Penyerangan Polisi Terhadap Warga Sipil: Upaya Menghabisi Lawan Politik
Oleh: Dian AK
(Women Movement Institute)
Mediaoposisi.com-Saat ini ratusan juta pasang mata terfokus kepada negara Indonesia. Pasca diumumkannya Capres pemenang pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa hari yang lalu telah menimbulkan ketegangan diantara masyarakat.
Negeri demokrasi tersebut semakin tidak menentu kondisinya. Pada hari Selasa 21 Mei 2019 terjadi penembakan secara brutal kepada peserta aksi damai yang ingin menyuarakan pendapatnya atas kecurangan hasil pemilu.
Tepatnya di sepanjang jalan Thamrin, Jakarta menjadi saksi penembakan yang bertubi-tubi oleh para snapper yang berseragam aparat. Pasukan ini seakan haus darah dan tidak menghiraukan bahwa mereka berhadapan dengan warga sipil yang tak bersenjata. Pasukan ini membombardir dan menghujani peserta aksi dengan tembakan dan bom Molotov.
Akibatnya banyak yang terluka dan tewas. Hingga pada tanggal 22 Mei korban tewas sebanyak 16 orang. Tak hanya itu, tim medis dari Dompet Dhuafa dihalang-halangi, dipukul dan kendaraan dirusak. Mereka seakan lupa bahwa tindakan brutal tersebut telah menyalahi profesi tim kesehatan yang berhak menolong korban.
Apapun alasannya, sesungguhnya serangan barbar yang diperlihatkan aparat telah menyadarkan publik tentang dua hal, pertama kebohongan demokrasi.
Memerangi peserta aksi sama halnya membungkam kebebasan berpendapat. Jargon-jargon murahan bahwa demokrasi akan memberikan kebebasan berpendapat seluas-luasnya hanyalah kamuflase belaka.
Kedua, rezim panik mempertahankan keuasaan. Peristiwa penembakan para peserta aksi oleh snapper semakin menguatkan dugaan bahwa pemerintah tidak segan-segan menghabisi siapa saja yang berani melawannya.
Ada semacam ketakutan ketika publik terus-menerus menginginkan terkuaknya kebenaran hasil pemilu yang terindikasi telah terjadi kecurangan. Untuk membersihkan citranya, framing media pun dilakukan. Sungguh licik.
Sekali lagi, mempercayai demokrasi sebagai solusi masalah ini, sama saja dengan menegakkan benang basah. Klaim demokrasi sistem terbaik seketika runtuh. Rakyat menjadi tumbal demokrasi yang sarat dengan kepentingan dan kekuasaan.
Lantas, apakah kekuasaan yang dibangun di atas penderitaan rakyat, tanpa rasa kepedulian terhadap nyawa rakyat akan membawa masa depan Indonesia lebih baik.[MO/ad]
Tidak ada komentar