Pidato Kenegaraan Umar bin Abdul Aziz Saat Jadi Khalifah
Ragam prestasi berhasil ditorehkan oleh Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Terlebih sejak diangkat sebagai khalifah Dinasti Umayyah menggantikan Sulaiman bin Abd Malik, pada Jumat, 11 Shafar 99 H. Rekam jejaknya sebagai pemimpin yang adil tercatat dengan apik dalam sejarah. Namun, bagaimanakanh kisah di balik pembaiatannya sebagai khalifah?
Putra dari Abd al-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir pada masa Dinasti Umayyah itu, dipilih bukan lantaran ia putra dari khalifah. Keterpilihannya tak terlepas dari sepak terjang yang positif, bahkan ia menjadi teladan yang disegani pada masa itu. Ia mendapat penunjukan langsung lewat wasiat yang ditulis oleh Khalifah Dinasti Umayyah, Sulaiman bin Abd al-Malik.
Seorang ulama yang juga penasihat khalifah, Raja' bin Haiwah, mengisahkan bagaimana proses di balik penunjukan itu terjadi. Proses tersebut terjadi ketika Sulaiman tengah ditimpa sakit parah.
Sebelum memutuskan pilihannya kepada Umar bis Abd al-Aziz, ada beberapa nama yang muncul, yaitu Ayyub dan Dawud bin Sulaiman yang tak lain adalah putranya, serta Yazid bin Abd al-Malik. Bahkan, ia sempat menulis surat untuk Ayyub.
Sayang, Ayyub dinilai belum pantas lantaran usianya yang masih dianggap belum dewasa. Ketika itu ia sempat menulis wasiat, tetapi akhirnya dibatalkan. Sulaiman membakar surat tersebut. Raja' memberikan nasihat agar ia mempertimbangkan secara matang tentang sosok penggantinya. "Di antara kebaikan seseorang yang mengalir ke kuburannya adalah bahwa dia mengangkat orang saleh sesudahnya," kata Raja'.
Sulaiman mempertimbangkan nasihat ulama tersebut. Setelah beristikharah, keduanya pun kembali berdiskusi. Nama Dawud diperbincangkan, tetapi kembali tidak masuk ke dalam opsi. Sebab, ketika itu Dawud masih berada di Konstantinopel untuk sebuah misi. Tak ada yang tahu seperti apa kondisinya, termasuk sang ayah, Sulaiman. "Anda sendiri tidak tahu dia masih hidup atau sudah wafat," tutur Raja'.
Di detik-detik itulah, kemudian atas kehendak Allah SWT nama Umar bin Abd al-Aziz mengemuka. "Bagaimana menurutmu sosok Umar?" tanya Sulaiman kepada Raja'. Siapa yang tak kenal sosok Umar bin Abd al-Aziz? Semua mengakui kredibilitasnya dan integritasnya. Tak terkecuali bagi kalangan cendekiawan seperti Raja'. "Demi Allah, yang aku tahu bahwa dia adalah laki-laki yang utama, Muslim pilihan," ungkapnya. Akhirnya, jatuhlah pilihan ke sosok yang lahir di Madinah tersebut.
Sebelum wafat pada 99 H, akhirnya Sulaiman memutuskan untuk menulis wasiat dengan tangannya sendiri. Redaksi wasiat itu berbunyi: "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat wasiat Sulaiman bin Abd al-Malik, Amirul Mukminin, untuk Umar bin Abd al-Aziz. Sesungguhnya aku menyerahkan jabatan khalifah kepadanya sesudahku, dan sesudahnya kepada Yazid bin Abd al-Malik. Dengarkanlah dan taatilah, bertakwalah kepada Allah, janganlah berselisih, karena musuh-musuh kalian akan berharap mengalahkan kalian."
Lalu Sulaiman menstempel surat tersebut dan menyerahkan pada Raja'. Sebelum Sulaiman wafat, ia berpesan kepada keluarganya agar menaati surat wasiat yang telah ia tulis.
Akan tetapi, mendengar isi surat tersebut, Umar justru terkejut bukan kepalang. Ia bahkan mencoba menolak wasiat itu karena ia bukan sosok yang haus jabatan. Di atas mimbar, di hadapan segenap warga, ia bertutur, �Jamaah sekalian, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini, tanpa dimintai pendapat, tidak pernah ditanya dan tidak pula ada musyawarah dengan kaum muslimin. Aku telah membatalkan baiat untukku. Sekarang pilihlah seseorang untuk memimpin kalian."
Namun orang-orang serentak menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, kami telah memilihmu, kami menerimamu, silakan pimpin kami dengan kebaikan dan keberkahan." Saat itulah Umar sadar dirinya tak bisa menghindar dari tanggung jawab sebagai khalifah. Ia diangkat sebagai khalifah pada Jumat 11 Shafar 99 H. Selama masa pemerintahannya, 717 - 720 M, ia sukses mencatat segudang prestasi, di antaranya pemerataan kesejahteraan.
Umar menjelaskan, kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan melalui pidato kenegaraannya. "Ketahuilah, apa yang Allah halalkan adalah halal sampai hari kiamat. Aku bukanlah seorang hakim, aku hanyalah pelaksana, dan aku bukanlah pelaku bid'ah melainkan aku adalah pengikut sunah. Tidak ada hak bagi siapa pun untuk ditaati dalam kemaksiatan. Ketahuilah! Aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, aku hanyalah seorang laki-laki bagian dari kalian, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta'ala memberiku beban yang lebih berat dibanding kalian."
Kepada kaum muslimin yang mendukungnya, ia juga menerangkan lima hal dalam kepemimpinannya. Pertama, ia berharap selalu menerima informasi akurat perihal kebutuhan rakyatnya. Kedua, ia berharap selalu ada bantuan untuknya sebatas kemampuan yang ada. Ketiga, ia berharap selalu ditunjukkan jalan kebaikan dari orang-orang di sekitarnya. Keempat, tidak ada ghibah terhadap rakyat. Dan kelima, jangan menyangkal atau mencampuri urusan Umar, jika bukan kepentingannya.
Umar kembali berujar pada rakyatnya agar terus bertawakal kepada Allah SWT. Selalu beramal untuk akhirat, karena niscaya Allah juga akan mencukupkan kehidupan dunianya. "Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang Tuhannya, tidak tentang Nabinya, tidak tentang kitabnya, akan tetapi umat ini berselisih karena dinar dan dirham. Sesungguhnya aku, demi Allah, tidak akan memberikan yang batil kepada seseorang dan tidak akan menghalangi hak seseorang," lanjutnya.
Dia meninggikan suaranya dan kembali menerangkan seorang pemimpin yang taat kepada Allah, maka ia wajib ditaati. Namun, seorang pemimpin mendurhakai perintah Allah, maka tidak ada alasan rakyak menaatinya. "Taatilah aku selama aku (memerintahkan untuk) menaati Allah. Namun jika (perintahku) mendurhakai-Nya, maka kalian tidak boleh taat dalam hal itu.� tambah Umar sebelum ia turun dari mimbar.(ROL)
Tidak ada komentar