Kisah Suami Istri Bayar Biaya Persalinan Anak Pakai Uang Koin Rp 1000, Hasil Menabung Sejak Hamil
Kisah unik pasangan suami istri dialami Riska (27) dan Yanto Kuswanto (30).Kisah pasangan suami istri asal Kabupaten Cianjur ini berawal saat keduanya kedatangan putra pertama mereka.
Keduanya membayar biaya kelahiran putra pertama mereka memakai pecahan uang koin Rp 1.000.
Uang koin itu adalah hasil menabung di celengan selama sembilan bulan.
Riska mengatakan, sehari-hari suaminya bekerja sebagai pelayan toko di kawasan kota Kabupaten Cianjur.
Ia menuturkan, gaji suaminya dalam satu bulan adalah Rp 900 ribu, kalau dihitung perharinya cuma Rp 30 ribu.
Sisa dari biaya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari biasanya dimasukkan ke dalam celengan.
Riska mengatakan, saat anaknya lahir, suaminya langsung memecahkan celengan itu.
Uang-uang itu kemudian memasukkannya ke dalam kresek untuk biaya lahiran.
"Jumlahnya sekitar Rp 500 ribu," katanya.
"Langsung dimasukkan ke dalam kresek dan dibawa ke Puskesmas," ujar Riska.
Riska mengatakan, total biaya persalinannya semua Rp 1,4 juta.
Namun, pihak puskesmas akhirnya memberi keringanan kepada Riska dan bayinya.
"Uang koin dikembalikan lagi dan saya diberi santunan Rp 200 ribu sama kepala puskesmas," ujarnya.
Riska dan suaminya tinggal di Kampung Mekarsari RT 05/02, Desa Rahong, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur.
Mereka tinggal di rumah yang dibagi tiga, untuk ibu yang dipakai warung, dirinya, dan adiknya.
Panjang tanah totalnya ada 10 meter.
Satu bagian mendapat masing-masing tiga meter.
Dulu, kata Riska, rumahnya panggung dan mau roboh.
Sempat, mau ada bantuan perbaikan rumahnya yang tidak layak huni.
Namun, ia mengaku jika bantuan itu tak kunjung tiba.
"Akhirnya daripada roboh kami pinjam ke bang emok," ungkap dia.
"Total pinjaman kami Rp 27 juta untuk membangun rumah yang kami bagi tiga meter untuk adik dan ibu ini," katanya.
Utang untuk membangun rumah kepada bang emok kini mempunyai empat kali tagihan dalam sebulan.
Ada yang dibayar setiap hari Senin dan Kamis, lalu ada yang harus dibayar setiap dua pekan.
"Kami meminjam kepada tiga bang emok, ada yang harus dibayar setiap Senin dan Kamis," ucap dia.
"Lalu ada yang per dua minggu, kalau ditotal perbulan kami harus bayar cicilan Rp 1,8 juta," kata Riska.
Riska mengatakan, antara penghasilan suami yang hanya pekerja toko bergaji Rp 900 ribu memang sangat jauh dengan utang yang harus dibayar Rp 1,8 juta perbulan.
"Ibu saya yang sudah renta terpaksa membuka warung untuk mencari penghasilan tambahan," kata Riska.
Riska mengatakan, total utang masih besar dan berharap ada bantuan agar meringankan beban keluarga.
"Sekarang lahir anak dan tentu ada biaya yang harus diperlukan untuk sehari-hari," katanya.
Riska mengatakan, sejak rumahnya panggung yang mau roboh, ia tak masuk ke dalam keluarga yang menerima PKH.
Demikian juga dengan ibunya yang sudah renta, tidak masuk ke dalam keluarga yang menerima PKH.
Mereka juga tidak masuk dalam program baru Bantuan Pangan Non Tunai beras.
"Kami tak pernah dapat bantuan PKH maupun BPNT," ucap dia.
"Sekarang kami terlilit utang bank emok karena bangun rumah yang mau roboh," tambahnya.
"Kami sangat berharap bantuan," katanya.
Sumber Artikel:
Namun, pihak puskesmas akhirnya memberi keringanan kepada Riska dan bayinya.
"Uang koin dikembalikan lagi dan saya diberi santunan Rp 200 ribu sama kepala puskesmas," ujarnya.
Riska dan suaminya tinggal di Kampung Mekarsari RT 05/02, Desa Rahong, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur.
Mereka tinggal di rumah yang dibagi tiga, untuk ibu yang dipakai warung, dirinya, dan adiknya.
Panjang tanah totalnya ada 10 meter.
Satu bagian mendapat masing-masing tiga meter.
Dulu, kata Riska, rumahnya panggung dan mau roboh.
Sempat, mau ada bantuan perbaikan rumahnya yang tidak layak huni.
Namun, ia mengaku jika bantuan itu tak kunjung tiba.
"Akhirnya daripada roboh kami pinjam ke bang emok," ungkap dia.
"Total pinjaman kami Rp 27 juta untuk membangun rumah yang kami bagi tiga meter untuk adik dan ibu ini," katanya.
Utang untuk membangun rumah kepada bang emok kini mempunyai empat kali tagihan dalam sebulan.
Ada yang dibayar setiap hari Senin dan Kamis, lalu ada yang harus dibayar setiap dua pekan.
"Kami meminjam kepada tiga bang emok, ada yang harus dibayar setiap Senin dan Kamis," ucap dia.
"Lalu ada yang per dua minggu, kalau ditotal perbulan kami harus bayar cicilan Rp 1,8 juta," kata Riska.
Riska mengatakan, antara penghasilan suami yang hanya pekerja toko bergaji Rp 900 ribu memang sangat jauh dengan utang yang harus dibayar Rp 1,8 juta perbulan.
"Ibu saya yang sudah renta terpaksa membuka warung untuk mencari penghasilan tambahan," kata Riska.
Riska mengatakan, total utang masih besar dan berharap ada bantuan agar meringankan beban keluarga.
"Sekarang lahir anak dan tentu ada biaya yang harus diperlukan untuk sehari-hari," katanya.
Riska mengatakan, sejak rumahnya panggung yang mau roboh, ia tak masuk ke dalam keluarga yang menerima PKH.
Demikian juga dengan ibunya yang sudah renta, tidak masuk ke dalam keluarga yang menerima PKH.
Mereka juga tidak masuk dalam program baru Bantuan Pangan Non Tunai beras.
"Kami tak pernah dapat bantuan PKH maupun BPNT," ucap dia.
"Sekarang kami terlilit utang bank emok karena bangun rumah yang mau roboh," tambahnya.
"Kami sangat berharap bantuan," katanya.
Sumber Artikel:
Post Comment
Tidak ada komentar