Breaking News

Buya Hamka, Lawan Politik yang Jadi Imam Terakhir Sukarno

PADA akhir pemerintahan Orde Lama, politik di Indonesia mulai gonjang-ganjing. Sukarno yang menjadi presiden kala itu menangkap lawan-lawan politiknya. Buya Hamka adalah salah satu korbannya. Ia bersama M. Natsir, Syafruddin, M. Roem ditahan oleh Pemimpin Besar Revolusi itu.

Waktu berjalan, pemerintahan Orde Lama runtuh digantikan Orde Baru. Januari 1966 Buya Hamka pun bebas dari tahanan. Soeharto yang menjabat kala itu langsung memberikan Hamka ruang dalam pemerintahan, ia disuruh mengisi jadwal tetap ceramah di Radio Republik Indonesia (RRI) dan TVRI.

Hingga, Juni 1970 Hamka kembali mendengar nama orang yang pernah memenjarakannya selama dua tahun empat bulan. Namun tak sedikit pun dendam tertanam di dalam hati Hamka kepada 'Putra Sang Fajar' tersebut. Tak lama berselang, ajudan Bung Karno datang ke rumah Hamka dan menyampaikan pesan terakhir sang proklamator secara langsung kepada Hamka.

"Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam salat jenazahku," begitu bunyi pesan terakhir Sukarno.

Hamka sontak langsung bergegas menuju Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, tempat jenazah Bung Karno. Setibanya, sejumlah pelayat telah memenuhi rumah duka, termasuk Presiden Soeharto. Dengan mantap, Hamka menjadi imam salat jenazah. Dengan ikhlas, Hamka menunaikan permintaan terakhir sahabatnya tersebut.

Ternyata tak semua teman-teman Hamka yang sesuai dengan keputusannya. Banyak yang menyayangkan keputusan mulia Ketua MUI pertama ini. Mereka beranggapan bahwa Sukarno seorang yang munafik, yang lebih dekat dengan golongan anti Tuhan dibandingkan umat Islam.

"Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik," jawab Hamka dikutip dari 'Ayah' karya Irfan Hamka.

Di sisi lain, Hamka malah sangat bersyukur atas keputusan Sukarno menahan dirinya tempo dulu. Ia mengatakan mendapat anugerah dari Allah karena dalam masa tahanan itu ia bisa menyelesaikan satu buah buku yang tak akan mungkin sempat diselesaikan jika bukan di dalam penjara.

"Saya tidak pernah dendam kepada orang yang menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama masa tahanan itu saya bisa menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Qur'an 30 Juz," ungkap Hamkan seperti dikutip dari 'Islam itu Ramah Bukan Marah' halaman 35.

Tidak ada komentar