Perppu KPK, Emil Salim: Mana Partai Pendukung yang Bantu Jokowi ?
IDTODAY.CO - Cendikiawan sekaligus Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Emil Salim blak-blakan mengungkapkan sikap Presiden Jokowi terkait opsi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) KPK.
Sebelumnya Jokowi sempat mempertimbangkan menerbitkan Perppu ini pasca bertemu dengan para tokoh senior di Istana.
Namun belakangan hal itu meredup seiring banyaknya penolakan dari partai pendukung Jokowi sendiri pada pemilu lalu.
Saat itu menurutnya Presiden merasa berdiri sendiri di opsi Perppu KPK.
Hal itu diungkapkan Emil Salim di acara Mata Najwa, Rabu (9/10/2019) seperti melansir wartakota.com.
�Saya menangkap beliau berdiri sendiri, partai pendukung beliau itu omong kosong tidak ada berdiri membela KPK,� kata Emil kesal.
Sikap partai pendukung itu sangat disayangkan mengingat Jokowi yang masih terlihat ingin berhasil memberantas korupsi di Indonesia.
Saat itu jelas Emil, ia menangkap keragu-raguan Presiden dalam menerbitkan Perppu KPK.
Satu-satunya keraguan ialah saat Perppu KPK itu tidak akan disetujui oleh seluruh fraksi di DPR RI termasuk partai pendukungnya sendiri.
�Implisit berkata semua partai mendukung UU KPK, beliau berdiri sendiri, mana partai-partai yang sok membantu beliau,� sindir guru besar Universitas Indonesia itu.
Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate tidak menampik jika partainya belum tentu akan menerima Perppu KPK yang diajukan Presiden.
�Kalau terbitkan Perppu itu hak Presiden, tapi kita terima atau tidak kita lihat dulu isinya, itukan keputusan politik,� kata Johnny.
PDI Perjuangan Tolak Perppu KPK
Seluruh partai pendukung Jokowi memang terang-terangan menolak Perppu KPK.
Penolakan keras itu bahkan datang dari partai Jokowi sendiri yakni PDI Perjuangan.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya fraksi PDI-P di DPR memastikan akan menolak jika Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut Undang-Undang KPK hasil revisi.
Hal itu disampaikan oleh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno.
Dia mengatakan, sikap resmi Fraksi PDI-P ialah menolak perppu dan menyarankan agar polemik revisi UU KPK diselesaikan melalui judicial review di Mahkamah Konsitusi atau legislative review.
"Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative review," kata Hendrawan saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).
Perppu KPK, jika jadi diterbitkan Jokowi, memang akan langsung berlaku.
Namun, perppu itu tetap membutuhkan persetujuan DPR.
Hal ini diatur di Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal tersebut mengatur dalam kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan perppu.
Ayat berikutnya mengatur, peraturan tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut.
Jika tidak mendapat persetujuan, perppu itu harus dicabut.
Hendrawan pun menilai tidak elok jika polemik revisi UU KPK ini harus diselesaikan lewat tarik menarik kepentingan politik.
Ia menilai akan lebih baik diselesaikan lewat proses uji materi di MK atau revisi ulang di DPR dan pemerintah.
"Sedikit memakan waktu, tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik-menarik kepentingan politik," kata Hendrawan.
Hendrawan kemudian menjelaskan semangat awal merevisi UU KPK yang telah belasan tahun diwacanakan itu.
Pada awalnya, kata dia, KPK sebagai lembaga superbody dinilai perlu check and balances. Maka, dibuat dewan pengawas dengan harapan bisa menjadi penyeimbang.
"Pada awalnya sebenarnya sederhana, yaitu harapan agar sebuah lembaga hukum dengan wewenang sangat besar, bahkan disebut sebagai superbody, diawasi dengan tata kelola yang sehat. Itu sebabnya dibuat dewan pengawas," ujar Hendrawan.
"Jadi KPK yang semula pakai sistem single tier (satu lapis) diganti dengan two tiers (dua lapis) agar terjadi proses check and balances secara internal," katanya.[ljc]
Sebelumnya Jokowi sempat mempertimbangkan menerbitkan Perppu ini pasca bertemu dengan para tokoh senior di Istana.
Namun belakangan hal itu meredup seiring banyaknya penolakan dari partai pendukung Jokowi sendiri pada pemilu lalu.
Saat itu menurutnya Presiden merasa berdiri sendiri di opsi Perppu KPK.
Hal itu diungkapkan Emil Salim di acara Mata Najwa, Rabu (9/10/2019) seperti melansir wartakota.com.
�Saya menangkap beliau berdiri sendiri, partai pendukung beliau itu omong kosong tidak ada berdiri membela KPK,� kata Emil kesal.
Sikap partai pendukung itu sangat disayangkan mengingat Jokowi yang masih terlihat ingin berhasil memberantas korupsi di Indonesia.
Saat itu jelas Emil, ia menangkap keragu-raguan Presiden dalam menerbitkan Perppu KPK.
Satu-satunya keraguan ialah saat Perppu KPK itu tidak akan disetujui oleh seluruh fraksi di DPR RI termasuk partai pendukungnya sendiri.
�Implisit berkata semua partai mendukung UU KPK, beliau berdiri sendiri, mana partai-partai yang sok membantu beliau,� sindir guru besar Universitas Indonesia itu.
Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate tidak menampik jika partainya belum tentu akan menerima Perppu KPK yang diajukan Presiden.
�Kalau terbitkan Perppu itu hak Presiden, tapi kita terima atau tidak kita lihat dulu isinya, itukan keputusan politik,� kata Johnny.
PDI Perjuangan Tolak Perppu KPK
Seluruh partai pendukung Jokowi memang terang-terangan menolak Perppu KPK.
Penolakan keras itu bahkan datang dari partai Jokowi sendiri yakni PDI Perjuangan.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya fraksi PDI-P di DPR memastikan akan menolak jika Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut Undang-Undang KPK hasil revisi.
Hal itu disampaikan oleh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno.
Dia mengatakan, sikap resmi Fraksi PDI-P ialah menolak perppu dan menyarankan agar polemik revisi UU KPK diselesaikan melalui judicial review di Mahkamah Konsitusi atau legislative review.
"Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative review," kata Hendrawan saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).
Perppu KPK, jika jadi diterbitkan Jokowi, memang akan langsung berlaku.
Namun, perppu itu tetap membutuhkan persetujuan DPR.
Hal ini diatur di Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal tersebut mengatur dalam kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan perppu.
Ayat berikutnya mengatur, peraturan tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut.
Jika tidak mendapat persetujuan, perppu itu harus dicabut.
Hendrawan pun menilai tidak elok jika polemik revisi UU KPK ini harus diselesaikan lewat tarik menarik kepentingan politik.
Ia menilai akan lebih baik diselesaikan lewat proses uji materi di MK atau revisi ulang di DPR dan pemerintah.
"Sedikit memakan waktu, tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik-menarik kepentingan politik," kata Hendrawan.
Hendrawan kemudian menjelaskan semangat awal merevisi UU KPK yang telah belasan tahun diwacanakan itu.
Pada awalnya, kata dia, KPK sebagai lembaga superbody dinilai perlu check and balances. Maka, dibuat dewan pengawas dengan harapan bisa menjadi penyeimbang.
"Pada awalnya sebenarnya sederhana, yaitu harapan agar sebuah lembaga hukum dengan wewenang sangat besar, bahkan disebut sebagai superbody, diawasi dengan tata kelola yang sehat. Itu sebabnya dibuat dewan pengawas," ujar Hendrawan.
"Jadi KPK yang semula pakai sistem single tier (satu lapis) diganti dengan two tiers (dua lapis) agar terjadi proses check and balances secara internal," katanya.[ljc]
Post Comment
Tidak ada komentar