Breaking News

Selaksa Tanda Tanya Radikal:Beda Pendapat, Haruskah "Disikat"?

Pada beberapa kesempatan Presiden Jokowi menegaskan:
"Berbeda pendapat itu silahkan....!"
dst..
dst..

Di negara demokratis, memang seharusnya benar apa yang ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo. Namun, kalau boleh saya jujur, apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi itu dalam praktik laksana jauh panggang dari api. Saya adalah korbannya! Saya hanya menyatakan pendapat yang berbeda dengan mainstream kok "diciduk" / dipersekusi? Bahkan, saya cuma beda pendapat soal PERPPU ORMAS dan menyatakan keyakinan terhadap ajaran Islam tentang khilafah yang jelas sebagai bagian dari ajaran Islam---tidak terkait dengan ajaran HTI. Di buku fikih karangan H Sulaiman Rasyid ada bagian khusus, yaitu BAB XV (hlm 494 s/d 507) al khilafah. Kedudukannya sama dengan bab sholat, bab zakat, bab muamalah, bab thaharah. Saya tidak pernah memaksakan orang lain apalagi menggunakan kekerasan untuk mengikuti keyakinan saya itu. Lalu radikal saya di mana? 

Mengapa saya dituduh radikal?
Mengapa saya dituduh anti Pancasila?
(Saya pengajar Pancasila dan Filsafat PS) selama 24 tahun). Mengapa saya dituduh anti NKRI?

Mengapa saya dituduh tidak setia kepada Pemerintah? Mengapa?

Hingga akhirnya demi hasrat memeriksa saya dalam hal tuduhan pelanggaran kode etik dan disiplin pegawai saya harus dibebaskan sementara---hingga akhirnya secara tetap ada 2 jabatan yang diberhentikan tetap---dari tugas 3 jabatan saya. Di mana demokrasi itu? Di mana perbedaan pendapat itu? Di mana keanekaragaman itu? Bukankah Saya ini berpendapat karena keilmuwan saya. Mengapa dituduh secara keji semacam itu? Saya sungguh heran, mengalami peristiwa ini.

Terorisme mamang harus diperangi. Saya setuju. Tetapi yang namanya radikalisme itu barang apa? Nomenklatur macam mana? Kriterianya apa? Semuanya masih gelap bagi saya. Narasi radikalisme secara hukum itu mau diteropong dari sisi mana sedangkan hal yang lumrah kalau ilmuwan itu mesti berpikir radikal. Hanya dengan cara itu seorang ilmuwan akan menemukan kebaruan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan. 

Saya berharap, jangan hanya karena beda pendapat, beda aliran, beda politik lalu dengan mudah menyematkan kata radikal, terpapar radikalisme kepada seseorang yang dinilai berseberangan. Ini tidak fair. Bukankah Pancasila mengunggulkan musyawarah, berembug, dialog? Merangkul bukan memukul? Mengutamakan memeluk bukan menggebuk. Kemana kata-kata mutiara itu? Haruskah semua kasus yang sebenarnya masih bisa didiaogkan mesti diselesaikan dengan legal positivistic? Di mana kearifan lokal itu? 

Sulit memang, menegakkan hukum di atas moral di negeri ini, padahal Pancasila tetap kokoh menjadi leitztern (bintang pemandu) bahkan menjadi kaidah penuntun bagi pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia ini. 

Issue radikalisme di kampus tampak sekali masih hendak dihembuskan oleh rezim penguasa. Apa sesungguhnya misi utama propaganda radikalisme di kampus? Apakah hendak mematikan kerja "critical thinking" insan kampus untuk berani melakukan kreatifitas berpikir sehingga berani pula melakukan upaya pembelaan terhadap kebenaran dan keadilan. Inilah tugas kampus untuk meruhanikan ilmu pengetahuan. Ketika upaya represi dalam sosialisasi yang berintikan intimidasi terhadap insan kampus yang dinilai radikal dilaksanakan, maka dapat diprediksikan ke depan kampus hanya jadi perusahaan pencetak sarjana yang kosong dari sentuhan pembelaan kebenaran dan keadilan dan kampus menjadi sangat profan. Seminar tentang radikalisme yang telah banyak dilaksanakan sebenarnya tidak lebih dari upaya tersebut, termasuk seminar yang dilaksanakan hari Selasa, 4 Agustus 2020 di Undip ini.

Narasumber Webinar yang bertajuk "Pendidikan Budaya Anti Radikalisme Bagi Mahasiswa Undip" adalah:

(1) Prof. Dr. Yos Johan Utama (Rektor Undip)
(2) Komjen Pol. Prof. Dr. Ryco Amelza Dahniel, MSi. 
(Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri).
(3) Komjen Pol. Dr. Drs. Boy Rafly Amar, MH.
(Kepala BNPT)
(4) Prof. Dr. Azyumardi Azra 
(Cendekiawan Muslim)
(5) Rm Paulus Christian Siswantoko
(Sekretaris Komisi KAKWI)
(6) Dr. Muhammad Adnan 
(Ketua Tim Anti Radikalisme Undip).

Ada beberapa pertanyaan yang perlu saya ajukan kepada para pakar untuk mendedah tirai selubung yang masih saya rasakan terkait dengan posisi saya sebagai "korban" propaganda radikalisme di kampus. Beberapa pertanyaan radikal itu adalah sebagai berikut:

1. Hingga sekarang masih ada simpang siur soal pemberhentian saya mengajar di Akpol. Saya diberhentikan dari mengajar di Akpol sejak 2017/2018. Menurut keterangan Rektor Undip, Akpol yang memberhentikan saya, sementara dari pihak Akpol menyatakan bahwa Undiplah yang meminta supaya saya diberhentikan. Pertanyaan saya untuk Prof Yos Johan Utama (Rektor Undip) dan Komisaris Jendral Ryco (Mantan Gubernur Akpol) sebagai berikut:

(1) Siapa sebenarnya yang memberhentikan saya mengajar di Akpol?

(2) Apa alasan utama saya diberhentikan, apakah karena radikalisme ini? 

(3) Jika iya, apa bukti bahwa saya radikal dan apakah dampak dari radikal tersebut terhadap civitas akedemika di Undip maupun di Akpol?

2. Komisaris Jendral Boy Rafly Amar:
(1) Apa sebenarnya kriteria radikalisme itu? 

(2) Ini nomenklatur hukum ataukah lebih pada nomenklatur politik? 

(3) Jika nomenklatur hukum, di UU mana bisa kita rujuk untuk menyatakan bahwa radikalisme itu sebagai delik yang patut diancam dengan pidana? 

(4) Adakah hubungan langsung antara Radikalisme dengan Terorisme? Apa buktinya? Apakah selama ini orang yg disebut radikal itu sdh menjadi teroris?

(5) Apa sebenarnya misi BNPT melakukan propaganda issue radikalisme di kampus?

3. Prof Azyumardi Azra: 
Profesor dikenal sebagai cendekiawan muslim yang hebat, dan adil, objektif dalam menilai sesuatu. Menurut Prof. Azyumardi Azra:

(1) Di mana posisi bab khilafah dalam kitab-kitab fikih Islam? 
(2) Apakah khilafah itu bagian dari ajaran Islam ataukah ajaran setan yang terlarang untuk dipelajari dan didakwahkah? 
(3) Bolehkah orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah ajaran Islam itu diancam, dikriminalkan?

4. Rm Paulus Christian Siswantoko:
(1) Apakah Kaum Nasrani itu radikal? Dan bolehkah perilaku radikal itu ada dalam kehidupan agama Nasrani? Apa contoh radikal dalam agama Nasrani?

(2) Apakah ketika umat Islam menyatakan keyakinannya bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Alloh (lailaha illalloh) itu dikatakan radikal oleh umat Nasrani?

(3) Apakah ideologi-ideologi itu juga mempunyai watak radikal? Jika iya, apakah patut jika radikal dan atau radikalisme itu dikualifikasikan sebagai delik, dikriminalkan?

5. Dr. Muhammad Adnan:
Saya pernah diwawancarai oleh 2 orang wartawan Koran Kampus Manunggal Undip tahun lalu terkait dengan Radikalisme di Kampus. Wartawan tadi menyebutkan bahwa saya ditempatkan di ranking 1 sosok radikal di daftar Timaru. 

(1) Benarkah salah satu penyebabnya adalah karena artikel saya di media Islam Bandung tentang Urgensi Transformasi Sistem Pemerintahan? 

(2) Jika iya, apakah Pak Adnan tahu bahwa ketika seseorang menulis artikel ilmiah tidak boleh dikategorikan sebagai bentuk "tindakan yang menyimpang" dan tidak boleh dihukum, bahkan ketika seseorang menafsirkan agama pun tidak boleh dikatakan sebagai bentuk penistaan? Silahkan dibaca PNPS 1 Tahun 1965 dan penjelasannya. Tapi mengapa tulisan ilmiah saya dijadikan dasar untuk mengatakan saya menganut radikalisme? 

(3) Apakah salahnya dosen radikal itu? Korupsikah? Membubarkan dan memisahkan dengan NKRI kah? Ingin mengubah Pancasilakah? 

(4) Bagaimana dosen yang tidak radikal dapat menggeser garis depan ilmu, atau melakukan falsifikasi untuk mendapatkan inovasi atau temuan baru? 

(5) Apa buktinya bahwa radikalisme dosen itu berbahaya dalam kehidupan kampus dan atau luar kampus?

Kepada semua narasumber, saya ingin menyampaikan ungkapan bijak:

"Kita mungkin dapat merusak sebuah taman bunga, tetapi kita tidak mungkin dapat menunda musim semi tiba". Tabik.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat


Tidak ada komentar