke KKP. Akan tetapi, Anton malah mengurusi perizinan.
"Kamu seharusnya melimpah disana karena repot ngurus-ngurus izin perusahaan itu, itu kan conflict of interest kamu itu. Kamu tuh ngurus status pindahanmu dari Kementerian Kemaritiman Investasi ke KKP. Kamu dikenalkan sejak itu di Hotel Alama, kok kamu asyik sekali malah ngurus izinnya PT Anugerah Bina Niha. Ko diperhamba seorang direktur Utama yang namanya Sukanto Ali Minoto. Rusak ini kalau ASN begini semua. Kamu mengatakan itu biasa, kamu paham gak pembangunan zona integritas ini?" tegas Hakim Ketua Albertus.
"Kok hal yang lumrah, itu catat besar itu di Berita acara itu. Ini saksi apa ini. Ini fakta baru ini. Kamu kok menyangkut pembayaran-pembayaran begini kok jadi hal yang lumrah. Kamu tidak fokus mengurus izin mutasimu ke KKP, malah diperhamba oleh pihak ketiga yang mengurus izin ekspor BBL. Mau dibawa kemana negara begini caranya itu? Kamu S2 di Jepang, S3 di Jepang, begini kah hasilnya kamu studi di luar negeri? Kamu harus membangun demi Ibu Pertiwi kok malah kaya begini. Ini begini kok hal yang lumrah," sambung Hakim Ketua Albertus.
Hakim pun lantas mempertegas jawaban Anton tersebut terkait dialognya dengan Andreau. Anton pun membenarkan percakapan tersebut.
"Dan saudara di fakta persidangan, itu hal yang lumrah? tanya menegaskan Hakim Ketua Albertus.
"Iya, jadi menurut saya, saya pikir itu memang semuanya seperti itu gitu," jawab Anton.
JPU pun kemudian melanjutkan bertanya kepada saksi Anton. JPU mendalami pemberian uang partisipasi tersebut.
Anton menyebutkan bahwa, setelah adanya percakapan tersebut, ia langsung kembali menemui Sukanto dan menyampaikan ada uang partisipasi sebesar Rp 3,5 miliar. Akan tetapi, Sukanto hanya sanggup memberikan Rp 2,5 miliar.
Atas kesanggupan Sukanto, Anton kembali menemui Andreau dan menyampaikannya. Andreau kemudian menyetujui untuk PT ABN hanya Rp 2,5 miliar untuk uang partisipasinya.
Uang Rp 2,5 miliar tersebut selanjutnya diberikan Sukanto kepada Anton untuk diserahkan kepada Andreau melalui urusannya secara bertahap.
Selain itu, Sukanto juga memberikan uang Rp 100 juta kepada Anton untuk diserahkan langsung kepada Andreau di Kantor KKP.[rmol]
Majelis Hakim yang marah itu adalah, Hakim Ketua, Albertus Usada kepada saksi Anton Setyo Nugroho yang merupakan mantan PNS di Kementerian Kemaritiman dan Investasi yang kini menjadi PNS di KKP.
Saksi Anton yang dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di persidangan terdakwa Edhy Prabowo dkk ini mengungkapkan adanya permintaan uang partisipasi oleh Andreau selaku Staf khusus (Stafsus) Edhy yang juga menjabat sebagai Ketua tim due dilligen atau tim uji tuntas.
Dalam sidang ini, Hakim Ketua Albertus meminta JPU memperdalam keterangan saksi Anton yang disebut adanya konflik kepentingan.
Dalam keterangannya ini, Anton mengaku pernah mengurus izin ekspor PT Anugerah Bina Niha (ABN).
Anton pun menjelaskan bahwa, pada Januari 2020, Sukanto yang merupakan Direktur Utama PT ABN datang menemuinya untuk meminta tolong dibantu agar bisa menjadi eksportir BBL.
"Jadi Pak Kanto meminta saya, 'Ton tolong dibantu karena saya memang gak punya kenalan dimana saya harus berusaha, apa yang harus saya siapkan?'. Terus beliau juga menyampaikan 'modal berapa kira-kira yang untuk bisa menjalankan perusahaan ini?' Terus saya sampaikan ke beliau syarat-syaratnya yang pertama perusahaan bapak memang harus jelas secara izin, bapak juga harus mempunyai budidaya lobster serta bapak juga harus menyiapkan proposal bisnis," ujar Anton di ruang persidangan, Selasa (11/5).
Setelah itu, Anton menghadap Andreau di ruangan Andreau di Kantor KKP dan menyampaikan keinginan Sukanto agar PT ABN ikut berpartisipasi sebagai eksportir BBL.
Dalam pertemuan itu, Andreau kata Anton, membeberkan beberapa persyaratan. Salah satunya terkait modal yang harus disetorkan pengusaha untuk berpartisipasi.
"Ada tambahannya mohon izin ya memang ada semacam modal yang harus disetorkan dari pengusaha untuk berpartisipasi. Pak Andreau menyampaikan itu hal umum yang terjadi," kata Anton menirukan ucapan Andreau.
Tim JPU pun kembali mendalami terkait uang partisipasi yang dimaksud saksi Anton.
"Ada uang partisipasi, yang itu menjadi kebiasaan para pengusaha ekspor dalam pengurusan ini," kata Anton.
Andreau kata Anton, menyebutkan nominal uang partisipasi tersebut, yaitu sebesar Rp 3,5 miliar.
"Saya kutip aja ya pak di BAP bapak bahwa 'Andreau bilang namun harus ada uang partisipasi nyetor, kemudian saya jawab berapa bang nilai partisipasinya? Kemudian dijawab Andreau, yang duluh-dulu bisa mencapai Rp 5 miliar sampai dengan Rp 10 miliar. Yang sudah ini cukup Rp 3,5 miliar saja' Benar pak?" tanya Jaksa usai membacakan BAP Anton dan diamini Anton.
Dalam ucapan itu, Anton memahami bahwa uang tersebut merupakan hal yang lumrah dalam proses perizinan tersebut.
"Ya saya memahaminya itu sebagai hal yang lumrah dalam proses perizinan ini. Maksudnya, berarti kalau ABN..." jawab Anton yang kemudian dipotong oleh Hakim Ketua Albertus.
Hakim Ketua Albertus pun marah mendengar jawaban saksi Anton tersebut. Seharusnya kata Hakim, Anton mengurus mutasinya dari Kementerian Kemaritiman dan Investasi ke KKP. Akan tetapi, Anton malah mengurusi perizinan.
"Kamu seharusnya melimpah disana karena repot ngurus-ngurus izin perusahaan itu, itu kan conflict of interest kamu itu. Kamu tuh ngurus status pindahanmu dari Kementerian Kemaritiman Investasi ke KKP. Kamu dikenalkan sejak itu di Hotel Alama, kok kamu asyik sekali malah ngurus izinnya PT Anugerah Bina Niha. Ko diperhamba seorang direktur Utama yang namanya Sukanto Ali Minoto. Rusak ini kalau ASN begini semua. Kamu mengatakan itu biasa, kamu paham gak pembangunan zona integritas ini?" tegas Hakim Ketua Albertus.
"Kok hal yang lumrah, itu catat besar itu di Berita acara itu. Ini saksi apa ini. Ini fakta baru ini. Kamu kok menyangkut pembayaran-pembayaran begini kok jadi hal yang lumrah. Kamu tidak fokus mengurus izin mutasimu ke KKP, malah diperhamba oleh pihak ketiga yang mengurus izin ekspor BBL. Mau dibawa kemana negara begini caranya itu? Kamu S2 di Jepang, S3 di Jepang, begini kah hasilnya kamu studi di luar negeri? Kamu harus membangun demi Ibu Pertiwi kok malah kaya begini. Ini begini kok hal yang lumrah," sambung Hakim Ketua Albertus.
Hakim pun lantas mempertegas jawaban Anton tersebut terkait dialognya dengan Andreau. Anton pun membenarkan percakapan tersebut.
"Dan saudara di fakta persidangan, itu hal yang lumrah? tanya menegaskan Hakim Ketua Albertus.
"Iya, jadi menurut saya, saya pikir itu memang semuanya seperti itu gitu," jawab Anton.
JPU pun kemudian melanjutkan bertanya kepada saksi Anton. JPU mendalami pemberian uang partisipasi tersebut.
Anton menyebutkan bahwa, setelah adanya percakapan tersebut, ia langsung kembali menemui Sukanto dan menyampaikan ada uang partisipasi sebesar Rp 3,5 miliar. Akan tetapi, Sukanto hanya sanggup memberikan Rp 2,5 miliar.
Atas kesanggupan Sukanto, Anton kembali menemui Andreau dan menyampaikannya. Andreau kemudian menyetujui untuk PT ABN hanya Rp 2,5 miliar untuk uang partisipasinya.
Uang Rp 2,5 miliar tersebut selanjutnya diberikan Sukanto kepada Anton untuk diserahkan kepada Andreau melalui urusannya secara bertahap.
Selain itu, Sukanto juga memberikan uang Rp 100 juta kepada Anton untuk diserahkan langsung kepada Andreau di Kantor KKP.[rmol]
Tidak ada komentar