Jokowi Dihukum, Survei Diragukan
SURVEI elektabilitas mendekati Pilpres ini semakin riuh. Dari penetapan angka elektabilitas yang terlihat nekat, hingga yang agak lunak disajikan di hadapan publik.
Angka elektabilitas memang menggiurkan, tetapi bukanlah penentu kemenangan.
Dalam realitas, justru angka elektabilitas yang dihitung oleh lembaga survei itu, sangat bertentangan. Lalu siapa yang diwawancara oleh lembaga survei?
Dalam melakukan survei tentu ada mekanismenya, mengacak responden hingga teknik pertanyaan pada kuesioner yang dibuat oleh lembaga survei.
Kita menghargai kerja itu. Tetapi yang patut dipertanyakan adalah integritas lembaga survei itu. Saya pernah membaca sebuah hasil survei di salah satu daerah. Ada dua pertanyaan yang menjadi perhatian saya, yaitu:
Pertama, "kalau Pilpres dilaksanakan pada hari ini (survei Februari-Maret 2019) siapakah presiden yang anda pilih?" Jawabannya sekitar 41 persen memilih Jokowi, sedangkan memilih Prabowo sekitar sekitar 35 persen.
Kedua, ketika ditanya, "apakah anda setuju dengan gerakan 2019 Ganti Presiden?" jawabannya yang setuju 44 persen.
Kalau memang responden menyatakan setuju 2019 ganti Presiden kenapa Prabowo hanya memperoleh 35 persen. Maka muncul pertanyaan baru apakah sebagian dari yang setuju gerakan 2019 Ganti Presiden memilih Jokowi?
Hasil survei seperti ini sangat mengherankan. Kadang terdapat kontradiksi antara realitas dengan hitungan angka. Tetapi kita maklum, bahwa survei itu butuh dana, dan itu memungkinkan harus menetapkan angka sesuai dengan kebutuhan donatur.
Tetapi bagi saya pekerjaan seperti itu merusak integritas lembaga survei, yang dalam pemilu-pemilu sebelumnya masih dipercaya oleh masyarakat. Hasil lembaga survei seperti ini juga yang akan ikut melegitimasi terjadi kecurangan. Maka lembaga survei akan menjadi kaki tangan bagi mereka yang ingin melakukan kecurangan untuk memanipulasi perolehan suara di lapangan.
Ini juga sebenarnya merupakan ancaman bagi Pemilu yang serius sekali. Karena hasil survei yang diragukan kebenarannya itu, akan dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi perolehan suara secara tidak sah.
Tetapi ada yang berbeda, dari survei yang sering dirilis LSI Denny JA yang selalu rutin menghitung angka elektabilitas Jokowi. Survey terbaru Litbang Kompas pada 22 Februari 2019-5 Maret 2019 menunjukkan kenaikan suara signifikan untuk pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Elektabilitas pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 itu naik 4,7 persen dalam enam bulan, dari 32,7 persen pada Oktober 2018 menjadi 37,4 persen pada survei kali ini.
Sebaliknya, elektabilitas rivalnya Joko Widodo-Ma'ruf Amin turun 3,4 persen, dari 52,6 persen pada Oktober 2018 menjadi 49,2 persen. Selisih suara di antara kedua pasangan menyempit menjadi 11,8 persen.
Angka Survey ini patut kita apresiasi, meskipun kalau kita melihat realitas lapangan justru membuktikan bahwa kekuatan rakyat di bawah menghendaki Prabowo dan Sandi untuk memimpin Indonesia.
Terbukti dari ratusan bahkan ribuan kunjungan 02, pemerimaan dan antusias rakyat dengan lautan manusia yang berkumpul harusnya menyadarkan Lembaga Survey untuk tidak terlalu nekat merilis angka yang melawan realitas.
Meskipun survey dibiayai oleh pihak tertentu, haruslah juga jujur dalam mengumumkan angka elektabilitas. Jadi agak mengherankan kalau dalam survei justru terbalik dengan realitas yang sesungguhnya terjadi.
Itulah sebabnya, survei akhir-akhir ini tidak memiliki pengaruh apapun. Seharusnya ini menjadi bahan evaluasi bagi lembaga survei, yang mengambil bagi sebagai "tim angka" bagi pasangan calon.
Menurut saya, mendramatisir angka survey bukanlah cara yang baik dalam demokrasi, justru ini mengacaukan demokrasi kita. Apalagi rutinitas lembaga survei akhir-akhir ini hanya menjadi "tukang" penyusun angka elektabilitas petahana yang sedang berada pada angka yang mengkhawatirkan.
Apalagi waktu semakin mendekati pemilu, elektabilitas petahana sedang dalam titik yang mengkhawatirkan, perbedaan angka elektabilitas dengan penantangpum semakin menipis. Dan ini merupakan hukuman secara tidak langsung dari rakyat kepada Jokowi.
Posisi petahana di bawah 50 persen mendekati pemilu adalah posisi yang sangat tidak aman dan ini artinya, kemungkinan besar Jokowi akan terjungkal dalam Pilpres 2019.
Dengan beberapa survei terakhir yang dirilis oleh lembaga survei, seperti Polmark memperlihatkan bahwa petahana memang sudah dalam situasi terpuruk. Apalagi dalam berbagai kesempatan penerimaan rakyat semakin meningkat dan lautan manusia menyambut Prabowo Sandi.
Bahkan dalam survei internal BPN, Prabowo Sandi telah melampaui Jokowi. Berarti memang dalam angka-angka ini bukan hanya di lembaga survei yang dianggap tidak independen, tetapi juga dalam survei internal, angka itu sudah menandakan lonceng kekalahan bagi Jokowi.
Artinya, Jokowi sedang dalam keadaan terpuruk dan ini merupakan akhir dari kekuasaannya. Sebab kenyataan riil lapangan memperlihatkan ada semacam hukuman langsung rakyat kepada Jokowi. Hukuman itu berupa keberanian menyatakan sikap politik bagi para pegawai kecil tingkat daerah untuk tidak lagi mendukung Jokowi meskipun mereka harus kehilangan pekerjaan.
Itu merupakan contoh kecil dari hukuman rakyat itu. Hukuman yang lebih besar yang datang dari rakyat adalah memilih tidak meramaikan acara yang dihadiri oleh Jokowi. Ini mengakibatkan acara-acara yang diadakan oleh calon petahana sepi. Dan hukuman ini akan berlanjut dengan tidak akan mencoblos Jokowi pada 17 April nanti.
Ini membuktikan bahwa Jokowi tidak punya track record yang jelas dalam membangun kesejahteraan bagi masyarakat. Sebab, janji-janji yang diucapkan oleh Jokowi tidak dilaksanakan sebagaimana yang diucapkan. Kalau Jokowi benar berhasil sebagaimana yang dipujikan oleh penggemarnya, maka tidak susah untuk mengkampanyekan apa yang dilakukannya.
Empat tahun memerintah adalah kampanye tidak langsung Jokowi untuk merebut hati rakyat dengan kebijakannya. Dengan angka statistik yang pemerintah pegang, media yang dikendalikan, dan lain sebagainya, seharusnya posisi Jokowi mendekati pemilu berada di atas 50 persen. Namun mendekati pemilu, malah angka swing voters dan undicided voters semakin meningkat dan elektabilitas jokowi semakin ambruk.
Bahkan, beberapa lembaga-lembaga survei disinyalir memihak kepada jokowi dengan tugas untuk menghitung angka elektabilitas. Sehingga independensi lembaga survey patut dipertanyakan juga oleh publik, jangan sampai karena keberpihakan, membuat angka survey tidak akurat. Hal tersebut terbukti dari beberapa pilkada yang dilaksanakan tahun 2018 yang lalu.
Contoh yang paling konkrit adalah Pilkada DKI tahun 2017, Pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah. Angka survei dengan kenyataan dilapangan berbeda jauh. Seharusnya itu menyadarkan Lembaga Survey untuk tidak terlalu nekat merilis angka yang sesungguhnya diragukan kebenarannya.
Dramatisasi angka itu seharusnya berakhir dalam kehidupan politik kita. Dalam angka survei akhir-akhir ini, Sepertinya, memang tidak bisa dimanipulasi sedramatis mungkin realitas politik yang berkembang di masyarakat. Karena realitas itu, lembaga survei harus berani menyatakan kemerosotan elektabilitas petahana, dan pada kenyataannya petahana memang sedang dalam suasana "galau" karena hal ini.
Karena itulah muncul kekhawatiran, yang menyebabkan beberapa langkah diambil. Situasi ini melahirkan narasi perang total dikumandangkan. Perang total adalah jalan terakhir untuk menggerakkan segala kekuasaan dan modal yang dimiliki. Apapun caranya semua harus digerakkan, instrumen hukum maupun instrumen politik digunakan. Sisa amunisi dipakai, untuk menyelamatkan diri dari kekalahan.
Menggunakan istilah perang total adalah lonceng kekalahan. Bahkan karena khawatir untuk kalah memaksa pihak-pihak untuk melakukan pelanggaran tertentu. Ini terbuka peluang terjadinya pelanggaran terstruktur, massif dan sistematis. Pelanggaran ini akan menyebabkan hasil pemilu bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi apabila terbukti.
Dengan perang total dan menggerakan segala instrumen hukum maupun kekuasaan yang ada, merupakan satu bentuk kepanikan yang tinggi dari petahana. Sehingga tidak berlebihan kalau kita mengatakan, bahwa petahana berada di ujung tanduk dan kekalahan semakin mendekati petahana.
Apalagi di media sosial, gerakan rakyat yang ingin perubahan, meluluhlantakkan buzzer penguasa dan mereka semua "gulung tikar" menghadapi kekuatan rakyat di media sosial. Tidak heran media sosial telah menjadi bagian penting untuk rakyat mengajak teman-temannya yang masih belum menentukan pilihan untuk memilih 02.
Yang terakhir, melihat fenomena semangat perubahan, yang muncul ditengah-tengah masyarakat, Maka saya, dan anda semua Yakin bahwa 17 April 2019 adalah kemenangan rakyat Indonesia yang inginkan perubahan, ditengah kemandekan kemajuan bangsa akibat kepemimpinan yang salah.
Oleh karena itu, mari kita jaga TPS dan hasil Pemilu 2019 untuk menuju Indonesia Adil dan Makmur. Jangan lengah sebab ancaman pelanggaran semakin nyata, Maka tugas kita bersama untuk menjaga suara rakyat dari berbagai manipulasi.
Dr. Ahmad Yani, SH. MH.
Caleg DPR RI PBB, Dapil 1- Jakarta Timur
SUMBER
Tidak ada komentar