Karhutla, Problem Klasik Rezim Neolib
Oleh: Ifa Mufida
( Pemerhati Masalah Sosial)
Kenyataan ini berbanding terbalik dengan statement Presiden Indonesia sekaligus Capres nomor urut 01, beliau menyatakan bahwa tidak ada kebakaran hutan selama 3 tahun terkahir pada debat kedua pilpres 2019 yang berlangsung pada Ahad (17/2/2019). Namun statement tersebut ditanggapi Greenpeace Indonesia, lantas menuliskan bantahannya melalui kicauan di akun Twitter @GreenpeaceID. Greenpeace mengungkapkan bahwa faktanya kebaran hutan besar terjadi pada 2015 dan masih terus terjadi hingga saat ini. Bahkan sampai hari ini pun masih terjadi kebakaran hutan dan berakibat fatal bagi warga sekitar.
Terbantahkan sudah klaim petahana menanggapi isu tersebut. Sebaliknya fakta yang terindra tidak semanis janji, hanya omong kosong belaka. Nyatanya karhutla masih terus terulang. Terjadinya karhutla yang terus berulang menjadi bukti, rezim dengan berbagai program neolibnya gagal mengatasi kebakaran hutan dan lahan gambut. Kalau diamati lebih jauh, harus diakui bahwa pemerintah memiliki peran sentral terjadinya karhutla ini. Pasalnya, pemerintah lah yang telah memberikan hak konsesi kepada sejumlah perusahaan kelapa sawit. Padahal, betapa bahanyanya tindakan pemerintah yang memfasilitasi kapitalisasi lahan dan hutan gambut ini dengan pemberian hak konsesi kepada sejumlah korporasi sawit. Bahkan tindakan ini dikategori sebagai pintu kejahatan. Pasalnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun ini pun puluhan hingga ratusan titik api ditemukan justru di wilayah konsesi.
Dalam kondisi perekonomian kapitalis yang serba liberal saat ini, dengan alasan demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta. Padahal itulah yang menjadi salah satu akar masalahnya. Akibat diserahkan kepada swasta, pihak swasta akan berusaha mencari cara termurah tapi menguntungkan saat melakukan pengolahan lahan gambut. Maka tak heran jika pembakaran hutan menjadi pilihan untuk mengawali pembukaan lahan guna mengembangkan usahanya. Apakah itu akan merugikan rakyat sekitarnya ataukah akan merusak alam dan kesimbangan ekosistem, hal itu tak lagi dipersoalkan. Di sinilah, bahaya yang muncul yang seharusnya bisa dicegah. Maka jika masih berada dalam paradigma kapitalis yang masih mengedepankan keuntungan semata, karhutla mustahil bisa diakhiri secara tuntas.
Tragisnya lagi, meski sudah begitu nyata dampak dan bahayanya, pemerintah justru mendukung korporasi milik lahan sawit berskala besar. Korporasi tersebut meliputi Wilmar Group, Darmex Agro Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC). Bahkan, berdasarkan data yang diperoleh CNNIndonesia.com, Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp4,16 triliun. Padahal, setoran yang diberikan Wilmar Group hanya senilai Rp1,32 triliun.
Ada dua tindakan berbahaya yang dilakukan rezim neoliberal, yakni pemberian hak konsesi, dan diadopsinya agenda hegemoni Climate Change berkontribusi satu sama lain menjadi biang penyebab petaka Karhutla. Dua tindakan ini juga sekaligus mencerminkan bahwa rezim hari ini adalah pelayan korporasi dan kepentingan kafir penjajah. Buah pahit ketika rezim hadir sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme.
Jika para ahli dan aktivis lingkungan telah menilai akar masalah dari kebakaran lahan adalah kerusakan ekosistem lahan gambut, yakni karena terjadi alih fungsi di lahan yang sangat mudah terbakar, maka solusi pencegahan untuk masalah kabut asap ini adalah berupa pengelolaan lahan gambut dengan tepat. Lahan gambut adalah karunia Allah, maka kembalikan pengelolaannya sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya bukan disesuaikan dengan kepentingan liberal. Saat ini, penguasaan dan pengerukan kekayaan hanya oleh segelintir orang saja sebagaimana fakta yang selama ini terbaca.
Di dalam pandangan Islam, hutan dan lahan gambut yang memiliki fungsi ekologi penting bagi kehidupan orang banyak sehingga dikategorikan sebagai harta milik umum. Rasulullah Saw bersabda yang artinya, �Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api� (HR Abu Dawud dan Ahmad). Negara berfungsi sebagai raa�in (pemeliharan urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut sehingga hak setiap individu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya.
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh pemerintah untuk kemaslahatan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian, keuntungan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secara seimbang. Dalam hal ini pemerintah juga perlu untuk mendidik dan membangun kesadaran masyarakat guna berpartisipasi mewujudkan kelestarian hutan, agar manfaatnya dapat terus dirasakan oleh generasi berikutnya.
Adapun secara teknis, Islam menetapkan bahwa pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu yang mendukung terlaksananya tata kelola hutan (terutama hutan gambut yang dimiliki Indonesia) dengan baik. Pemanfaatan hutan dan lahan gambut serta pemulihan fungsinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, teknologi, studi, keahlian dan berbagai aspek lain yang sulit jika disandarkan pada individu. Sebab, pengelolaan harta milik umum yang bila diserahkan pada individu akan berujung pada berbagai kesulitan. Dengan demikian, negara tidak dibenarkan hanya hadir sebagai regulator, pemberi perizinan, sementara operator dan pengelolaannya diserahkan pada pihak swasta, apa lagi swasta asing. Akan tetapi negara wajib hadir dalam wujud bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan, khususnya lahan gambut.
Ini di satu sisi pemerintah adalah yang bertanggung jawab sebagai pengatur (Raa'in). Di sisi lain, negara berfungsinya sebagai junnah (tameng). Khususnya tameng bagi hutan dan lahan gambut yang merupakan harta publik dari agenda hegemoni Climate Change. Penerapan pandangan Islam ini menjadi kunci solusi persoalan menahun karhutla. Hal ini mengharuskan kehadiran rezim sebagai pelaksana syari�ah secara menyeluruh. Wallahu A'lam bi showab. [MO/vp]
Tidak ada komentar