UU Terorisme, Efektifkah Mengatasi Hoaks?
Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Pengamat Media Sosial)
Mediaoposisi.com- Hoaks kembali menjadi perbincangan. Kali ini hoaks dikatakan sebagai ancaman pemilu 2019. Dilansir katadata.co.id (21/03/2019), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan (Polhukam) Wiranto mewacanakan penggunaan Undang-undang Nomor 5 Tahun
2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk menindak para penyebar hoaks.
Sebab, dia menilai hoaks yang kerap beredar telah menganggu keamanan dan menakuti-nakuti
masyarakat.
Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror, seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (pilpres) atau pemilu 2019. Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme. Untuk itu maka kami gunakan UU Terorisme, kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (20/3).
Menanggapi wacana di atas, sejumlah tokoh turut memberikan respon. Salah satunya berasal
dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang belum menemukan dalil jika pelaku
penyebaran berita bohong atau hoaks dijerat menggunakan UU tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme (merdeka.com, 24/03/2019).
Tokoh lainnya yang juga memberikan tanggapan adalah pakar filsafat dan politik Rocky Gerung.
Terkait hal itu, Rocky Gerung menyebut bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah orang
pertama yang harus dikenakan UU Terorisme.
Lantaran, menurutnya, Presiden lah pembuat hoaks terbanyak. Dari awal presiden sudah bikin hoaks soal Esemka. Maka, perlakukan Undang-undang Terorisme pertama pada presiden, kata Rocky Gerung. (aceh.tribunnews.com, 27/03/2019).
Terlepas dari perbedaan pendapat di antara para tokoh, sebenarnya antara hoaks dan terorisme memang terdapat perbedaan. Hoaks jamak diketahui sebagai berita bohong, informasi yang disampaikan tanpa didukung kebenaran. Sedangkan teroris merupakan satu tindakan kekerasan yang membuat orang takut korbannya, masyarakat umum membahaya jiwa dan sebagainya.
Selama ini memang banyak penyebaran hoaks, namun tidak semuanya diproses hukum.
Semakin hari bisa jadi jumlahnya semakin banyak, sehingga supaya bisa dihentikan langkah
lebih tegas perlu diambil, salah satunya dengan wacana menjerat pelaku dengan UU Terorisme.
Hanya saja langkah tersebut tidaklah tepat tatkala definisi hoaks sendiri masih ditafsirkan sesuai
kepentingan. Apa yang merugikan satu pihak dinilai hoaks, sedangkan yang menguntungkan
dibiarkan saja. Di sinilah peluang bahaya muncul. Definisi karet mengenai hoaks bisa
dimanfaatkan untuk menghantam pihak-pihak tertentu yang dipandang tak sejalan.
Terlebih bila dikaitkan dengan agenda pilpres, maka akibatnya justru berbahaya. Berita akan
dinilai hoaks atau tidak berdasarkan pengaruhnya pada nilai elektabilitas. Sehingga setiap orang
akan takut untuk meneruskan informasi.
Padahal di zaman digital saat ini, masyarakat pun sebenarnya sudah cukup cerdas untuk membedakan mana hoaks mana bukan. Masyarakat bisa melihat jejak digital untuk mengetahui apa yang dikatakan saat ini sesuai tidak dengan ucapan sebelumnya.
Dari sinilah maka menindak pelaku hoaks dengan menggunakan UU tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Sebab hoaks bermain di ranah dunia maya, media sosial. Sudah ada
tim cyber crime yang sebenarnya ditempatkan. Sudah ada UU ITE yang dijadikan sebagai
regulasi bermedia sosial. Sekiranya diindahkan semua pihak, niscaya hoaks tidak lagi ada.
Sementara itu UU Terorisme lebih pas disajikan bagi pelaku yang mengancam, menakutkan,
dan memakan korban secara fisik. Kasus terorisme di Papua yang telah memakan banyak
korban lah yang seharusnya dijerat UU Terorisme ini. Sehingga penggunaannya tepat sesuai
sasaran. Bisa lebih efektif dari sisi tindakan.
Jikapun wacana menjerat pelaku hoaks dengan UU Terorisme ini dilatarbelakangi oleh
kepentingan kemenangan pemilu, maka alangkah indahnya jika kita merenungkan bersama
ajaran Islam terkait kasus tersebut.
Islam mengharamkan hoaks, oleh siapapun kepada siapapun dan untuk kepentingan apapun. Namun Islam membolehkan seseorang untuk berkuasa menjadi pemimpin.
Artinya Islam tidak membenarkan jika ingin berkuasa lalu ada yang menebar hoaks agar pihak
lawan kalah. Dalam Islam kekuasaan juga bukan segalanya, tak perlu diraih dengan segala cara
tanpa peduli halal haramnya. Kekuasaan adalah sesuatu yang berat dalam hal tanggung jawab.
Sebab Islam menjadikan penguasa sebagai periayah/pemelihara urusan umat.
Semua aktivitas selama menjadi periayah akan dihisab secara detail. Tidak bisa sembarangan.
Sehingga tidak semua orang siap menjadi penguasa. Mereka yang taqwa nya kuat akan berpikir
ulang, sebab Rasulullah pernah berdoa:
"Ya Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong pulalah dia.� (HR Ahmad dan Muslim dari Aisyah). [MO/ra]
Post Comment
Tidak ada komentar