Breaking News

'TAK ADA PRESTASI' PRESIDEN JOKOWI KECUALI 'BIKIN TOL DAN MENJADI IMAM SHOLAT'



Oleh: Nasrudin Joha 

Sulit untuk mengeksploitasi prestasi pemerintahan untuk menunjukan tuan Presiden berhasil memimpin negeri ini. Dari sektor ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, apalagi kebebasan berdakwah, berserikat dan berkumpul, nyaris tak ada yang mampu dibanggakan. 

Jika mau diinventarisasi, tuan Presiden lebih lekat menisbatkan diri sebagai seorang pemimpin yang represif dan anti Islam. Deretan nama-nama seperti Habib Muhammad Rizq Syihab, Ust Alfian Tanjung, Habib Bahar, Gus Nur, Jon Ru, Asma Dewi, Ahmad Dani, menunjukan betapa rezim begitu represif dalam menindak setiap ujaran berbeda.

Pada saat yang sama, berkeliaran dan bebasnya Fictor laiskodat, Ade Armando, Cornelis, Sukmawati, Guntur Romli hingga si kudis Abu Janda, makin mengokohkan gelar represifnya tuan Presiden. Ini bukan penegakan hukum, tapi upaya membungkam lawan politik dan melindungi barisan pro Jokowi, menggunakan sarana hukum.

Jika hukum benar-benar ditegakkan, seharusnya Anak China yang menghina Tuan Presiden yang lebih dahulu di penjarakan, bukan Habib Bahar. Jika fair, harusnya Fictor laiskodat dan Sukmawati yang diseret ke meja hijau, bukan malah memburu HRS. Lepasnya si Kudis Abu Janda, semakin mengkonfirmasi bagaimana rezim menggunakan sarana hukum untuk mempraktikkan diktatorisme, menindas lawan politik dan siap menjadi bungker penyelamat barisan pro rezim.

Adapun kriminalisasi terhadap ajaran Islam khilafah, simbol Islam bendera tauhid, pembubaran pengajian, pembubaran ormas Islam, yang marak terjadi di era mr Jokowi semakin menguatkan posisi rezim yang anti Islam. Aduan umat Islam dikesampingkan, bahkan meminta pengukuhan bendera tauhid sebagai bendera umat Islam agar tak ada lagi oknum yang membakar bendera tauhid dengan dalih bendera ormas, juga tidak diluluskan.

Kalau mau mengukur prestasi di bidang ekonomi, sulit sekali mencari prestasi Jokowi. Hutang negara menggunung, pengangguran meningkat, rupiah melemah, pertumbuhan ekonomi stagnan bahkan menurun diangka 5 %, tarif listrik naik, BBM naik, harga kebutuhan hidup naik, namun harga sawit dan karet justru turun.

Terakhir, tuan Presiden sempat keluarkan 'dekrit' tanam petai dan jengkol sebagai solusi cespleng atas rendahnya harga sawit. Dihadapan kamera, tuan Presiden begitu bangga menawarkan solusi petai dan jengkol, untuk memecah kebuntuan para petani yang nyesek dadanya karena harga sawit murah.

Karena itu, tidak ada cara lain kecuali mengarahkan setiap kamera, dengan sudutnya pandang yang pas, ke arah  jalan tol dan pose Imam sholat, sehingga diharapkan menjadi sesuatu dan sebuah booming. Sudut kamera telah dibatasi, hanya difokuskan untuk menangkap objek 'Selebrasi bangun Tol dan Mengabadikan Momen Sholat'.

Arah bidikan kamera, haram ditujukan untuk mengabadikan kesenjangan sosial, kesulitan rakyat, kemarahan rakyat, bahkan hingga untuk memotret lebih jelas kondisi korban Tsunami. Kamera yang berada di area bencana, justru sibuk mengabadikan momen tuan Presiden sedang menatap kosong ke arah laut, layaknya praweding.

Karena itu, wajar jika ruang informasi di jejaring sosial media dijejali dengan foto-foto tuan Presiden sedang asyik sholat dan bercengkrama dengan tol. Hiruk pikuk bencana, hanya ditanggapi dengan solusi 'status bencana kabupaten'. Bencana yang karib dan mengulang, tidak juga membuat tuan Presiden tanggap hingga alat deteksi dini tsunami (Buol) sampai saat ini masih menjadi kendala.

Oh tuan Presiden berhentilah bercitra, kami rindu diakhir masa jabatan Anda berbuat kongkrit untuk rakyat. Nyawa rakyat menjadi taruhan pada setiap terjadi bencana, segeralah membuat Legacy politik diakhir jabatan agar Anda dikenang rakyat. Meskipun Anda tidak akan dipilih lagi, tapi setidaknya rakyat telah memaafkan dosa-dosa Anda. [DM].

Tidak ada komentar