Suksesi Kepemimpinan Demokrasi Buruk : Saatnya Buang Dan Hempaskaan
Oleh: Meti Nur Hidayah,S.Pt
Mediaoposisi.com- Gelaran pesta demokrasi di Indonesia yakni Pemilu 2019 telah berlangsung. Pemilu serentak menghadirkan lima pemilihan sekaligus mulai dari Presiden-Wakil Presiden, DPRD RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan DPD RI. Gongnya pada Rabu, 17 April 2019 ditandai dengan pencoblosan serentak di 800 ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sistem pemilu yang digadang-gadang bisa meningkatkan efisien baik dari segi waktu maupun biaya. Menurut Aggota DPR F-PDI Arif Wibowo, pemilu serentak mampu menghemat sekitar Rp 150 triliun, atau sepersepuluh APBN dan APBD. Namun alih-alih berlangsung sesuai target dan harapan, justru sistem Pemilu 2019 serentak kali ini menorehkan sejumlah catatan yang sangat memprihatinkan.
Saat ini kita menyaksikan bagaimana sistem demokrasi dengan pemilunya memilih pemimpin dan mekanisme pemilihannya melalui proses suksesi kepemimpinan yang begitu rumit, tidak efektif, melelahkan bahkan sampai memakan korban. Banyak pihak menilai proses pemilu 2019 berjalan tidak efektif, menelan biaya namun tetap terjadi banyak kecurangan dan kekisruhan.
Direktur Jendral Politik dan Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri Soedarmo mengakui bahwa pelaksanakan Pemilu 2019 terdapat kekurangan, kelemahan dalam pelaksanaannya baik dalam negeri maupun luar negeri. Komisioner KPU Ilham Saputra juga menuturkan bahwa sistem pemilu serentak kali ini mengakibatkan tingkat kelelahan yang luar biasa pada penyelenggara pemilu di tingkat bawah. (https://nasional.kompas.com)
Wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno menyatakan penilaiannya soal pelaksaanan pemilu kali ini yaitu munculnya fenomena banyaknya anggota keluarga yang harus kehilangan orang tua dan sanak saudara. Lebih dari 600 petugas penyelenggara pemilu wafat, lebih dari 3.000 orang dirawat. (https://republika.co.id)
Sisi yang lain pembiayaan proses pemilu juga mengalami kekacauan, ini terbukti dari munculnya gelombang demonstrasi Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sejumlah daerah menuntut pembayaran honor yang belum dipenuhi oleh pemerintah. Padahal alokasi dana yang disediakan oleh pemerintah untuk proses pemilu ini tidaklah bisa dikatakan murah. Sebanyak 24,9 triliun rupiah digelontorkan, yang ternyata pemilu 2019 menghabiskan biaya lebih besar dibandingkan pemilu 2014. (https://tirto.id)
Jika mekanisme suksesi kepemimpinan dalam sistem demokrasi yang begitu buruk maka sudah tentu akan menghantarkan lahirnya tipe pemimpin yang buruk. Pemimpin dalam demokrasi tdak memiliki kriteria dengan standar yang tetap, karena siapa saja yang memiliki modal bisa menjadi penguasa.
Menjelang pemilihan pemimpin tak sedikit paslon rela menggelontorkan dana yang banyak hanya demi mereka dipilih oleh rakyat dan menjadi pemenang. Walhasil saat berhasil dipastikan masa jabatannya dipergunakan untuk menggembalikan modal yang telah dikeluarkan. Tak jarang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemimpin tersebut pada akhirnya hanya untuk mencari keuntungan semata, tanpa memperhatikan kemaslahatan rakyatnya.
Berbeda dengan sistem demokrasi, dalam Islam mekanisme suksesi kepemimpinan sangat simpel, mudah, efisien dan tidak bertele-tele. Esensi pemimpin dipilih berdasarkan kesanggupan menerapkan syariat kaffah. Seorang pemimpin dalam Islam merupakan pilar penegakan hampir di seluruh syariah Islam.
Kedudukan pemimpin menjadi hak bagi mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan. Ia merupakan area orang-orang istimewa (wilayatul khoshoh) yang lahir dari proses pengkaderan partai-partai Islam.
Sejarah membuktikan bahwa sepanjang kejayaan Islam kaum muslimin telah mengalami pergiliran (suksesi) kepemimpinan lebih dari 100 kepemimpinan. Dimulai dari zaman Rasulullah wafat digantikan Abu Bakar dan seterusnya, namun selama rentang waktu itu pulalah tidak sama sekali ditemukan kerumitan-kerumitan dalam proses suksesi kepemimpinan.
Berpindahnya kepemimpinan saat Rasulullah wafat kepada Abu Bakar dilalui dengan proses yang mudah. Dimana sebagian kaum muslimin bersegera berkumpul di Tsaqifah bani Saidah untuk berdiskusi menentukan pengganti Rasulullah.
Jatuhlah keputusan diskusi yaitu dengan di baiatnya Abu Bakar dengan baiat in�iqod sebagai pemimpin kaum muslimin (Kholifah). Alasan kuatnya adalah bahwa Abu Bakar adalah orang terbaik setelah Rasulullah. Kemudian hari kedua ,kaum muslimin melakukan baiat taat di Masjid Nabawi.
Sesaat sebelum meninggalnya, Abu Bakar bermusyawarah dengan kaum muslimin meminta pendapat tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslimin sepeninggalnya. Maka terjadilah suksesi kepemimpinan dengan cepat begitu Abu Bakar wafat.
Hal ini ditandai dengan dibaiatnya Umar oleh kaum muslimin di Masjid Nabawi untuk memangku jabatan Khalifah. Alasan kuatnya dipilih adalah bahwa Umar orang terbaik dari kaum muslimin yang sebelumnya menjabat sebagai wazir bagi Khalifah Abu Bakar. Pun wazir dunia dan akhirat bagi Rasulullah.
Begitupun suksesi kepemimpinan dari Umar kepada Utsman, Utsman kepada Ali dilalaui dengan cepat, mudah dan efektif. Memilih orang terbaik untuk menggantikan orang terbaik dengan sistem yang simpel. Yang dengan mekanismenya mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan amanah serta membawa dunia berada dalam peradaban emas dan penuh kebaikan.
Jikalau sejarah sudah sedemikian jelasnya, ketaatan dan ketakwaan kepada Sang pemilik duniapun menuntut pembuktian. Masihkah kita bertahan berkubang dengan sistem demokrasi yang buruk, rusak dan merusak baik dalam memilih pemimpin dan suksesi kepemimpinan serta dalam semua sendi kehidupan ?
Sudah saatnya kita kembali kepada kepemimpinan Islam dan mekanisme suksesi pemimpin yang dikehendaki oleh Allah pemilik alam raya ini. Mengatur setiap sendi kehidupan dengan ketetapan-Nya. Kemudian bersegera menghempaskan, membuang sistem demokrasi secara total. [MO/ra]
Post Comment
Tidak ada komentar