Surat yang Menusuk untuk Melanie yang Merasa Jadi Korban Beda Agama
"Apa yang Salah Sama Indonesia?"
Mbak Melanie, jika saya berada pada posisinya, pasti akan mengalami kesedihan yang sama. Kebaikan yang ditolak oleh orang yang berbeda keyakinan, itu menusuk sekali. Tapi begini, jika kita yang tertusuk, kita yang luka, apakah kita ingin juga seluruh saudara kita sebangsa merasai luka yang sama? Bukankah luka-luka akibat SARA telah begitu menganga di hati semua pemeluk agama?
Saya memiliki teman yang katolik, protestan, hindu, budha, juga yang sesama muslim, bila ditanya satu persatu, semua memiliki catatan lukanya sendiri-sendiri. Tak terkecuali, sayapun pernah terluka sebab SARA.
Tapi kita selalu punya pilihan, untuk menyembuhkan luka itu atau membuatnya semakin pedih?
Mbak Mel telah memilih untuk merasai pedih dan membagikan kepedihan itu kepada seluruh saudaranya se-Indonesia. Bisa dilihat dari kalimat awalnya, �Eyang, apa yang salah sama Indonesia?�
Padahal sungguh, di kalimat berikutnya Mbak Mel tulis, beliau membagikan nasi kotak di antara RIBUAN ibu-ibu. Mengapa Mbak Mel fokus pada satu lidah padahal ada ribuan lainnya yang menerima nasi kotak itu dengan bibir yang mungkin tersenyum?
Lagipula duhai Mbak Melanie sayang, satu orang ibu-ibu apakah cukup mewakili Indonesia sehingga Mbak Mel memilih bertanya �Eyang, apa yang salah sama Indonesia�?
Jika Mbak Melanie bertanya secara spesifik, �Eyang, apa yang salah sama agama Eyang?�
Atau, �Eyang, apa yang salah sama ajaran Islam? Apakah muslim memang tak boleh menerima makanan dari non muslim?�
Jika pertanyaannya demikian, tentu komentar akan lebih bernuansa ilmu. Umat Islam akan menjelaskan tentang bagaimana seharusnya muslim berhubungan dengan non muslim. Malah bisa jadi, akan menjadi diskusi bertema kerukunan umat beragama yang asyik.
Tapi karena Mbak Melanie menyebut Indonesia dan tagar-tagarnya bernada kecewa luar biasa seolah tak ada lagi kebaikan yang tersisa, orang se-Indonesia jadi ikut-ikutan terluka. Dan kabar buruknya, segera isu ini menjadi bahan gorengan dan rebusan atas nama SARA.
Saya tidak sedang membela ibu-ibu itu (jujur saya gedeg juga euy). Saya menulis ini dalam konteks kepedihan saya sebagai salah satu anak bangsa.
Apapun agama dan sukumu, suku agama saya, suku agama kita, kita masing-masing punya luka. Meski saya bagian dari agama mayoritas di Negara ini, saya pun pernah terluka. Tapi sudah. Cukup. Bila dibahas satu-satu bukan hanya akan menghabiskan energi, tapi malah akan tambah luka dengan api pertengkaran yang berkobar-kobar karena masing-masingnya merasa paling luka.
Dalam konteks merawat kerukunan Indonesia, alih-alih menyimpan luka, saya jauh lebih senang menyimpan kenangan bahwa saya punya Budhe yang katolik taat, aktivis gereja dan saya pernah makan tidur di sana. Saya punya Mbah yang budha. Punya sepupu dan teman-teman yang berwarna-warni.
Jika kita mau diam dan tabah sedikit, sejatinya nggak ada yang paling luka. Pemeluk islam, katolik, protestan, hindu, budha, semua kita pernah sama terluka.
Jika kita mengaku menginginkan damai di Indonesia, kita milikilah lagi wajah yang berseri-seri. Kita milikilah hati yang pemaaf, tepa selera, rukun, guyub. Jika ada satu yang nggak paham dan bikin naik tensi, ya kita sebisa-bisa sabar dan tahan diri. Anggaplah dengan jenaka bahwa kita lebih berilmu dari satu orang itu. Anggap saja kita lebih waras dari orang itu.
Mbak Melani sudah memilih membagikan lukanya kepada bangsa Indonesia. Saya mohon jangan ditiru. Ini poin saya. Jangan kita tiru.
Kepedihan yang dibagikan Mbak Mel membuat ribuan orang yang share curhatannya itu jadi ikut sedih dan �sayangnya- gagal fokus. Hampir semuanya malah menghujat si ibu serta agamanya.
Belajar dari Mbak Melanie, isu SARA itu sensitif, maka kita pandai-pandailah, arif-ariflah, luas-luaskanlah hati. Masalah yang kecil jangan dibesar-luaskan. Kepedihan kecil jangan dikobarkan. Itu jika kita mengaku mengidamkan keselarasan di rumah kita ini. Dan kita bisa. Sungguh bisa.
Sayang saya bukan temannya Mbak Mel. Jika saya temannya, tentu akan saya ajak bercanda agar postingannya di IG berubah menjadi, �Eyang, satu orang ibu menolak dan membuatku terluka. Tapi aku yakin Indonesia tetap akan maju meski tanpa satu orang itu. Jadi, izinkan aku tetap tersenyum untuk Indonesia yang telah kau tinggalkan, Eyang.� ^_^
Betapa ini hanya soal sudut pandang bukan?
Terakhir, entah kenapa malah terbayang di benak saya, Eyang Habibie tersenyum dan menjawab pertanyaan Mbak Mel yang viral itu, �Mel anakku sayang, selain soal pengurus Negara yang tidak benar-benar mengurus rakyatnya, tidak ada yang salah dengan Indonesia. Satu ibu yang melukaimu tidak akan membunuhmu, sebab kau akan tumbuh oleh seribu kuntum senyum milik ibu-ibu lainnya.�
Salam hati yang lapang dan tulus merawat Indonesia dari sebuah desa di Simalungun, setelah jemuran kehujanan. Tentu ini salah saya, bukan salah pemimpin daerah apalagi pusat ^_^
-Wiwik W.
Baca aduan Melanie: Tujuh Hari BJ Habibie, Makanan Melanie Ditolak Ibu-ibu Gara-gara Non-Muslim
Mbak Melanie, jika saya berada pada posisinya, pasti akan mengalami kesedihan yang sama. Kebaikan yang ditolak oleh orang yang berbeda keyakinan, itu menusuk sekali. Tapi begini, jika kita yang tertusuk, kita yang luka, apakah kita ingin juga seluruh saudara kita sebangsa merasai luka yang sama? Bukankah luka-luka akibat SARA telah begitu menganga di hati semua pemeluk agama?
Saya memiliki teman yang katolik, protestan, hindu, budha, juga yang sesama muslim, bila ditanya satu persatu, semua memiliki catatan lukanya sendiri-sendiri. Tak terkecuali, sayapun pernah terluka sebab SARA.
Tapi kita selalu punya pilihan, untuk menyembuhkan luka itu atau membuatnya semakin pedih?
Mbak Mel telah memilih untuk merasai pedih dan membagikan kepedihan itu kepada seluruh saudaranya se-Indonesia. Bisa dilihat dari kalimat awalnya, �Eyang, apa yang salah sama Indonesia?�
Padahal sungguh, di kalimat berikutnya Mbak Mel tulis, beliau membagikan nasi kotak di antara RIBUAN ibu-ibu. Mengapa Mbak Mel fokus pada satu lidah padahal ada ribuan lainnya yang menerima nasi kotak itu dengan bibir yang mungkin tersenyum?
Lagipula duhai Mbak Melanie sayang, satu orang ibu-ibu apakah cukup mewakili Indonesia sehingga Mbak Mel memilih bertanya �Eyang, apa yang salah sama Indonesia�?
Jika Mbak Melanie bertanya secara spesifik, �Eyang, apa yang salah sama agama Eyang?�
Atau, �Eyang, apa yang salah sama ajaran Islam? Apakah muslim memang tak boleh menerima makanan dari non muslim?�
Jika pertanyaannya demikian, tentu komentar akan lebih bernuansa ilmu. Umat Islam akan menjelaskan tentang bagaimana seharusnya muslim berhubungan dengan non muslim. Malah bisa jadi, akan menjadi diskusi bertema kerukunan umat beragama yang asyik.
Tapi karena Mbak Melanie menyebut Indonesia dan tagar-tagarnya bernada kecewa luar biasa seolah tak ada lagi kebaikan yang tersisa, orang se-Indonesia jadi ikut-ikutan terluka. Dan kabar buruknya, segera isu ini menjadi bahan gorengan dan rebusan atas nama SARA.
Saya tidak sedang membela ibu-ibu itu (jujur saya gedeg juga euy). Saya menulis ini dalam konteks kepedihan saya sebagai salah satu anak bangsa.
Apapun agama dan sukumu, suku agama saya, suku agama kita, kita masing-masing punya luka. Meski saya bagian dari agama mayoritas di Negara ini, saya pun pernah terluka. Tapi sudah. Cukup. Bila dibahas satu-satu bukan hanya akan menghabiskan energi, tapi malah akan tambah luka dengan api pertengkaran yang berkobar-kobar karena masing-masingnya merasa paling luka.
Dalam konteks merawat kerukunan Indonesia, alih-alih menyimpan luka, saya jauh lebih senang menyimpan kenangan bahwa saya punya Budhe yang katolik taat, aktivis gereja dan saya pernah makan tidur di sana. Saya punya Mbah yang budha. Punya sepupu dan teman-teman yang berwarna-warni.
Jika kita mau diam dan tabah sedikit, sejatinya nggak ada yang paling luka. Pemeluk islam, katolik, protestan, hindu, budha, semua kita pernah sama terluka.
Jika kita mengaku menginginkan damai di Indonesia, kita milikilah lagi wajah yang berseri-seri. Kita milikilah hati yang pemaaf, tepa selera, rukun, guyub. Jika ada satu yang nggak paham dan bikin naik tensi, ya kita sebisa-bisa sabar dan tahan diri. Anggaplah dengan jenaka bahwa kita lebih berilmu dari satu orang itu. Anggap saja kita lebih waras dari orang itu.
Mbak Melani sudah memilih membagikan lukanya kepada bangsa Indonesia. Saya mohon jangan ditiru. Ini poin saya. Jangan kita tiru.
Kepedihan yang dibagikan Mbak Mel membuat ribuan orang yang share curhatannya itu jadi ikut sedih dan �sayangnya- gagal fokus. Hampir semuanya malah menghujat si ibu serta agamanya.
Belajar dari Mbak Melanie, isu SARA itu sensitif, maka kita pandai-pandailah, arif-ariflah, luas-luaskanlah hati. Masalah yang kecil jangan dibesar-luaskan. Kepedihan kecil jangan dikobarkan. Itu jika kita mengaku mengidamkan keselarasan di rumah kita ini. Dan kita bisa. Sungguh bisa.
Sayang saya bukan temannya Mbak Mel. Jika saya temannya, tentu akan saya ajak bercanda agar postingannya di IG berubah menjadi, �Eyang, satu orang ibu menolak dan membuatku terluka. Tapi aku yakin Indonesia tetap akan maju meski tanpa satu orang itu. Jadi, izinkan aku tetap tersenyum untuk Indonesia yang telah kau tinggalkan, Eyang.� ^_^
Betapa ini hanya soal sudut pandang bukan?
Terakhir, entah kenapa malah terbayang di benak saya, Eyang Habibie tersenyum dan menjawab pertanyaan Mbak Mel yang viral itu, �Mel anakku sayang, selain soal pengurus Negara yang tidak benar-benar mengurus rakyatnya, tidak ada yang salah dengan Indonesia. Satu ibu yang melukaimu tidak akan membunuhmu, sebab kau akan tumbuh oleh seribu kuntum senyum milik ibu-ibu lainnya.�
Salam hati yang lapang dan tulus merawat Indonesia dari sebuah desa di Simalungun, setelah jemuran kehujanan. Tentu ini salah saya, bukan salah pemimpin daerah apalagi pusat ^_^
-Wiwik W.
Baca aduan Melanie: Tujuh Hari BJ Habibie, Makanan Melanie Ditolak Ibu-ibu Gara-gara Non-Muslim
Tidak ada komentar