Breaking News

Apa Saja Yang Diharamkan bagi Wanita yang sedang Haid dan Nifas?



Asianmuslim.com - Berbeda dengan laki-laki, seorang wanita secara qadrati Alloh ciptakan dengan banyak 'keunikan'. Salah satunya adalah datang bulan atau haidh dan nifas. Secara teratur setiap bulan wanita mengalami haidh. Dengan keluarnya darah kotor dari rahim. Saat haidh wanita dianggap dalam keadaan 'tidak suci'. Oleh karenanya ada beberapa ibadah yang dilarang dikerjakan pada masa itu. Apa saja yang tidak boleh dikerjakan wanita saat haid?

Hal-hal yang diharmkan bagi wanita haid dan nifas:

1. Shalat

Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang sedang haid atau nifas diharamkan untuk melaksanakan shalat, baik shalat wajib maupun sunnah. Mereka juga sepakat bahwa kewajiban shalat telah gugur darinya, dengan demikian ia tidak perlu mengqadhanya jika telah suci.

Dari Abi Said al-Khudri radhiallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا

"Bukankah jika haid mereka tidak shalat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.”

Dari Mu’adz radhiallahu 'anhu mengatakan bahwa seorang wanita bertanya kepada ‘Aisyah radhiallahu 'anha:

أَتَجْزِي إِحْدَانَا صَلاَتَهَا إِذَا طَهُرَتْ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ «كُنَّا نَحِيضُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ يَأْمُرُنَا بِهِ» أَوْ قَالَتْ: فَلاَ نَفْعَلُهُ

“Apakah kami perlu mengqodho’ shalat kami ketika suci?”‘Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang haruriyah?[3] Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqodho’nya. Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqadha’nya.”

Catatan Tambahan:

Jika seorang wanita mengalami haid sebelum shalat –misalnya –dan dia belum shalatzhuhur, lalu apakah dia perlu mengqadha shalat zhuhurnya jika telah suci?

Dalam keadaan demikian, jumhur ulama berpendapat bahwa dia perlu mengqadha shalat zhuhur. Karena shalat itu telah menjadi kewajiban atasnya, maka dia harus mengqadhanya selama dia mendapati waktu shalat itu dalam keadaan suci, walaupun hanya sebatas satu rakaat. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wata'ala:

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(QS. An Nisa’: 103)

Namun ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa tidak perlu mengqadha shalat zhuhur tersebut. Yang berpendapat kedua ini berdalil bahwa wanita pada zaman nabi juga mengalami haid dengan bebagai macam waktu. Namun tidak ada satupun hadits Nabi yang memerintahkan wanita, jika dia telah suci agar mengqadha shalat yang dilewatkannya sebelum keluar darah haid.

Syaikhul Islam mengatakan dalam Majmu’ al-Fatawa(23/235): “Dan dalil yang paling kuat adalah mazhab Abu Hanifah dan Malik, bahwa wanita yang haid tersebut tidak di wajibkan sesuatupun. Karena qadha hanya wajib jika ada perintah tersendiri. Sedangkan disini tidak ada perintah untuk mengqadha, dan dia hanya mengakhirkan sesuatu yang boleh untuk diakhirkan tanpa berlebih-lebihan. Adapun orang yang ketiduran dan orang yang lupa, meski dia juga tidak berlebih-lebihan, tetapi apa yang dilaksanakannya bukanlah qadha melainkan itu adalah waktu shalat baginya ketika dia bangun atau teringat,”

Jika wanita yang haid mendapati dirinya suci sesaat sebelum ashar –misalnya –jika dia mandi maka pasti akan masuk shalat ashar, lalu apakah dia harus shalat zhuhur?

Jawabannya adalah bahwa dia harus shalat zhuhur dan ashar jika telah suci –dari haid atau nifas –sebelum terbenamnya matahari pada hari tersebut. Begitu pula jika dia suci sebelum terbit fajar, maka dia harus shalat maghrib dan isya’ dari malam itu. Karena waktu shalat yang kedua adalah waktu shalat bagi shalat sebelumnya di saat yang mendesak.

Syaikhul Islam mengatakan bahwa ini merupakan mazhab jumhur ulama, seperti Malik, Syafi’i, dan ahmad. Jika wanita haid suci di penghujung hari, maka dia harus shalat zhuhur dan ashar. Dan jika dia suci di penghujung malam, maka dia harus shalat maghrib dan isya’. Pendapat ini juga dinukil dari Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Karena dua waktu shalat itu bergabung dalam keadaan terdesak. Jika dia suci di penghujung siang maka waktu zhuhur masih ada, maka dia shalat zhuhur dulu sebelum shalat ashar. Dan jika dia suci di penghujung malam maka waktu maghrib masih ada, maka dia shalat maghrib sebelum shalat isya’. Wallahu a’lam.

2. Puasa

Terdapat ijma’ di kalangan para ulama bahwa wanita yang haid dan nifas meninggalkan puasa, tetapi harus mengqadha puasa ramadhan. Aisyah radhiallahu 'anha berkata:

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ تعنى: الحيض، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

“Kami dulu mengalami hal itu (haid), maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”

Catatan tambahan:

Jika wanita tersebut mendapati dirinya suci sebelum fajar, namun belum mandi. Apakah dia tetap berpuasa?

Jawabannya: Seorang yang haid jika suci sebelum terbit fajar dan berniat puasa, maka puasanya sah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di mana keabsahan puasanya tidaklah tergantung pada mandi, berbeda dengan shalat.

Jika wanita yang haid telah suci sebelum terbenam matahari, maka apakah dia harus berpuasa di sisa hari itu?

Jawabannya: Dia tidak perlu menahan diri dari makan dan minum di sisa hari itu. Karena telah berbuka sejak permulaan hari dan mengqadhanya pada hari yang lain, dan tidak ada yang menuntutnya untuk menahan diri pada sisa hari tersebut.

Diriwayatkan dari Ibnu Juraij radhiallahu 'anhu ia berkata kepada ‘Atha’

المرأة تصبح حائضا ثم تطهر فى بعض النهار أتتمه؟ قال: لا. هى قاضية

“Seorang wanita yang haid di waktu pagi, lalu suci sore harinya, apakah ia harus berpuasa pada sisa harinya itu ?”. Ia menjawab : “Tidak, baginya qadha (di hari yang lain)”

3. Bersetubuh

Para ulama sepakat bahwa haram hukumnya melakukan hubungan badan (jima’) dengan wanita yang sedang haid,[8] sebagaimana telah Allah Subhanahu wata'ala haramkan dalam firman-Nya.

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

“Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh...” (QS. Al-Baqarah: 222)

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

“Lakunkanlah apa saja kecuali nikah (jima’).”[9]
Syaikhul Islam dalam al-Fatawa (21/624) mengatakan: “Hubungan intim dengan wanita yang nifas hukumnya sama dengan wanita haid, yaitu haram dengan ijma’ ulama.”

Catatan tambahan:

Apabila seorang muslim berkeyakinan bahwa melakukan jima’ dengan wanita haid adalah halal –ia menjadi kufur dan murtad–. Namun jika ada yang melakukannya tanpa berkeyakinan bahwa hukumnya halal, melainkan karena lupa atau tidak tahu bahwa wanita itu sedang haid, atau tidak tahu bahwa hukumnya haram, atau dipaksa melakukannya; maka ia tidak berdosa, dan tidak perlu kafarat. Sedangkan jika ia melakukannya dengan sengaja dalam keadaan tahu bahwa istrinya sedang haid, maka ia telah melakukan dosa besar dan wajib bertaubat.”

Kemudian apakah wajib bagi suami untuk membayar kafarat? jumhur ulama berbeda pendapat dengan Imam Ahmad. Jumhur berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi suami untuk membayar kafarat. Dan menurut peulis, ini pendapat yang benar. Adapun hadits Ibnu Abbas dari Nabi mengenai seseorang yang menggauli istrinya yang sedang haid, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ

“Hendaklah ia bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar”

Berdasarkan pendapat yang rajih, hadits ini dhaif. Karena pada dasarnya harta benda kaum muslimin adalah haram, maka tidak bisa dihalalkan kecuali bedasar pada nash.

Adapun yang dilarang dalam bersenang-senang dengan wanita haid hanyalah kemaluan saja. Maka sang suami boleh bersenang-senang dengan istrinya yang sedang haid dalam segala hal kecuali berhubungan intim. Dalilnya adalah hadits Anasradhiallahu 'anhu, bahwa ketika turun firman Allah Subhanahu wata'ala :

فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

“Maka hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.” (Al Baqarah: 222)

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

“Lakunkanlah apa saja kecuali nikah (jima’).”

Dan juga riwayat dari para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ مِنَ الْحَائِضِ شَيْئًا أَلْقَى عَلَى فَرْجِهَا ثَوْبًا

“Bahwa nabi Shallallahu 'alaihi wasallam apabila beliau menginginkan sesuatu hal dari istrinya yang haid, maka beliau menutupi kemaluan istrinya dengan pakaian.”

Penulis berkata: yang paling menguatkan pendapat ini adalah hadits dari Masruqradhiallahu 'anhu berkata kepada aisyah radhiallahu 'anha:

إنى أريد ان أسألك عن شىء وأنا أستحيى! فقالت: إنما أنا أمك وأنت إبنى, فقال: ما للرجل من امرأته وهى حائض؟ قالت: (( له كل شىء إلا لفرجها))

“Aku ingin bertanya sesuatu kepada engkau namun aku malu!” ‘Aisyah berkata: “sesunguhnya aku ini adalah ibumu dan kau adalah anakku.” Maka Masruq berkata: “Apakah yang boleh bagi seorang laki-laki dari istrinya yang sedang haid?” ‘Aisyah menjawab: “Semuanya boleh baginya kecuali kemaluan istrinya”

Dan tidak diragukan lagi bahwa ‘Aisyah radhiallahu 'anha merupakan orang yang paling tahu mengenai hukum permasalahan ini karena dia adalah istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.

Catatan Penting: Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini. Yakni, boleh bagi suami bersenang-senang dengan istrinya yang sedang haid dalam segala hal kecuali apa yang ada antara pusar sampai lutut. Pendapat ini juga memiliki dalil-dalil yang menguatkannya, namun pendapat yang pertama adalah lebih kuat.

Apabila seorang wanita telah suci dari haid, maka suaminya tidak boleh berhubungan intim dengannya kecuali setelah istrinya mandi. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (Al Baqarah: 222)

Imam Mujahid mengatakan: “Bagi wanita ada dua jenis kesucian; suci dalam firman Allah Subhanahu wata'ala {حتى يطهرن} “sampai mereka suci” yakni suci dari darah haid, sebelum mandi wajib. kemudian suci dalam firman Allah Subhanahu wata'ala

{فإذا تطهرن}“maka jika mereka telah suci” maksudnya ketika telah mandi wajib. suaminya tidak boleh berhubungan intim dengannya hingga dia mandi. Di sini Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.”

Ditempat keluarnya darah, maka jika tidak pada tempat yang telah Allah perintahkan maka tidaklah termasuk orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri.”

Berbeda dengan Ibnu Hazm, para ulama telah sepakaat bahwa seorang wanita tidak boleh digauli oleh suaminya –ketika telah suci dari darah haid –sehingga wanita itu mandi.

Muncul pertanyaan: Jika seorang muslim yang istrinya adalah ahli kitab, maka apakah sang istri harus dipaksa untuk mandi atau tidak?

Jawabnya: istri dipaksa untuk mandi, dan suaminya tidak boleh mendekatinya kecuali setelah istrinya mandi. Hal ini karena ayat ini tidaklah khusus untuk wanita muslimah saja.

Wanita yang sedang haid harus mencegah suaminya ketika ingin menggaulinya. Namun tatkala suaminya memaksanya dan dia tidak mampu melawannya maka tidak apa-apa baginya dan hendaklah ia mohon ampun kepada Allah Subhanahu wata'ala.

4. Thawaf

Thawaf haram bagi wanita yang sedang haid berdasarkan ijma’. Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha bahwa beliau haid tatkala haji, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

“Lakukanlah apa yang dilakukan orang yang berhaji tetapi janganlah kamu thawaf di baitullah hinnga kamu suci.”

Demikian penjelasan mengenai hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidh dan nifas. Wallahu a'lam bish shawab. Semoga tulisan ini bermanfaat. Barokallohu fiikum.

Tidak ada komentar