Khilafah Menjaga Keberagaman
Oleh: Nurul MP
(Dosen dan Ibu dari 3 anak)
Mediaoposisi.com-Keberhasilan Islam dapat meleburkan rakyat yang hidup di bawah naungan negara khilafah, meski mereka sangat heterogen dan majemuk. Mereka dilebur dalam satu wadah, masyarakat dan negara.
Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant, dalam the Story of Civilization, ketika menggambarkan bagaimana keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayyah. Waktu itu orang-orang Yahudi yang ditindas oleh Romawi, membantu kaum Muslim yang datang untuk membebaskan Spanyol. Mereka hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M.
Para pemuda Kristen yang dianugerahi kecerdasan pun mempelajari fikih dan bahasa Arab bukan untuk mengkritik atau meruntuhkannya, tetapi untuk mendalami keindahan gaya bahasanya yang luar biasa. Mereka pun membelanjakan banyak uang mereka untuk memenuhi perpustakaan mereka dengan referensi Islam dan bahasa Arab. [Will Durant, Qishat al-Hadharah, juz XIII/296-297].
Setelah Rasulullah SAW wafat, seluruh Jazirah Arab masuk Islam dan tunduk di bawah aturan Islam, para Khulafa� Rasyidin mengikuti jejak beliau. Mereka membebaskan Irak yang penduduknya sangat heterogen. Ada yang beragama Nasrani, Mazdak, dan Zoroaster dan ada pula yang berbangsa Arab dan Persia. Setelah itu, Persia menyusul. Penduduknya terdiri dari orang-orang non-Arab, Yahudi dan Romawi, namun mereka memeluk agama yang dipeluk bangsa Persia.
Syam juga jatuh ke tangan para Khulafa� Rasyidin. Ketika itu, Syam adalah koloni Romawi, berperadaban Romawi dan memeluk Kristen. Penduduknya terdiri dari bangsa Suriah, Armenia, Yahudi, sebagian Romawi. Afrika Utara yang penduduknya Barbar dan di bawah kekuasaan Romawi akhirnya jatuh ke pangkuan kaum Muslim.
Setelah itu, dilanjutkan oleh khilafah-khilafah berikutnya. Menariknya, semua perbedaan itu berhasil dilebur dan diintegrasikan oleh Islam di bawah naungan khilafah. Mereka menjadi umat yang satu, yang disatukan oleh agama, bahasa, tsaqafah dan undang-undang.
Di balik kesuksesan itu, ada empat hal mendasar yang membuat proses integrasi berbagai bangsa dengan latar belakangnya yang sangat komplek itu berhasil diwujudkan yakni, perintah Islam, pembauran kaum Muslim, sebagai penakluk dengan bangsa-bangsa taklukan di tempat tinggal mereka, masuknya penduduk negeri taklukan ke dalam Islam serta orang-orang yang memeluk Islam diubah secara total dan beralih dari satu keadaan menjadi keadaan yang baru (Islam).
Khilafah adalah ide yang bersumber dari ajaran Islam yang merupakan bagian dari syariat Islam. Khilafah merupakan kewajiban syar�i bahkan merupakan induk dari semua kewajiban. Mengapa demikian? Karena tanpa adanya institusi Khilafah, banyak hukum syara� yang terlalaikan, tanpa adanya insitusi Khilafah, Islam dan umat muslim tak berdaya, lemah, dihinakan, dinistakan, dan berbagai perlakuan lainnya yang tidak sepantasnya diterima oleh umat Islam.
Namun, ketika syariah dan Khilafah disuarakan sebagai sebuah solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, banyak pihak yang menolak, baik itu dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Syariah dan Khilafah diisukan sebagai ancaman bagi keragaman, keberagaman, dan kebhinekaan. Negara Khilafah diisukan akan melakukan penyeragaman terhadap agama, budaya dan keyakinan. Padahal isu tersebut dipropagandakan secara tidak bertanggung jawab, disandarkan pada epistemologi yang rapuh, a-historis, yang bertujuan mencegah formalisasi syariah Islam dalam koridor negara.
Benarkah jika Khilafah berdiri, semua orang dipaksa memeluk agama Islam dan diiringi dengan penyeragaman budaya, pemikiran, dan pandangan hidup?
Sejak Islam tumbuh dan berkembang, Rasulullah SAW telah memberikan contoh betapa toleransi merupakan keharusan. Jauh sebelum PBB merumuskan Declaration of Human Rights, Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan beragama. Melalui Wats�qah Mad�nah pada 622 M, Rasul SAW telah meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antar umat beragama, mengakui eksistensi non-Muslim sekaligus menghormati peribadatan mereka.
Piagam Madinah yang dirumuskan Rasul SAW merupakan bukti otentik mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang dipraktikkan umat Islam. Di antara butir-butir toleransi itu adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada, tidak saling menyakiti dan saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Melalui Piagam Madinah itu, Rasul SAW sebagai kepala negara menunjukkan bukti, betapa beliau sangat menghormati agama lain. Contoh, saat Rasul SAW melihat ada rombongan orang mengusung jenazah Yahudi melewati beliau, beliau sepontan berdiri (sebagai penghormatan).
Di lain kesempatan, ketika Rasul SAW ditanya oleh para Sahabat tentang memberikan bantuan materi kepada non-Muslim, beliau menjawab, �Boleh, sebab mereka juga makhluk Allah dan Allah akan menerima sedekah kita.�
Harus diingat, toleransi Rasul di atas tidak lantas menjadikan Rasulullah SAW membenarkan apa yang menjadi keyakinan mereka. Sikap toleransi, harmonis, tolong-menolong dan kerja sama umat Islam dengan non-Muslim hanya dalam masalah muamalah keduniaan saja, tidak berhubungan dengan masalah akidah dan ibadah.
Negara khilafah tidak pernah melakukan penyeragaman (pluralisme) terhadap keragaman yang ada di tengah-tengah umat. Yang dilakukannya adalah mengikat keragaman yang ada dengan ikatan yang kokoh sehingga terbentuklah sebuah negara yang kuat dan solid. Yakni ikatan yang dibangun atas dasar permikiran, perasaan dan sistem (aturan) yang sama, bukan dibangun atas ikatan kebangsaan (nasionalisme), kesukuan atau kekeluargaan, ikatan kerohanian dan ikatan kemaslahatan (manfaat) seperti yang diterapkan oleh negara Barat saat ini.
Seberapa pun besarnya perbedaan yang ada, jika pemikiran, perasaan serta sistem yang diterapkan atas seluruh warga negara adalah sama, maka persatuan akan terwujud tanpa adanya pihak yang merasa dirugikan. Begitulah Khilafah. Khilafah berusaha untuk membangun persatuan dari keragaman yang ada, bukan menjadikan keragaman menjadi keseragaman.[MO/AS]
Post Comment
Tidak ada komentar