Breaking News

Proyek OBOR China, Siapa Untung?


Oleh: Ibrahim
(Ketua Gema Pembebasan Kota Makassar)

Mediaoposisi.com-Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21, lebih dikenal sebagai Inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalan (OBOR), Sabuk dan Jalan, dan Inisiatif Sabuk dan Jalan adalah suatu strategi pembangunan yang diusulkan oleh pemimpin tertinggi Tiongkok Xi Jinping yang berfokus pada konektivitas dan kerja sama antara negara-negara Eurasia, terutama Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (SREB) berbasis daratan dan Jalur Sutra Maritim (MSR) lintas samudra. 

Strategi tersebut menegaskan tekad Tiongkok untuk mengambil peran lebih besar dalam urusan global dengan sebuah jaringan perdagangan yang berpusat di Tiongkok. Inisiatif ini diungkapkan pada September dan Oktober 2013 masing-masing untuk SREB dan MSR. Ini juga dipromosikan oleh Perdana Menteri Li Keqiang selama kunjungan kenegaraan ke Asia dan Eropa dan konsep yang paling sering disebut di People's Daily pada tahun 2016. 

Dalam bahasa Inggris, inisiatif ini awalnya disebut One Belt and One Road (Satu Sabuk dan Satu Jalan), namun di pertengahan tahun 2016 nama resminya diganti menjadi Belt and Road Initiative (Inisiatif Sabuk dan Jalan) (disebabkan oleh kesalahan penafsiran istilah one (satu). Dalam tiga tahun terakhir, fokusnya adalah terutama pada investasi infrastruktur, material konstruksi, kereta api dan jalan raya, mobil, real estate, jaringan listrik, dan besi dan baja. (Wikipedia.com).

Pada tahun 2013 pemimpin Tiongkok, Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang melakukan kunjungan ke 22 negara yang menandai karakter baru kebijakan luar negeri Tiongkok. Dari 22 negara yang dikunjungi oleh kedua pemimpin tersebut, 12 kunjungan dilakukan ke negara-negara yang menjadi tetangga dekat Tiongkok, yaitu Rusia, Turkemenistan, Kazakhtan, Uzbekistan, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Thailand, India dan Pakistan.

Pada pertemuan itu disampaikan bahwa program BRI (Belt and Road Initiative) ini bertujuan untuk membangun sistem perdagangan internasional yang terkoneksi. Sehingga kita dapati saat ini, proyek tersebut banyak membantu negara-negara dalam hal membangun proyek infrastruktur seperti kereta api, jalan nasional, pelabuhan, bahkan termasuk pembangunan sumberdaya energi. Dalam hal ini, China rela mengucurkan dana hingga USD 150 milliar atau sekitar Rp 2.000 Trilliun setiap tahunnya bagi negara mana saja yang ingin membangun infrastruktur negerinya dengan cepat.  

Selain itu, lewat jalur Sutra dan Sutra Maritim ini, China mengaminkan bagi negeri mana saja di Asia yang ingin menenamkan investasinya di luar negeri, namun dengan dipandu oleh China.

Semenjak direalisasikan, China telah menggaet beberapa negara yang telah ikut di dalamnya, namun naas, beberapa negara tersebut malah terjerat hutang hingga pada titik tidak bisa lagi melunasinya, maka jadilah proyek itu milik China seutuhnya.

Zimbabwe yang memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China. Akan tetapi Zimbabwe tak mampu membayarkan utangnya kepada China, Hingga akhirnya harus mengganti mata uangnnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. 

Penggantian mata uang itu berlaku sejak 1 Januari 2016, setelah Zimbabwe tidak mampu membayar utang jatuh tempo pada akhir Desember 2015. Kemudian, kisah pahit selanjutnya dialami oleh Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. 

Dalam hal ini China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria. Kemudian, ada Sri Lanka yang juga tidak mampu membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan infrastruktur, Sri Lanka sampai harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China. (Kompas.com)

Atas berbagai kasus tersebut maka para pengamat menyebut bahwa proyek OBOR atau BRI ini adalah jebakan hutang untuk menjerat negara � negara berkembang dan mengekor padanya. Banyak  negara yang mulai khawatir akan bernasib sama. Tentu saja penguasa � penguasa yang masih sehat akalnya tidak menginginkan jika negaranya akhirnya terjajah karena hutang yang membengkak.

Angin segar bagi China kemudian datang dari Indonesia, tepatnya pada Jumat, 26 April 2019 dalam acara Forum Bisnis Indonesia-China sebanyak 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding / Mou) antara pebisnis Indonesia dan China setelah pembukaan KTT Belt and Forum Kedua di Beijing. Penandatangan MoU ini disaksikan oleh Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla di acara tersebut. Artinya, Indonesia menyetujui kontrak sebanyak 23 proyek dengan China melalui jalur OBOR tersebut.

Dari 23 proyek yang diteken, nilai investasi dari 14 MoU bernilai total US$14,2 miliar. Meski demikian, Luhut menegaskan bahwa nilai tersebut bukanlah hutang yang harus ditanggung pemerintah. Hal itu bisa terjadi karena hampir semua proyek yang termasuk dalam Koridor Belt and Road sifatnya business to business (B to B), bukan governor to governor (G to G).

Dampaknya Bagi Indonesia

Meski proyek yang diteken itu bersifat B to B, tetap saja Indonesia akan menerima kucuran bantuan berupa pendanaan dari bank China untuk menyelesaikan proyeknya, jika bukan kepada pemerintahnya, maka kepada pengusaha lokal, karena memang disitulah maksudnya China mengeluarkan kebijakan OBOR ini. Mereka melembagakan kerja sama ini dengan membentuk Yayasan Jalur Sutra (The Silk Road Fund) dan Bank Penanaman Modal Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank). 

Artinya, Indonesia bersiap-siap untuk menambah hutang lagi dari China. Hal ini lah yang menjadi kekhawatiran masyarakat Indonesia. Sebab saat ini saja, Indonesia sudah memiliki hutang luar negeri sebesar US$ 372,9 miliar atau meningkat dibandingkan Oktober 2018 yang mencapai US$ 360,5 miliar pada akhir November 2018, atau setara dengan Rp 5.257 triliun.

Selain itu, terhadap proyek ini China memberikan syarat bahwa jika ingin membangun infrastruktur dengan sifat B to B, maka diharuskan dalam membangun Belt ataupun Road tesebut diharuskan menggunakan teknologi dan bahan komoditi lainnya dari produk China. Maka, sifatnya tetap saja hutang, yaitu hutang pengusaha lokal terhadap pengusaha China, dan jika tidak bisa dibayar, maka proyek tersebut akan diambil oleh China.

Sehingga suatu saat nanti, bisa saja di dalam negeri kita akan malah terdapat jalan milik China, pelabuhan milik China, bandara milik China, dsb. Pengangguran akan semakin bertambah, sebab tenaga � tenaga kerja sudah dikuasai China. Maka kriminalitas akan semakin meningkat. Di sisi lain, Indonesia akan diserbu dengan produk � produk asal China yang lebih murah, maka produk Indonesia akan bablaskarena tidak mampu bersaing dengan produk China. Rakyat Indonesia akhirnya menjadi terasingkan di negeri sendiri.

Kesimpulan

Melihat fakta ini, maka sudah selayaknya masyarakat Indonesia sadar, membuka mata dan bangkit melawan proyek ini, sebab hanya akan semakin merugikan Indonesia. Upaya ini adalah nyata usaha mereka dalam rangka meliberalkan Indonesia secara menyeluruh dari hulu hingga ke hilirnya. Sistem ekonomi liberal � kapitalis, memang memaksa orang untuk menjadi serakah jika ingin kehidupannya maju, maka jangan heran, bahwa saat ini China pun tidak segan � segan untuk membuat proyek OBOR / BRI yang lebih pantas disebut sebagai �kolonialisasi� ini semata � mata untuk tetap eksis dalam perebutan �kue� fantastis yang saat ini justru berpusat di Asia.

Dalam perebutan kue itu, tentu saja mereka akan senantiasa adu pamer kekuatan untuk membatasi wilayah jarahannya masing-masing. Sementara negeri � negeri yang kecil dan lemah hanya bisa pasrah ketika kekayaannya dirampas. Sistem pengaturan masyarakat ini, memang tidak akan pernah menguntungkan kita.

Seharusnya Indonesia yang mayoritas penduduk muslim ini juga diatur dengan syariat islam. Bukan malah menjalin kerjasama dengan China � Komunis yang terbukti membenci islam. Saatnya masyarakat dan penguasa menyadari, bahwa satu � satunya solusi atas segala problematika ini hanyalah dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah. Sebab Allah SWT -lah yang mencipatakan bumi ini yang tentunya lebih paham tentang apa yang harusnya kita lakukan setiap masalah yang kita hadapi.[MO/vp]

Wallahu a�lamu bi shawab

Tidak ada komentar