Jokowi Jadikan Luhut Komandan Investasi Pengusaha China?
IDTODAY.CO - Dalam periode pemerintahannya yang kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk mengubah nomenklatur.
Adapun salah satunya adalah dengan mengubah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Jokowi juga kembali menugaskan Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang nomor satu di kementerian tersebut. Demikian seperti dilansir dari CNN Indonesia.
"Saya kira terobosan-terobosan dalam rangka Indonesia poros maritim dunia, menangani hambatan investasi dan merealisasikan komitmen-komitmen investasi besar berada di tangan beliau (Luhut)," kata Jokowi saat memperkenalkan calon menteri Kabinet Indonesia Baru di Istana Negara, Rabu (23/10/2019).
Peningkatan investasi memang menjadi salah satu target Jokowi dalam lima tahun ke depan. Maklum, upaya perbaikan iklim investasi yang dilakukan Jokowi selama lima tahun terakhir melalui sejumlah paket kebijakan ekonomi dan gebrakan belum membuahkan hasil gemilang.
Hal tersebut terlihat dari laju investasi dalam negeri yang masih tertahan di satu digit. Padahal, untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, Indonesia memerlukan pertumbuhan investasi mencapai dua digit per tahun.
Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan cerminan laju pertumbuhan investasi pada 2015 sebesar 5,01 persen.
Selang setahun, lajunya melambat menjadi hanya 4,48 karena tertekan oleh perlambatan ekonomi global. Pada 2017, pertumbuhannya meningkat menjadi 6,15 persen. Selanjutnya, pada 2018, pertumbuhan PMTB mencapai 6,67 persen. Namun, pada kuartal II 2019, laju PMTB tercatat hanya 5,01 persen.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi memahami keputusan Jokowi mengalihkan komando upaya percepatan investasi dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ke kementerian di bawah Luhut.
Menurut dia, kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi untuk mengundang lebih banyak investor. Terlebih, selama ini, Luhut dan jajarannya kerap membuka peluang investasi dari berbagai negara, termasuk mengkaji berbagai potensi investasi China di Indonesia dalam Program Jalur Sutera Modern atau Belt and Road Initiative.
"Belt and Road Initiative kan salah satunya menghubungkan jalur maritim. Mungkin, dengan itu, Indonesia bisa lebih berperan di sana tanpa kemudian harus didominasi oleh China," ujar Fithra, Rabu (23/10).
Selain itu, menurut dia, keputusan tersebut mengisyaratkan fokus investasi ke depan akan lebih diarahkan untuk menopang sektor maritim. Hal itu bertujuan agar pemerintah bisa secara efektif menekan biaya logistik.
"Kalau dilihat, pembangunan infrastruktur lewat jalan darat itu sebenarnya tidak secara efektif bisa menekan ongkos logistik. Justru, efek pada skala ekonomi akan dicapai kalau kita membangun lewat jalur maritim," ujarnya.
Selama ini, sambung ia, kebijakan investasi Indonesia lebih mengarah ke "open door policy" di mana investasi bisa masuk ke semua sektor, tidak ada batasan. Dengan fokus ke sektor maritim, menurut dia, pemerintah nampaknya ingin mengubah arah kebijakan investasi Indonesia menjadi "open window policy".
Kendati demikian, perubahan komando bisa menjadi kendala apabila tidak ada koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Misalnya, dengan Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM).
Untuk itu, ia menilai pemerintah perlu memastikan agar koordinasi tersebut berjalan lancar. Ujung-ujungnya pemerintah bisa mengoptimalkan upaya untuk mengurangi hambatan investor dalam berinvestasi di Indonesia mulai dari birokrasi yang berbelit hingga perizinan yang memakan waktu.
"Kalau dilihat, Pak Luhut sebagai menko maritim dan investasi memiliki ketegasan untuk kemudian menindak dan bahkan menghajar hambatan investasi di lapangan," jelasnya.
Di saat yang sama, Jokowi juga menempatkan sosok-sosok profesional yang siap kerja untuk menopang upaya peningkatan investasi di Indonesia. Misalnya, Jokowi menunjuk Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan.
Hal itu sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia agar Indonesia bisa memasok tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri. Penunjukan Wishnutama Kusubandio sebagai menteri pariwisata dan ekonomi kreatif serta Bahlil Lahadalia sebagai Kepala BKPM juga diharapkan bisa memberikan nuansa baru dalam upaya perbaikan iklim investasi Indonesia di masa mendatang.
Jika strategi Jokowi berhasil, Fithra memperkirakan laju pertumbuhan investasi dalam lima tahun ke depan bisa menyentuh dua digit. Dalam hal ini, pemerintah berhasil memberikan investor kepastian regulasi serta penciptaan ekosistem yang memadai.
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai perubahan nomenklatur bisa saja membuat kegiatan promosi investasi semakin gencar, dengan fokus yang diarahkan untuk menunjang sektor maritim.
Namun, hal itu tidak akan berdampak signifikan selama pemerintah tidak bisa mengerek efisiensi investasi di dalam negeri.Pasalnya, persoalan investasi di Indonesia bukan dari sisi jumlah tetapi dari sisi efisiensi.
Konsekuensinya, menurut dia, investasi yang ada sekarang belum berdampak signifikan kepada perekonomian. Hal itu tercermin dari kemampuan investasi dalam menyerap tenaga kerja juga kian melemah.
"Misalnya, tahun ini, ada investasi 1.000 dan tenaga kerja yang terserap 100. Tahun depan, ada investasi 1.000, tenaga kerja yang terserap hanya 50," ujarnya.
Efisiensi investasi bisa dilihat dari rasio pertambahan modal-output (Incremental Capital-Output Ratio/ICOR). Secara sederhana, ICOR merupakan parameter yang menggambarkan besaran tambahan modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Artinya, semakin tinggi skor ICOR, artinya investasi semakin tak efisien.
Saat ini skor ICOR Indonesia berada di angka 6,3, atau lebih tinggi dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya yang di kisaran 3.
"Untuk memproduksi suatu barang di Indonesia membutuhkan lebih banyak modal dibandingkan dengan negara lain," sambungnya.
Karenanya, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi investasi di Indonesia. Hal ini tidak bisa dicapai dengan perubahan nomenklatur tetapi harus ada kerja sama antara seluruh kementerian/lembaga terkait.
"(Investasi tidak efisien) mungkin karena biaya logistik yang tinggi, regulasi, atau kebijakan yang terkait dengan fiskal. Hal-hal tersebut tidak bisa diselesaikan dengan perubahan nomenklatur saja," jelasnya.
Lebih lanjut, pemerintah juga harus memperjelas pembagian wewenang Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi denganBKPM. Hal ini diperlukan agar tidak menimbulkan kebingungan di kalangan investor.
Jangan sampai, perubahan nomenklatur malah membuat birokrasi semakin panjang. Namun, kebijakan tersebut harus bisa memperkuat sinergi untuk meningkatkan investasi ke depan.[ljc]
Adapun salah satunya adalah dengan mengubah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Jokowi juga kembali menugaskan Luhut Binsar Panjaitan sebagai orang nomor satu di kementerian tersebut. Demikian seperti dilansir dari CNN Indonesia.
"Saya kira terobosan-terobosan dalam rangka Indonesia poros maritim dunia, menangani hambatan investasi dan merealisasikan komitmen-komitmen investasi besar berada di tangan beliau (Luhut)," kata Jokowi saat memperkenalkan calon menteri Kabinet Indonesia Baru di Istana Negara, Rabu (23/10/2019).
Peningkatan investasi memang menjadi salah satu target Jokowi dalam lima tahun ke depan. Maklum, upaya perbaikan iklim investasi yang dilakukan Jokowi selama lima tahun terakhir melalui sejumlah paket kebijakan ekonomi dan gebrakan belum membuahkan hasil gemilang.
Hal tersebut terlihat dari laju investasi dalam negeri yang masih tertahan di satu digit. Padahal, untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, Indonesia memerlukan pertumbuhan investasi mencapai dua digit per tahun.
Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan cerminan laju pertumbuhan investasi pada 2015 sebesar 5,01 persen.
Selang setahun, lajunya melambat menjadi hanya 4,48 karena tertekan oleh perlambatan ekonomi global. Pada 2017, pertumbuhannya meningkat menjadi 6,15 persen. Selanjutnya, pada 2018, pertumbuhan PMTB mencapai 6,67 persen. Namun, pada kuartal II 2019, laju PMTB tercatat hanya 5,01 persen.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi memahami keputusan Jokowi mengalihkan komando upaya percepatan investasi dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ke kementerian di bawah Luhut.
Menurut dia, kebijakan tersebut merupakan salah satu strategi untuk mengundang lebih banyak investor. Terlebih, selama ini, Luhut dan jajarannya kerap membuka peluang investasi dari berbagai negara, termasuk mengkaji berbagai potensi investasi China di Indonesia dalam Program Jalur Sutera Modern atau Belt and Road Initiative.
"Belt and Road Initiative kan salah satunya menghubungkan jalur maritim. Mungkin, dengan itu, Indonesia bisa lebih berperan di sana tanpa kemudian harus didominasi oleh China," ujar Fithra, Rabu (23/10).
Selain itu, menurut dia, keputusan tersebut mengisyaratkan fokus investasi ke depan akan lebih diarahkan untuk menopang sektor maritim. Hal itu bertujuan agar pemerintah bisa secara efektif menekan biaya logistik.
"Kalau dilihat, pembangunan infrastruktur lewat jalan darat itu sebenarnya tidak secara efektif bisa menekan ongkos logistik. Justru, efek pada skala ekonomi akan dicapai kalau kita membangun lewat jalur maritim," ujarnya.
Selama ini, sambung ia, kebijakan investasi Indonesia lebih mengarah ke "open door policy" di mana investasi bisa masuk ke semua sektor, tidak ada batasan. Dengan fokus ke sektor maritim, menurut dia, pemerintah nampaknya ingin mengubah arah kebijakan investasi Indonesia menjadi "open window policy".
Kendati demikian, perubahan komando bisa menjadi kendala apabila tidak ada koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Misalnya, dengan Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM).
Untuk itu, ia menilai pemerintah perlu memastikan agar koordinasi tersebut berjalan lancar. Ujung-ujungnya pemerintah bisa mengoptimalkan upaya untuk mengurangi hambatan investor dalam berinvestasi di Indonesia mulai dari birokrasi yang berbelit hingga perizinan yang memakan waktu.
"Kalau dilihat, Pak Luhut sebagai menko maritim dan investasi memiliki ketegasan untuk kemudian menindak dan bahkan menghajar hambatan investasi di lapangan," jelasnya.
Di saat yang sama, Jokowi juga menempatkan sosok-sosok profesional yang siap kerja untuk menopang upaya peningkatan investasi di Indonesia. Misalnya, Jokowi menunjuk Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan.
Hal itu sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia agar Indonesia bisa memasok tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri. Penunjukan Wishnutama Kusubandio sebagai menteri pariwisata dan ekonomi kreatif serta Bahlil Lahadalia sebagai Kepala BKPM juga diharapkan bisa memberikan nuansa baru dalam upaya perbaikan iklim investasi Indonesia di masa mendatang.
Jika strategi Jokowi berhasil, Fithra memperkirakan laju pertumbuhan investasi dalam lima tahun ke depan bisa menyentuh dua digit. Dalam hal ini, pemerintah berhasil memberikan investor kepastian regulasi serta penciptaan ekosistem yang memadai.
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai perubahan nomenklatur bisa saja membuat kegiatan promosi investasi semakin gencar, dengan fokus yang diarahkan untuk menunjang sektor maritim.
Namun, hal itu tidak akan berdampak signifikan selama pemerintah tidak bisa mengerek efisiensi investasi di dalam negeri.Pasalnya, persoalan investasi di Indonesia bukan dari sisi jumlah tetapi dari sisi efisiensi.
Konsekuensinya, menurut dia, investasi yang ada sekarang belum berdampak signifikan kepada perekonomian. Hal itu tercermin dari kemampuan investasi dalam menyerap tenaga kerja juga kian melemah.
"Misalnya, tahun ini, ada investasi 1.000 dan tenaga kerja yang terserap 100. Tahun depan, ada investasi 1.000, tenaga kerja yang terserap hanya 50," ujarnya.
Efisiensi investasi bisa dilihat dari rasio pertambahan modal-output (Incremental Capital-Output Ratio/ICOR). Secara sederhana, ICOR merupakan parameter yang menggambarkan besaran tambahan modal yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Artinya, semakin tinggi skor ICOR, artinya investasi semakin tak efisien.
Saat ini skor ICOR Indonesia berada di angka 6,3, atau lebih tinggi dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya yang di kisaran 3.
"Untuk memproduksi suatu barang di Indonesia membutuhkan lebih banyak modal dibandingkan dengan negara lain," sambungnya.
Karenanya, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan efisiensi investasi di Indonesia. Hal ini tidak bisa dicapai dengan perubahan nomenklatur tetapi harus ada kerja sama antara seluruh kementerian/lembaga terkait.
"(Investasi tidak efisien) mungkin karena biaya logistik yang tinggi, regulasi, atau kebijakan yang terkait dengan fiskal. Hal-hal tersebut tidak bisa diselesaikan dengan perubahan nomenklatur saja," jelasnya.
Lebih lanjut, pemerintah juga harus memperjelas pembagian wewenang Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi denganBKPM. Hal ini diperlukan agar tidak menimbulkan kebingungan di kalangan investor.
Jangan sampai, perubahan nomenklatur malah membuat birokrasi semakin panjang. Namun, kebijakan tersebut harus bisa memperkuat sinergi untuk meningkatkan investasi ke depan.[ljc]
Post Comment
Tidak ada komentar