Wacana Impor Guru Asing Duka Bagi Dunia Pendidikan
Oleh : Ummu Muzzammil
Mediaoposisi.com- Masih jelas dalam ingatan demo guru honorer memperjuangkan nasib mereka, kesejahteraan mereka. Aspirasi yang seharusnya didengar namun tidak dihiraukan. Belum hilang duka itu terdengar kabar tentang wacana impor guru asing. Ibarat luka yang masih menganga ditambah tersiram air garam. Perih.
Dalam laman online Harianjogja.com (9 Mei 2019) diberitakan bahwa Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan akan mengundang guru atau pengajar dari luar negeri untuk mengajar di Indonesia. Menurutnya guru-guru dari luar negeri akan didatangkan untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia.
Kontan saja wacana ini banyak menuai kritik. Nasib honorer saja tidak dipedulikan, ini mau mendatangkan guru dari luar negeri. Jika dihitung dengan nominal tentunya tidak sedikit biaya yang harus dianggarkan negara untuk program ini. Uang dari mana?
Wacana ini muncul beriringan dengan beberapa hal yang memojokkan profesi guru dan dunia pendidikan. Mulai dari tidak pedulinya pemerintah terhadap nasib guru honorer, tayangan film Dilan yang digambarkan remaja idola milenial tapi berani terhadap guru, wacana untuk memasukkan game online atau e-sport kedalam kurikulum pendidikan, dan tayangan iklan game online Hugo (meski akhirnya ditarik lagi).
Demikian dahsyatnya serangan dalam dunia pendidikan. Padahal hasil dari dunia pendidikan adalah generasi penerus bangsa. Bagaimana mungkin jika tidak serius dalam mengurusi persoalan pendidikan? Alih-alih menyelesaikan masalah yang ada pemerintah justru menambah masalah.
Lihatlah nasib guru honorer. Tidaklah cukup gelar pahlawan tanpa tanda jasa untuk bisa menutupi kebutuhan hidupnya saat ini. Gaji yang minim dengan beban kerja yang ada tidak berimbang. Dan nyatanya tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang yang ikhlas mendidik generasi ini. Meski dengan keterbatasan sarana.
Bukan melarang kebijakan import. Sah-sah saja. Hanya tempatkan pada porsi yang semestinya. Sudah banyak bidang yang perlahan mati dengan kebijakan ini. Sebut saja kebijakan impor garam, impor beras, impor jagung dan masih banyak lagi.
Padahal negara kita masih mampu untuk berswasembada pangan. Betapa merananya nasib para petani saat itu. Ketika kran impor terbuka lebar. Dan kini, dunia pendidikan akan dibidik. Meski baru wacana, namun sungguh ini sangat menyesakkan hati.
Dengan impor artinya negara kita sudah tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bagaimana dengan wacana impor guru? Apakah artinya kualitas guru-guru yang kita miliki juga kurang memadai? Kemudian apa artinya negeri ini mempunyaia perguruan tinggi yang mencetak guru jika nyatanya masih membutuhkan guru dari luar negeri?
Bukankah lebih baik memperbaiki mutu pendidikan dari dalam? Dengan lebih meningkatkan kesejahteraan guru misalnya. Karena guru sebagai ujung tombak dalam pendidikan, selain dari kurikulum yang ada.
Jika digali lebih jauh, negeri ini mempunyai stok melimpah para ilmuwan ataupun orang-orang yang pintar. Hanya saja sering terabaikan. Dan tidak terfasilitasi. Sehingga tidak sedikit yang akhirnya bekerja di luar negeri. Cobalah tarik dan berdayakan mereka untuk negeri ini. Beri mereka ruang dan perhatian, niscaya mereka pun bisa berkarya untuk negeri.
Memilih Guru Memilih Warna Peradaban
Ketertinggalan pendidikan di negeri ini tidak hanya disokong oleh para tenaga pendidik. Kurikulum yang ada bisa saja menjadi corak peradaban saat ini. Di saat kurikulum yang dirancang jauh dari konsep keimanan maka benar saja pondasi generasi mudah terombang-ambing. Bagai generasi tanpa akar.
Guru atau pendidik akan membuat corak pada diri anak didiknya. Bagi kita di negeri yang mayoritas muslim akan sangat riskan sekali ketika mendatangkan guru-guru asing. Apalagi jika guru tersebut jauh dari nilai-nilai keislaman. Tentu akan membawa corak tersendiri.
Jika ingin memperbaiki pendidikan lihatlah bagaimana sistem pendidikan pada masa kejayaan Islam. Tercatat Andalusia sebagai kiblat ilmu saat itu di bawah kepemimpinan Islam. Gaji guru saat itu pun tergolong besar. Karena tugas guru yang begitu besar dan mulia, yaitu mencetak generasi peradaban.
Semoga wacana itu hanya sekedar wacana. Meski telah mengiris hati para guru. Ya, para guru yang rela berlelah-lelah dalam membimbing dan mendidik. Meski terkadang minim perhatian dari pemerintah. [MO/ra]
Post Comment
Tidak ada komentar