Deputi Baru BIN: Hendak Menyasar Siapakah?
"Saya berharap negara tetap menjadi bapak bagi warganegaranya. Bukan menjadikannya musuh yang harus dihadapi secara represif. Namun, harapan ini seringkali sirna, mengingat sebelum ada perubahan BIN, RUU HIP serta RUU BPIP saja karakter represifnya oknum rezim sudah tampak, apalagi akan diperkuat dengan UU BPIP dan UU HIP."
Demikian beberapa kalimat penutup yang disampaikan oleh Prof. Suteki dalam Kuliah Umum Uniol 4.0 Diponorogo bertajuk "Quo Vadis Deputi Baru BIN: Hendak Menyasar Siapakah?" melalui Zoom Meeting, Selasa (4/8).
Menurut sekretaris online Ibu Syam Purwaningsih, forum online ini digelar dalam rangka milad perdana Uniol 4.0 Diponorogo, serta bentuk edukasi terhadap masyarakat terkait peristiwa sosial politik terkini. "Kami berharap, agenda ini memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar melek dan peduli terhadap peristiwa aktual serta mendorong berkontribusi aktif dalam mewujudkan masyarakat yang bertumpu pada kebenaran dan keadilan," jelas Ibu Syam.
Dalam paparannya, Prof. Suteki menyoroti tentang penambahan struktur baru BIN yakni Deputi Intelijen Pengamanan Aparatur yang bertugas merumuskan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan serta operasi intelijen pengamanan aparatur. Padahal saat ini, BIN telah memiliki Deputi Aparatur Negara agar kementerian atau lembaga dari tingkat pusat hingga daerah, aman dari keberadaan aparatur negara yang intoleran dan anti Pancasila. Pun ikut mengawasi aparatur dari narkoba, separatis, radikalisme, dll.
Menanggapi tentang radikalisme, Prof. Suteki menilai bahwa ia merupakan nomenklatur yang condong pada istilah politik dibandingkan istilah hukum. "War on Radicalism justru akan memakan korban orang-orang baik dan kritis yang distempeli radikal," kata Prof. Suteki menyayangkan.
Selanjutnya, beliau mempertanyakan tentang urgensi memformulasikan delik radikalisme. Hingga saat ini beliau belum menemukan secara khusus delik yang mengatur tentang dilarangnya radikalisme dengan segala seluk-beluknya. "Penyematan radikal dan radikalisme lebih bertendensi politik dibandingkan dengan narasi dan formula hukumnya, sementara negara kita adalah negara rule of the law (negara hukum)," tegas Prof. Suteki.
Beliau pun menyarankan, jika memang radikalisme sebagai paham yang harus dikriminalisasikan, pemerintah dan DPR segera merumuskan delik radikalisme. Beliau mengajukan resep yang terdiri sembilan ramuan sebagai rambu-rambu kriminalisasi radikalisme.
Rambu-rambu tersebut antara lain: naskah akademisnya harus komprehensif, formulasi radikalisme harus jelas dan mudah dipahami, unsur-unsur rumusan pasal harus tegas dan rinci, jenis paham radikalisme harus jelas disebutkan sehingga tidak ambigu, harus dihindari penggunaan analogi dalam menerapkan kejahatan radikalisme, serta sanksi dan SOP harus jelas tegas.
Prof. Suteki menilai bahwa saat ini para punggawa negeri bertekad memerangi radikalisme yang jenis kelamin nomenklaturnya belum jelas dan seolah telah ditetapkan sebagai common enemy layaknya tindak pidana terorisme.
Akhirnya, beliau berharap banyaknya ahli hukum di negeri ini dapat memberikan andil dalam penegakan hukum yang baik dan berintegritas, agar linier dengan peningkatan kualitas penegakan hukum yang baik. Bukan sebaliknya, menjadi sekolah-sekolah hukum yang gagal.
Setelah sesi pemaparan selesai, kuliah online ini berlanjut dengan tanya jawab. Diskusi berlangsung hangat dalam kerangka ilmiah, terkait tema dan peristiwa sosial politik aktual.[]
Reporter: Puspita Satyawati
#Reportase
#KuliahUmumSpesial
#MiladPerdanaUniol
Tidak ada komentar