Sulitnya Memilih Pemimpin Dalam Sistem Demokrasi
Oleh : Rengganis Santika
Mediaoposisi.com-Kisruh pemilu yang berkepanjangan sepertinya tak akan berujung manis, dari mulai masalah DPT sampai Quick Count dan Real Count. Dan nampaknya, rakyat pun sudah jengah nyaris putus asa dengan semua realitas buruk ini.
Sangat melelahkan! Namun yang pasti, Rp 25 trilyun biaya pemilu melayang. Hutang negara kian mengembang dan asing pun senang! Semua biaya itu jelas tak mungkin menebus 200 lebih nyawa petugas pemilu yang meninggal dan ribuan lainnya yang jatuh sakit demi pemilu. Apa kata negara dan KPU melihat fenomena ini? Mereka cuma bilang korban meninggal karena kelelahan. Dan sebagai penghargaan atas jasa mereka, mereka mendapat gelar "Pahlawan Demokrasi". Atau barangkali lebih tepatnya mereka adalah tumbal demokrasi.
Biaya sebesar itupun takkan sanggup menutupi kecurangan yang begitu nyata dan terang benderang. Ada 7000 lebih aduan pelanggaran pemilu pada Bawaslu. Itupun yang tercatat, entah berapa banyak kecurangan yang tak tercatat. Rakyat menjadi mata dan telinga sekaligus saksi sejarah semua dusta perjalanan pemilu di negeri ini. Pemilu 2019 menjadi drama suksesi kepemimpinan yang sangat brutal dan tragis!
Segala jerih payah melewati berbagai tahapan hajat demokrasi yang rumit semakin menunjukkan bahwa demokrasi memang mahal dan berliku. Hanya untuk meloloskan seorang pemimpin. Mulai dari masalah Dapil yang rumit hingga teknis pencoblosan yang tidak praktis dan memerlukan tutorial. Walaupun begitu, rakyat tetap pusing karena tak banyak caleg yang dikenalnya, apalagi visi misinya. Distribusi logistik pemilu tak jarang pula harus melalui medan yang cukup berat. Dan kini semua itu menjadi sia-sia karena toh pada akhirnya suara pemilih dimanipulasi dengan penuh kecurangan.
"Suara pemilih (vote) tidak akan menentukan kemenangan pemilu, karena yang menghitung suaralah yang akan menentukan kemenangan", begitu kata Joseph Stalin. Kalau kemarin kata "kafir" diperhalus dengan kata "non-Muslim", maka kini kata "curang" diperhalus dengan kata-kata "salah entry data".
Rezim saat ini secara sistematis dan masif mempertontonkan kecurangan. Mereka ngotot memaksakan kekuasaan. Ada kepentingan pihak-pihak tertentu di balik kekuasaan yang berlumur dusta ini. Ada asing, aseng, dan pribumi yang serakah di belakang penguasa. Bagi mereka, pemilu ini pertaruhan masa depan kepentingan mereka.
Fakta ini makin menguatkan teori Machiavelis bahwa demokrasi adalah alat untuk meraih kekuasaan, walaupun dengan menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara kotor dan sadis! Luar biasa!! Nyawa korban akibat "lelah" jatuh berturut-turut. Perih rasanya, sekaligus mengherankan!!
Pemilu ini hanya berujung pada instabilitas sosial, politik, dan ekonomi. Perpecahan, public distrust (ketidakpercayaan publik) pada pemerintah yang berpotensi menghambat laju pembangunan, dan fatalnya bisa berujung pada pemerintahan "unlegitimate" dan mengarah pada people power.
Kita tidak berharap kekacauan (chaos) terjadi, namun itulah yang terjadi di banyak peristiwa sejarah bangsa. People power bak bola liar yang bergerak random karena tidak dilandasi sebuah pemikiran mendasar/ideologis. Bisa mengakibatkan instabilitas politik di dalam negeri. Politik yang seharusnya menjadi instrumen untuk mengatur urusan rakyat menjelma menjadi alat untuk memperalat rakyat. Ya, seperti saat pesta demokrasi ini. Rakyat cuma alat meraih suara, itupun diperalat. Bagaimana dengan stabilitas ekonomi pasca pemilu? Makin terpuruk!!
Rezim telah salah mendiagnosis arus perubahan rakyat hari ini. Telah muncul ghirah keislaman di dalam tubuh umat mayoritas negeri ini. Namun ghirah yang baru di level syu'ur (perasaan) ini harus diarahkan pada sisi yang lebih ajeg, yaitu pemikiran. Harus tumbuh kesadaran pemikiran yang nantinya mengarah pada perubahan yang mendasar, yaitu perubahan yang hakiki dan ideologis.
Ideologi Islam terbukti ampuh dalam rentang 13 abad menjadi peradaban emas dan adidaya dunia. Semua itu tentu tak mungkin ada tanpa sebuah kepemimpinan yang kuat yang melewati suksesi atau pergantian pemimpin yang ideal.
Kepemimpinan dalam Islam tak berdasarkan pemilu setiap lima tahun, sehingga stabilitas ekonomi, sosial, dan politik lebih terjaga. Pemimpin dalam Islam bukan diktator karena kekuasaan ada di tangan umat. Seseorang untuk bisa menjadi khalifah harus melalui mekanisme bai'at. Inilah wujud legitimasi sesungguhnya. Khalifah pun tidak kebal hukum karena kedaulatan ada pada hukum syara yang merupakan hukum Allah, Pemilik alam semesta dan manusia. Allohu'alam bishshowab.[]
Post Comment
Tidak ada komentar