Breaking News

Petani Tembakau Menolak Kenaikan Pajak Rokok 23 persen


Jakarta - Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Parmuji berpendapat kenaikan pajak rokok 23 persen di luar batas yang wajar dan akan sangat memengaruhi petani. Selain itu, setidaknya 3 juta dari mereka bergantung pada sektor industri tembakau (IHT).

�Suka atau tidak suka, petani tembakau masih mengandalkan pembelian industri rokok nasional. Setidaknya 90 persen di antaranya juga mengandalkan rokok konvensional, terutama kretek buatan mesin (rokok kretek) atau kretek buatan tangan, �kata Agus kepada Tempo, Minggu, 15 September.

Dia menegaskan bahwa pajak akan mempengaruhi iklim usaha yang berpotensi mengurangi permintaan bahan baku tembakau dari petani setempat. Alih-alih menghilangkan prevalensi perokok muda, meningkatkan pajak di luar ambang batas hanya akan mengubah kebiasaan perokok dari konvensional ke rokok listrik.

�Pajak untuk e-rokok harus ditetapkan lebih tinggi karena menimpa petani karena tidak menggunakan bahan lokal dan pemerintah pada pendapatan,� Agus menggarisbawahi.

Dia menambahkan bahwa pemerintah harus menerapkan disparitas tarif pajak untuk menurunkan prevalensi perokok muda karena kebanyakan dari mereka mengkonsumsi rokok putih (SPM) yang diproduksi mesin, yang sebagian besar mengandung bahan impor. Ini berarti, tarif cukai yang lebih tinggi ditetapkan untuk rokok dengan bahan impor.

Sementara itu, Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengatakan bahwa kenaikan pajak tembakau akan menghasilkan dampak buruk yang dapat meningkatkan distribusi rokok ilegal. Akibatnya, target penerimaan dari cukai tembakau sebesar Rp171,9 triliun pada 2020 tidak akan terpenuhi.

Tidak ada komentar