Fahri Hamzah Blak-blakan soal Jokowi dan KPK
mediaumat - Bagus banget nih paparan Fahri Hamzah.. sangat mencerahkan membuka wawasan.
DPR RI periode 2014-2019 akan berakhir hari ini, 30 September 2019.
Di akhir masa periodenya, banyak terjadi pro kontra catatan kritis dari publik. Mulai dari ruang rapat yang sepi, kerja legislasi yang tidak produktif hingga kualitas UU yang dianggap buruk. Dan, yang paling mendapat sorotan tentu saja pengesahan Revisi Undang Undang KPK menjadi UU.
Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah menjawab semua persoalan itu dalam wawancara khusus bersama CNNIndonesia.com.
Data ICW per April 2019, DPR periode ini hanya mengesahkan 26 RUU dari 189 RUU Prolegas. Rata-rata 5 RUU per tahun. Apakah butuh waktu begitu lama untuk membuat dan mengesahkan RUU?
Sekali lagi ini adalah cara melihat yang perlu diperbaiki. DPR tidak bisa dinilai dari akumulasi jumlah pekerjaannya karena pada dasarnya itu pekerjaan yang politis sifatnya. Kadang-kadang dia menambah, kadang kadang dia mengurang. Undang-undang, misalnya, kadang-kadang ditambah kadang-kadang dikurang, berkurang. Itu semua basisnya adalah aspirasi. Kadang-kadang setuju kadang-kadang tidak setuju, maka tidak ada di dunia itu basis apa nama itu penilaian kita kepada legislasi itu pada jumlah, tapi kualitas daripada aspirasi yang ditampung dalam proses kinerja itu.
Undang-undang itu ada yang inisiatif DPR, ada yang usulan DPD dan juga ada yang inisiatif pemerintah atau presiden. Nah, biasanya kalau usulan pemerintah itu, pemerintah melihat ada persoalan urgen dalam perjalanan pemerintah dalam mekanisme dan manajemen pemerintah.
Jadi ada kritik masyarakat kenapa DPR itu nampak lambat di antaranya karena pembuat undang-undang itu meskipun di dalam konstitusi dikatakan kuasa pembuat undang-undangnya ada di DPR, tapi karena dia diusulkan oleh lembaga lain kadang-kadang itu yang membuatnya lama. Makanya saya mengusulkan pada waktu itu pembahasannya atau pembuatan undang-undang itu domainnya DPR aja agar bisa betul-betul dihitung kinerjanya dan itu hanya memerlukan kesepakatan di antara partai politik.
Anggota Dewan juga sering sekadar mengisi absen saat rapat paripurna atau rapat di komisi. Bukankah ini jadi salah satu indikator kinerja?
Itu yang saya bilang, menilai anggota dewan juga enggak bisa dengan melihat kehadirannya, sebab kehadiran yang real itu sebenarnya adalah kehadiran ketika dia bekerja, dan bekerjanya dewan ini tidak hanya di ruang sidang, kadang-kadang di luar sidang juga pada saat dia kunjungan. Makanya, kayak begini di ujung-ujung nih banyak kunjungan, terutama ke daerah sehingga dia tidak hadir di paripurna.
Problemnya kalau kita tidak menghitung kehadiran dia di paripurna, atau menghitung kehadiran dia di paripurna, tapi tidak menghitung kehadiran dia di daerah pemilihannya, kasihan juga padahal dia melaksanakan tugas untuk bertemu dengan konstituen, misalnya, itu juga bagian dari tugas.
Kita memerlukan satu perspektif yang baik untuk menilai kualitas kelembagaan dewan, bukan berarti tidak ada kelemahannya, ada kelemahannya dan kita terus menerus memperbaiki kelemahan dewan itu tetapi sekali lagi jangan misleading dalam cara mengukur kinerjanya.
Jadi apa parameter atau basis penilaian yang pas untuk menilai kinerja wakil rakyat menurut Anda?
Aspirasi, karena kan ini dipilih rakyat. Kalau Anda dinilai kinerjanya oleh presiden nanti presiden yang memilih saya, Anda kembali atau tidak. Kalau Anda dipilih oleh sebuah voting komisaris, Anda bertanggung jawab kepada komisaris. Tapi kalau kita bertanggung jawab kepada rakyat itu nanti yang akan memilih dalam 5 tahun itu adalah rakyat. Makanya, sebenarnya modernisasi parlemen itu atau mekanisme politik di parlemen, itu tidak saja memerlukan manajemen kelembagaan DPR tapi juga kita memerlukan modernisasi sistem perwakilan dan sistem pemilu supaya rakyat punya kewenangan dan hak yang lebih definitif terhadap anggota DPR yang dia pilih atau dalam proses dia memilih.
Saya sendiri pernah mengusulkan sistem distrik sepertinya lebih baik. Kenapa? Karena itu menyederhanakan jumlah daerah pemilihan sehigga rakyat nanti mengontrol anggota dewannya lebih direct, definitif, dan lebih clear. Kenapa? karena dapilnya kecil, misalnya satu kabupaten satu anggota dewan. Kita tahu menilai dia itu seperti apa. Iya kan? Sekarang ada 800 atau 508 Kabupaten/kota se-Indonesia seandainya ada 508 dapil maka seorang anggota dewan itu bisa dipilih dalam satu dapil dan anggota dewannya itu bisa dikontrol oleh hanya satu kabupaten.
DPR periode 2014-2019 ini mengalami tiga kali pergantian ketua. Apakah ikut mempengaruhi kinerja DPR?
Saya kira enggak karena kinerja DPR sekali lagi adalah kinerja politik, ya. DPR itu kan bekerjanya aksi reaksi. Kalau undang-undang itu menyuruh DPR mengawasi pemerintah, bikin undang-undang dengan pemerintah, membahas anggaran sama pemerintah. Jadi basis kerjanya itu adalah tergantung dari pemerintah juga karena semua pekerjaan dewan itu tergantung pada pemerintah. Yang kedua kalau menurut saya ya begitu kita memperkuat sistem pendukung, itu artinya kinerja DPR-nya itu bertambah.
Kalau penelitinya tambah banyak, maka supply kepada otak anggota akan semakin baik, supply kepada otak anggota makin baik, anggotanya tambah cerdas. Kecerdasan anggota itu membuat dia lebih pintar mengawasi pemerintah, lebih pintar dalam membahas undang-undang, dan lebih pintar dalam membahas anggaran.
Oposisi tak berperan maksimal. Dalam banyak kasus fraksi oposisi tak bisa memberikan tantangan maupun kritik politik yang substantif. Tak bisa mengubah kebijakan pemerintah. DPR jadi seperti lembaga pengetuk palu kebijakan pemerintah. Ada apa?
Ya, kalau itu saya bisa mengakui memang masih ada masalah dalam cara kita melihat sistem. Sistem kita ini adalah presidensialisme. Karena rakyat memilih presiden untuk membentuk pemerintahan. Nah, versus sistem parlementarisme, dalam parlementarisme rakyat cuma milih parlemen, dia enggak memilih eksekutif.
Kalau dalam parlementarisme parlemen membentuk pemerintahan yang sifatnya itu lebih labil karena dapat dijatuhkan oleh parlemen, karena parlemen yang membentuk. Nah dalam sistem presidensialisme itu sebenarnya enggak ada oposisi karena oposisinya itu ada di lembaga yang dibuat oleh rakyat sendiri. Jadi rakyat membuat sebuah lembaga eksekutif dibuat untuk menjalankan pemerintahan, legislatif dibuat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Jadi otomatis sebetulnya legislatif dalam sistem presidensialisme adalah oposisi terhadap pemerintah. Tapi kita mereduksinya dengan menganggap bahwa kalau presiden menarik satu dua orang dari partai politik menjadi menteri sifat oposisi dari parlemennya hilang.
Yang terjadi saat ini seperti itu, kan?
Makanya, saya sering mengatakan bahwa independensi lembaga perwakilan (DPR) mutlak kita perjuangkan dan independensi ini yang memang belum banyak. Uang kita (Anggaran DPR) masih diatur oleh eksekutif, pegawai kita masih diatur oleh eksekutif. Dalam banyak hal pekerjaannya presiden itu jauh lebih mendapat back up daripada pekerjaan kita, presiden bisa punya tim yang banyak sekali. DPR baru sekarang mau memperkuat dirinya dengan dibentuk tim dan badan-badan keahlian di DPR ini.
Saya mengusulkan pada waktu itu kalau kita mau memperkuat DPR yang pertama independenkan DPR, dan cara mengindependenkan dia pakai yang saya alami: Anggota dewan itu hanya dicalonkan oleh partai politik, tidak dimiliki.
Sekarang kan ada kesan kalau orang sudah terpilih dia menjadi milik partai, tidak. Partai itu hanya mencalonkan, yang memilih rakyat sehingga yang melekat permanen pada anggota dewan itu adalah hak rakyat. Itulah sebabnya dia dikasih gaji, diberi fasilitas karena rakyat yang memilih dia, partai politik cuma mencalonkan. Itu yang belum ada.
Kalau independensinya merujuk kasus Anda tadi, toh akhirnya Anda disingkirkan oleh partai?
Ya, itulah, makanya saya kan senang sekali ada keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan saya sampai tiga kasasi dan salah satu argumennya adalah kenapa menghukum PKS, itu karena dia merampas hak rakyat. Rakyat NTB memilih saya, partai yang mencalonkan. Ya memang, partai kan bukan cuma mencalonkan saya tapi rakyat milih saya, nah saya enggak boleh diganggu karena pada diri saya itu ada kekuatan sebagai wakil rakyat dan karena itu undang-undang dasar memberikan hak imunitas, memberikan hak kebebasan berbicara, hak berbicara, hak bertanya, dan seterusnya itu.
Jadi kita harus mengindependenkan DPR itu dengan cara diindependenkan dari partainya, diindependenkan dari pemerintah. Jadi sekarang ini anggota DPR independen dari pemerintah belum, dari partai belum. Padahal roh dari seluruh undang-undang dan konstitusi kita harusnya DPR itu sebagai lembaga dan sebagai pribadi harus dibuat independen dan itulah kinerja DPR ke depan kalau kita mau perbaiki
Soal Kontroversi Pengesahan Revisi UU KPK
Revisi Undang Undang KPK diusulkan 5 September kemudian diketok palu jadi UU 18 September. Ini memicu kontroversi.
Rancangan Undang Undang KPK itu mulai diusulkan untuk direvisi tahun 2010, kebetulan saya adalah pimpinan Komisi III. Yang mengusulkan waktu itu ketuanya Pak Benny K Harman, kemudian dimulai pembahasan 2011, 2012 di Badan Legislasi. Lalu presiden SBY waktu itu mengatakan waktunya tidak tepat lalu berhenti. Nah, DPR 2014 berkonsultasi dengan presiden dan mengusulkan kembali kepada presiden ini ada masalah. Tentu setelah ada agregasi, enggak mungkin kita mengubah undang-undang kalau tidak ada aspirasi dari masyarakat atau dari stakeholder bukan cuma masyarakat tapi semuanya, termasuk juga pemegang kendali dari subsistem-subsistem penegakan hukum dan birokrasi serta administrasi negara.
Mereka juga punya hak untuk mengusulkan kepada DPR, inilah yang didengar. Nah, rapat konsultasi berikutnya RUU belum kita mulai pembahasannya tetapi dimasukkan dalam Prolegnas mulai tahun 2014. Jadi dalam Prolegnas 2014-2019 kalau tidak salah nomor 69 itu ada Revisi Undang Undang KPK.
Masuk Prolegnas dari awal, 2014 dan itu tidak pernah diubah bahkan berkali-kali masuk ke dalam Prolegnas prioritas, termasuk yang terakhir. Begitulah prosesnya berjalan 2014, 2015, 2016, 2017. Sosialisasi berlangsung karena pada waktu 2015 konsultasinya pemerintah mengatakan kita bentuk tim masing-masing untuk sosialisasi. Kita bentuk tim di DPR untuk sosialisasi, mereka keliling. Bahkan ada kampus yang menolak karena ini dianggap kayak kitab suci, enggak boleh dibahas ini sudah baku. Tapi kita terus bertemu. Ada notulensi, ada laporan dan sebagainya. Itu semua kita bahas termasuk mengundang KPK meskipun pimpinan KPK sering tidak mau datang, tapi sekarang kan minta. Ya, kan?
Cepat sekali pengesahannya. Masyarakat bertanya-tanya...
Presiden itu bisa bikin undang-undang dalam sejam pakai Perppu. Kalau DPR itu malah panjang ceritanya musti dimasukin Prolegnas dulu, lalu pada tahapan sosialisasi, lalu apa namanya mengusulkan kepada presiden, lalu presiden mengeluarkan Surpres. Baru kemudian rapat. Kenapa rapatnya cepat? Ya, karena kesepakatannya sudah terbentuk 10 tahun. Itu yang kadang-kadang orang enggak paham bahwa kesepakatan itu dibentuk 10 tahun.
Isu-isu kontroversialnya seperti penyadapan, dewan pengawas itu kan hidup juga selama 10 tahun. Tapi enggak digubris oleh DPR keberatan-keberatan dari masyarakat sipil.
Karena itu salah paham semua, KPK salah paham soal penyadapan. KPK menganggap penyadapan itu sebagai tools (alat) penegakan hukum tapi sistem kita sebenarnya tidak memungkinkan penyadapan itu sebagai tools. Itu adalah pelanggaran HAM. Jadi filsafatnya di dalam konstitusi penyadapan itu pelanggaran HAM karena itulah apabila dia mau digunakan maka harus memakai undang-undang. Itulah keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang ITE Pasal 31 ketika pemerintah menyebutkan peraturan lebih lanjut tentang penyadapan akan diatur melalui peraturan pemerintah, lantas dibatalkan oleh MK dengan kalimat bahwa penyadapan adalah pelanggaran HAM.
Penyadapan tidak boleh diatur melalui PP, kasarnya itu 'kamu mau merampas HAM rakyat enggak boleh pake PP, pakainya undang-undang'. Makanya, seharusnya itu ada undang-undang tentang penyadapan, itu belum terjadi. Nanti juga di dalam undang-undang penyadapan dibuat pertanggungjawaban yang lebih rumit sebab dengan dewan pengawas, KPK meminta izin penyadapan ke dewan pengawas itu jauh lebih melindungi HAM. Daripada SOP seenaknya, bikin penyadapan tanpa ada pengawasan. Di negara demokrasi yang matang lebih rumit. Dia harus punya komite penyadapan: orang disadap dari kapan sampai kapan itu harus ditetapkan. Nanti ketika sadapannya sudah ada mana yang boleh dibawa ke ranah publik untuk diperdengarkan di ruang sidang itu ada mekanismenya lagi, ada tim yang memotong-motong. Di kita ini sembrono. Saya pernah membaca BAP orang yang disadap percakapan tentang seks, hubungan suami istri, segala macam itu lengkap ditampilkan, itu pelanggaran HAM.
SP3 juga demikian. Masa kita bisa percaya KPK enggak mungkin salah. Enggak, lah. KPK kan manusia biasa. Orang-orangnya kan juga ada nafsu, bisa demo lagi. Iya, kan? Itu artinya dia punya nafsu, bisa marah, dan sudah sering ketemu kesalahan-kesalahan bocorin sprindik, main-main iya, kan? Punya tindak pidana juga, ya kan? Ada yang pernah masuk bui. Manusia biasa, jadi kalau ada manusia biasa jangan Anda perlakukan seperti malaikat. Jangan diberikan kewenangan yang tidak boleh diawasi dan jangan memberikan instrumen yang seolah-olah dia enggak mungkin salah.
Malaikat itu enggak mungkin salah karena dari awal dia cuma menyembah Tuhan. Tapi kalau ini kan nangkap orang. Bisa juga dia nangkap orang pesenan orang juga, ya kan. Seperti saya mensinyalirkan gubernur aja ditangkap karena mau dinaikin wakil gubernur, bupatinya ditangkap karena wakil bupatinya mau berkuasa, wali kota juga begitu. Ini enggak boleh, ini enggak boleh dibiarkan. Jadi penyadapan, SP3 lalu kemudian ketundukan kepada sistem ASN dan sebagainya itu harus diterapkan di KPK. Supaya KPK itu menjadi sama seperti lembaga lain. Supaya jadi contoh.
Poin-poin kontroversial itu, faktanya memang memangkas kewenangan, melemahkan KPK.
Semua lembaga penegak hukum keluhannya itu KPK enggak mau koordinasi, enggak mau supervisi, enggak mau monitoring. KPK itu seenaknya, main sendiri seolah-olah dia mau mengatakan 'eh, ini cuma saya yang sanggup mengerjakan itu'. Padahal undang-undang ini kalau kita baca jadi ini negara otoriter, ini negara demokrasi dan kita lagi pindah dari otoriter ke demokrasi. Dalam perpindahan ini ada kegagapan kita karena negara yang kita huni sekarang ini negara baru dengan konstitusi baru, menuntun orang dari otoriter tersebut pada demokrasi menuntun politisinya, birokrasinya, polisinya, jaksanya, hakimnya itu perlu pendampingan. Nah, KPK itu dibuat untuk mendampingi bukan untuk menghajar. Menghajar itu sudah ada kerjanya polisi sama jaksa. KPK mendampingi, makanya saya waktu itu kan menggambarkan KPK, itu seperti kayak dewa pegang senjata pamungkas.
Tapi kenapa memilih Firli? Awal dibentuknya KPK adalah untuk menutupi kekurangan kepolisian dan kejaksaan dalam penegakan hukum. Dengan memilih Firli apakah ini bukan langkah mundur?
Ketua KPK pertama Taufiqurrahman Ruki itu polisi, ketua KPK kedua Antasari Azhar adalah jaksa, lalu Antasari Azhar menjadi tersangka dan dipidana. Dipilihlah ketua transisi bernama Tumpak, dari jaksa. Setelah itu baru masuk Abraham Samad kalau enggak salah. Abraham Samad ini punya masalah sama Bambang Widjojanto dipilihlah KPK transisi ketuanya Taufiqurrahman Ruki. Setelah Taufiqurrahman Ruki muncul Agus Raharjo itu birokrat. Jadi sebenarnya ini enggak ada masalah, justru prejudice bahwa brand polisi ini brengsek semua, kotor semua, itu yang bermasalah.
Kita harus mulai percaya pada kualitas manusia dan sistem yang kita bangun. Apalagi melihat bangsa ini, bangsa baik, orang-orang baik. Negara ini didirikan oleh orang-orang baik, bukan bajak laut. Negara yang dibikin sama bajak laut aja bisa bagus, masa negara yang didirikan oleh cendekiawan dan ulama enggak bisa bagus? Jadi saya kira percaya orangnya, bikin sistemnya, nanti keadaan akan membaik. Tetapi kalau terus menerus kita curiga wah itu enggak beres, ini harus dari masyarakat sipil seolah-olah orang LSM itu malaikat semua ya enggak begitu, lah. Manusia sama.
Bagaimana masyarakat mau percaya kalau KPK sendiri menilai Firli terlibat pelanggaran etik berat?
Dulu KPK mentersangkakan Budi Gunawan setelah mendapat surat dari presiden untuk dibawa ke DPR bahwa dia calon Kapolri. Cara mentersangkakannya itu aneh. Saya kan tahu rahasianya karena saya terlibat dan mengetahui bagaimana mereka itu mentersangkakan orang, termasuk meminta tolong juga sama saya supaya kegiatan mempersangkakan orang secara sembrono itu saya dukung. Saya enggak mendukung dan terbukti apa saudara Budi Gunawan aklamasi dipilih oleh paripurna sebagai calon Kapolri. Masih ditersangkakan dia maju ke yudikatif, praperadilan akhirnya menang.
Pertanyaannya apa yang terjadi pada Budi Gunawan, ya? kok dia bisa jadi tersangka? Enggak ada barang buktinya itu. Sembrono.
KPK itu sembrono dan itu dilakukan kepada banyak orang termasuk Hadi Utomo, Ketua BPK karena mengeluarkan audit pada tahun 2012 tentang KPK, mengungkap persoalan di dalam KPK. Dia jadi tersangka dan praperadilan bebas. Maka orang ini diberikan bintang mahaputra oleh presiden.
Firli diseleksi dari ratusan orang, diseleksi oleh pansel yang dibentuk oleh presiden, bekerja menggodok nama-nama ini, keluarlah Firli. Dilakukan klarifikasi tidak pernah ada yang bilang ada pelanggaran etik. Sudah selesai, dikirim ke DPR, begitu dikirim ke DPR bikin konferensi pers. Jadi KPK ini lembaga apa sih sebetulnya? Kok semua diurus? moral orang diurus. Jegal orang kerjaannya.
Saya mengerti sekarang kenapa Pak Jokowi ini ngotot dengan perubahan ini karena Pak Jokowi itu mungkin kecewa dengan KPK. Coba lihat waktu pembentukan kabinet pertama, Pak Jokowi menyerahkan mandat untuk menyeleksi menteri kepada KPK dan KPK kayak apa? merah tidak boleh dilantik karena akan tersangka dalam satu bulan, kuning tidak boleh dilantik karena tersangka dalam enam bulan, hijau ini baru boleh dilantik.
Coba bayangkan orang yang namanya merah itu bocor ke publik dengan yang kuning ini? Apa pertanggungjawabannya? Jadi KPK ini mem-black mail orang, nyebut nama orang di ruang sidang, membocorkan rahasia orang, rekaman orang, itu kayak ringan mengumbar dosa orang. Itu enggak boleh.
Negara tidak boleh grasak-grusuk, sembrono, negara ada sistem, ditegakkan dengan cara yang baik. Jadi ini adalah akumulasi kekecewaan sistem terhadap KPK karena KPK gagal membangun harmoni dalam sistem.
Tapi kenapa DPR saat uji kelayakan enggak memanggil KPK dan tidak mencoba konfirmasi terkait pelanggaran kode etik ini. Kan, masih ada waktu.
Dalam undang-undang tidak ada. Itu wilayahnya pansel dan harusnya mereka selesaikan di situ. Itu lah KPK ingin punya aturan sendiri yang dia bikin sendiri.
Dalam undang-undang tidak ada tetapi secara etik seharusnya kan tak masalah memanggil KPK?
Kalau semua musti melibatkan KPK nanti orang milih istri harus tanya KPK lagi, semua harus tanya KPK. Makanya saya kritik presiden, pilih menteri itu apa urusan dengan KPK? Enggak ada dalam undang-undang. Tapi presiden titip itu kepada KPK, KPK salah, dia berlebihan dalam menggunakan kewenangan, padahal presiden punya hak prerogatif. Nah, jadi KPK itu harus tahu bahwa dia juga punya batasan dalam undang-undang.
Jangan mentang-mentang KPK itu bisa menyadap semua orang, bisa dengar orang, bisa tahu siapa yang mau korupsi, mengintai tengah malam, seolah-olah semuanya sudah diketahui sehingga dosa-dosa pribadi orang pun KPK yang tahu. Kan itu kerjaannya malaikat.
Kalau pekerjaan aparatur Tuhan ini dirampas oleh KPK juga, hati-hati ya. Kita percaya negara ini berketuhanan yang maha esa. Kalau ada cara kerja yang melampaui batas pada akhirnya dia akan kena.pi
Tidak ada komentar