Ini Lima Refleksi Putri Bung Karno Peringati Kemerdekaan Ke-74 Indonesia
GELORA.CO - Anak kandung proklamator Ir Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri berpidato dalam upacara peringatan hari kemerdekaan ke-74 tahun Republik Indonesia di Universitas Bung Karno (UBK), Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (17/8).
Dalam pidatonya, Rachma memberikan refleksi kemerdekaan RI yang menginjak usia hampir tiga perempat abad 74 tahun ini. Ia merefleksikan pidato ayahnya pada 1959 yang berjudul "The Rediscovery of Our Revolution" atau dalam bahasa Indonesia (Penemuan Kembali Revolusi Kita).
Rachma mengungkapkan, ada kemiripan dengan pidato Bung Karno pada tahun 1959 silam itu, dengan kondisi negara Indonesia saat ini. Dia mengatakan, ada sejumlah hal yang menjadi otokritik bagi masyarakat Indonesia hari ini.
Ini sebagai koreksi dan otokritik kita sebagai bangsa yang besar," ujar Rachmawati dalam pidatonya.
Kemudian, Rachmawati juga mengutip soal pidato ayahnya pada tahun 1959 yang dianggap masih relevan dan mirip dengan situasi saat ini di Indonesia.
"Yaitu ketika pada tahun 1959 itu adanya demokrasi super liberal. Demokrasi yang tidak lagi berdasarkan amanat Undang Undang 18 Agustus 1945, tetapi berdasar pada perinsip individualisme, liberalisme, kapitalisme," ujar Rachmawati mengutip pidato Soekarno 1959.
Selanjutnya, Rachma yang juga pendiri Yayasan Bung Karno (YBK) ini memberikan catatan reflektif memaknai dan menyikapi hari Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia tahun ini. Tercatat sekitar 5 (lima) poin menyoal politik, sosial, hukum, hingga budaya, diantaranya:
Di bidang politik, kata Rachma, telah selesainya suksesi kepemimpinan nasional melalui Pemilu Serentak untuk memilih Presiden-Wakil presiden, DPR hingga DPRD melalui sistem pemilihan langsung masih menyisakan catatan serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Antara lain: pelaksanaan Pemilu berciri transaksional dengan biaya mahal bahkan hingga merenggut nyawa kurang lebih 700 orang petugas KPPS tanpa adanya upaya-upaya penuntasan kasusnya," ujar Rachmawati.
"Pemilu Serentak (direcly election one man one vote) diatur oleh UUD 1945. Tapi hasil amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali pada tahun 2001. Dan ternyata, melahirkan ekses-ekses yang sangat membahayakan bagi bangsa dan negara," sambungnya.
Kedua, kata Rachma, kondisi sosial psikologis masyarakat Indonesia telah dirusak sehingga sangat diperlukan kembali proses intergrasi sosial.
"Dimana masyarakat menjadi terbelah (devide et society) antara yang pro dan kontra para kontestan Pilpres," ujar Rachma.
Ketiga, menguatnya politik ego sentrisme. Menonjolkan kepentingan perseorangan atau individual, golongan kedaerahan secara ekstrem yang ingin mengejar kekuasaan semata.
"Suatu situasi yang sebelumnya pernah dikeluhkan oleh Bung Karno, beliau pernah mengatakan bahwa "Kita dinikmati oleh tekad 'Aku' untuk semua. Namun sekarang yang terjadi adalah 'Aku' buat aku," tutur Rachma.
Keempat, adanya upaya-upaya secara sistematis untuk membenturkan Pancasila dengan agama, negara dengan rakyat.
"Ini dilakukan secara massif oleh propaganda-propaganda yang merusak toleransi dan merusak kerukunan antar umat dan beragama," tegas Rachma.
Kelima, munculnya praktek Partytokrasi atau adanya partai politik yang melakukan infiltrasi, penetrasi dan kepada lembaga negara. Hal itu seperti yang terjadi belakangan ini menjelang pembentukan kabinet pemerintahan baru.
"Mohon maaf kalau saya sampaikan disini, bahwa ada partai politik yang terang-terangan meminta jatah kursi dalam kabinet yang akan dibentuk oleh presiden terpilih," cetus Rachma.
Turut hadir dalam upacara peringatan kemerdekaan ini, diantaranya mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, Letjen (Purn) Agus Soetomo, Letjen (Purn) Marinir Soeharto, para duta besar (Dubes) negara sahabat beserta perwakilannya, dan seluruh civitas akademika UBK.(rmol)
Tidak ada komentar