Cengkeraman Korporatokrasi di Dunia Pertambangan
![]() |
Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Pegiat TSC)
Mediaoposisi.com-Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, memberikan pandangannya tentang konsep demokrasi saat ini. Menurutnya, konsep itu sedang bergeser ke format baru, yaitu Korporatokrasi. "Sekarang pelan-pelan bergerak dari demokrasi ke negara yang menuju suatu format baru, walaupun formatnya tidak ada penegasan, tetapi arahnya ke korporatokrasi," kata Busyro dalam sambutannya di acara pembukaan Sekolah Antikorupsi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Selasa (kumparan.com, 01/08/2017).
Lebih jauh, Busyro Muqoddas menjelaskan bahwa indikator itu adalah proses tata kelola negara sampai sekarang ini lebih banyak dan ditentukan oleh peran-peran private sector, kelompok, atau kekuatan bisnis. Indikator selanjutnya, lanjut Busyro, yaitu kekuatan bisnis yang memerlukan mitra dari kekuatan politik. Busyro mengatakan, biasanya para penguasa korporat itu akan melalui proses pendekatan kekuasaan ke negara, ke politik, dari pusat bahkan ke daerah.
Dengan demikian, negara lebih banyak diatur oleh kekuatan bisnis yang mengalami krisis etika bisnis dan keadaban bisnis yang memunculkan oligarki bisnis, lalu terjadilah 'perselingkuhan'. Perselingkuhan yang dimaksud adalah terjadinya simbiosis antara kekuatan bisnis 'hitam' dan 'putih' dengan kekuatan politik transaksional. Dan, perselingkuhan itu berubah menjadi oligarki bisnis dengan politik. Ketika mereka semakin dominan masuk pada proses politik dan bisa menduduki atau meraih posisi jabatan politik di kementerian dan lembaga pusat maupun daerah, otomatis birokrasi negara itu ditentukan oleh oligarki ini.
Pendapat dari mantan ketua wakil KPK tersebut menunjukkan titik terang pada waktu belakangan ini. Film �Sexy Killers� adalah salah satu pembuka tabir keberadaan korporatokrasi yang selama ini tersimpan rapi dan tak terendus media. Sexy Killers didistribusikan Watchdoc, rumah produksi film-film dokumenter tentang Indonesia ini menyuguhkan bahwa dibalik terangnya listrik terdapat bisnis batu bara yang dimiliki oleh petinggi negeri. Ditayangkan pula bagaimana kerusakan lingkungan terjadi selama proses penambangan, lengkap dengan dampak dan pengaruhnya bagi ekosistem terdekat yang bersifat mematikan.
Semuanya dikemas dengan kontradiksi yang tajam antara penikmat kekayaan tambang dan korban terdampak tambang. Wajar jika pasca dirilis di YouTube, 13 April 2019 lalu, berhasil menarik perhatian penikmat media hingga ditonton lebih dari 19 juta kali per 25 April 2019. (https://youtu.be/qlB7vg4l-To)
Apa yang diungkapkan dalam film dokumenter ini sejatinya adalah fenomena gunung es, sedikit di antara luasnya peristiwa yang ada. Jamak diketahui bahwa pertambangan Indonesia banyak sekali jenisnya dan tersebar merata dari Sabang sampai Merauke. Terlebih pertambangan ini legal menurut UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 5 tahun 1967 Tentang Kehutanan, UU No. 11 tahun 1967 tentang Pertambangan. Namun, satu jenis tambang yang diungkapkan saja menunjukkan betapa dampak yang ditimbulkannya sangat luar biasa. Menyebabkan penderitaan bagi rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan dan menumpuk kekayaan pada segelintir orang lainnya. Melebarkan jurang antara si kaya dan si miskin.
Patut menjadi perhatian bersama bahwa korporatokrasi yang demikian adalah sebuah konsekuensi dari sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis. Sejak dari asasnya, kedua sistem ini telah menjadikan posisi manusia sebagai pengatur independen segala hal yang berkaitan dengan hidup sehari-hari termasuk dalam aktivitas pemerintahan dan pencarian harta kekayaan. Konsep sekularisme yang dipegang oleh demokrasi kapitalisme ini menjauhkan peran Tuhan dalam kehidupan. Tuhan masih diyakini keberadaannya namun penempatannya hanya khusus saat menjalan ibadah ritual semata. Walhasil tata kelola apapun, aturan manusialah yang digunakan.
Bahayanya, ketika aturan tersebut lahir dari manusia yang sifatnya serba kurang maka aturan yang dibuat akan menguntungkan satu pihak dan mematikan pihak yang lain. Demikianlah yang terasa dalam korporatokrasi saat ini. Terjadi simbiosis mutualisme antara pengusaha dan penguasa. Para korporat (para pengusaha kaya raya atau konglomerat) memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dalam suatu negara. Secara praktis, para konglomerat ini menjadi donatur atau penyumbang utama yang menghidupi para politikus, pejabat-pejabat militer, dan kepala-kepala instansi suatu negara.
Akibat lanjutannya, bisa saja muncul kebijakan dan peraturan yang diundang-undangkan hanya
menguntungkan bagi bisnis para konglomerat saja sehingga makin menindas golongan ekonomi lemah. Yang kuat akan semakin kuat dengan legalitas dari kekuasaan, sedangkan yang kalah dan lemah harus menerima keadaan dengan pasrah. Hadirnya masyarakat miskin yang banyak adalah potret nyata imbas dari kebijakan yang dihasilkan. Kekayaan hanya berputar pada sekelompok elit sedangkan kelompok lainnya harus puas berebut remahan sisa kekayaan yang masih tercecer dengan kerja keras dan pertarungan yang luar biasa.
Ketidakadilan inilah yang berusaha dihilangkan oleh Islam. Sistem Islam menjadikan Tuhan ada dalam setiap aktivitas, dalam urusan ibadah, maupun dalam urusan publik sehari-hari. Walhasil, segala aturan yang digunakan untuk mengelola kehidupan, dari urusan pribadi hingga urusan negara, semuanya disandarkan pada apa yang diatur rinci berdasarkan tuntunan agama. Ketaqwaan individu sebagai pilar awal penyangga sistem akan menjadikan orang takut aji mumpung. Takut memanfaatkan jabatan untuk mengokohkan korporasinya sebab akan ada hisab di kemudian hari. Kontrol masyarakat sebagai pilar kedua, akan memantau kekayaan alam yang masuk pada kantong yang tepat sesuai dengan dimensi kepemilikannya.
Dalam pandangan Islam, kepemilikan dibedakan menjadi tiga, kepemilikan individu, kepemilikian umum, dan kepemilikan negara. Khusus kepemilikan umum, Islam menjelaskannya dengan kategori benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Ada tiga jenis kepemilikan umum:
(1) Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik, dll.
(2) Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid, dll.
(3) Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam). Rasulullah Shalallahu �alaihi wa salam bersabda, "Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga perkara: padang, air dan api." (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, regulasinya diatur oleh negara sebagai pilar ketiga pelaksana sistem Islam. Dalam konteks ini, negara diisi oleh pemerintahan yang bertaqwa sehingga sangat minim potensi mengkhianati amanah pelayanan pada rakyat. Negara akan menyediakan secara memadai barang-barang (kepemilikan) umum kepada masyarakat. Negara tidak akan pernah membiarkan sumber daya alam dimiliki oleh individu, apalagi dijual kepada pihak asing. Bahan tambang baik yang strategis, vital atau yang tidak termasuk keduanya, semuanya dikelola oleh negara dengan sebaik-baiknya.
Negara akan menyelenggarakan manajemen yang baik, termasuk dengan mempersiapkan sumber daya manusia dan tenaga ahli di kalangan kaum Muslim yang cakap dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Negara dapat mengadakan pelatihan dan studi keahlian, jika perlu dengan melibatkan pihak luar yang dinilai layak, dengan dana yang disediakan oleh negara. Negara juga dapat melakukan transfer teknologi atau pembelian teknologi demi optimalisasi pemenuhan kebutuhan umum. Negara, selanjutnya, akan menyirkulasikan kekayaan kepada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang.
Demikianlah, konsep ideal Islam memberi solusi atas korporatokrasi di dunia pertambangan. Hanya saja, konsep ini tidak dapat dilakasanakan secara sempurna tanpa wadah yang tepat. Oleh karenanya, pengadaan wadah tepat bagi sistem Islam adalah hal yang patut diupayakan keberadaannya.[MO/ms]
Post Comment
Tidak ada komentar