Breaking News

Analisi Proyek Obor, Indonesia Dijajah Oleh Kapitalis Dari Timur

Oleh : Irianti Aminatun 
(Pemerhati Masalah Umat)

Mediaoposisi.com-One Belt and One Road (OBOR) adalah suatu strategi pembangunan yang diusulkan oleh pemimpin tertinggi Tiongkok Xi Jinping yang berfokus pada konektivitas dan kerjasama antara negara-negara Eurasia, terutama Republik Rakyat Tiongkok. Sabuk ekonomi jalur Sutra berbasis daratan dan Jalur Sutra Maritim lintas samudra.

Strategi tersebut menegaskan tekad Tiongkok untuk mengambil peran lebih besar dalam urusan global dengan sebuah jaringan perdagangan yang berpusat di Tiongkok.

Salah satu tindak  lanjut dari strategi tersebut adalah digelarnya KTT OBOR pada jumat 26 April 2019 lalu, yang menghasilkan penandatanganan 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pembisnis Indonesia dan China.

Penandatanganan kesepakatan yang disaksikan Yusuf Kalla ini akan difokuskan pada empat koridor, yaitu : Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara dan Bali.

Sejauh ini sejumlah perusahaan sudah menyetujui skema bussines to bussines (B to B) dengan perusahaan asal China.

Beberapa diantaranya merupakan proyek sektor energi seperti elektrifikasi Sulbagut 1 dan Sulawesi Utara 3 yang dikembangkan PT Toba Bara Sejahtera.

Selain itu ada pula kerjasama untuk dua pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang akan dikembangkan PT Indonesia Dafeng Heshun yang akan menggarap PLTA Kayan dan PT Lentera Damar Amerta yang akan menggarap PLTA Salo Pebatua.

Proyek ini  dikatakan sebagai bussines to bussines, sebagaimana pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan bahwa dari 23 proyek yang diteken, nilai investasi dari 14 Muo bernilai total US$14,2 milliar.

Meski demikian, Luhut menegaskan bahwa nilai tersebut bukanlah hutang yang harus ditanggung oleh pemerintah.

�Kita [Proyek Empat Koridor Belt and Road) hampir tidak ada urusan pada debt atau utang nasional,� katanya, Sabtu (27/4/2019).Hal itu bisa terjadi karena hampir semua proyek yang termasuk koridor Belt and Road sifatnya bussenes to bussines (B to B) bukan governor to governor (G to G).

 Investasi Cina sesungguhnya merupakan bagian dari strategi Global Cina untuk menguasai bisnis di  Indonesia dan menjerat Indonesia  dengan hutang.  Penekenan kontrak ini  hanya melanjutkan kontrak kontrak sebelumnya yang  sudah ditandatangani.

Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung yang sudah lebih dahulu ditandatangani misalnya,  semestinya menjadi pelajaran.

Pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung juga dikatakan sebagai bussines to bussines. PT KCIC  sebagai penanggungjawab proyek senilai US$5,5 miliar atau Rp 76,4 triliun ( kurs saat itu 13.900) itu mayoritas dananya berasal dari utang dari China Development Bank (CDB) yaitu sekitar 75 % (Rp 57 triliun).

Utang itu, 63% dalam US$ dengan bunga 2% pertahun dan 37% dalam mata uang Yuan dengan bunga 3,64 % pertahun.

Jangka waktu pengembalian hutang hingga 40 tahun dengan tenor 10 tahun. Sebesar 25% dana proyek berasal dari modal PT KCIC, terdiri dari 15 triliun dari PSBI dan 10 triliun dari China Corporation. (Al-Islam edisi 793).

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai proyek kereta cepat jakarta-Bandung tidak pernah akan menghasilkan keuntungan bagi anggota konsorsium meskipun dihitung dalam jangka panjang.

Fitra menemukan adanya ketidakseimbangan penerimaan dengan pembayaran cicilan bunga pinjaman per tahun yang perlu dibayar oleh konsorsium PT KCIC kepada pihak perbankan China yang menyediakan pinjaman.

Menurut perhitungan Gulfino (Peneliti Fitra), setiap tahunnya KCIC harus membayar cicilan utang dalam dolar sebesar US$64,95 juta dan bunga sebesar US$1,3 juta sehingga total cicilan sebesar US$66,25 juta per tahunnya.

Selain itu KCIC juga harus membayar US$38,37 juta dan bunga sebesar US$1,4 juta untuk utang dalam bentuk yuan dengan total US$39,77 juta per tahunnya.

Artinya setiap tahun KCIC harus bayar hutang US$106,02 juta atau setara dengan  Rp 1,45 triliun. Hal ini lebih besar dibandingkan dengan estimasi penerimaan kereta cepat yang sebesar Rp 1,04 triliun per tahun. Artinya proyek ini memiliki potensi rugi.

Terkait penerimaan KCIC, Fitra memperkirakan perusahaan patungan BUMN China dan Indonesia itu hanya mampu menghasilkan pendapatan maksimal Rp 2,88 miliar per hari. Dengan kata lain pendapatan pertahuan Rp 1,04 triliun jika seluruh asumsi perhitungan terpenuhi.

Di dalam hitungan penerimaan tersebut, Fitra menggunakan variabel frekuensi keberangkatan kereta. Dari data yang dimilikinya, frekuensi keberangkatan per hari kereta cepat adalah 11 kali yang menarik delapan rangkaian kereta dan bisa menampung 583 orang sekali jalan dengan tarif Rp 225.000 ribu per orang.

Seandainya PT KCIC gagal membayar utang, maka keempat BUMN yang menjadi jaminan utang itu Wijaya Karya, KAI, PTPN VIII dan Jasa Marga-- bisa diambil alih oleh China. Jika ini terjadi, aset milik rakyat akan dikuasai China.

Jadi one belt and one road merupakan  gelombang penjajahan ekonomi China, Kapitalisme dari Timur. Tak ada bedanya antara Kapitalisme Barat dan kapitalisme Timur.

Sama-sama menjadikan utang sebagai alat menjajah. Tujuannya juga sama, untuk menghisap sumber daya negeri ini, bahkan lebih. Jika Kapitalisme Barat biasanya hanya memberikan utang dan mensyaratkan tenaga ahli ikut di dalamnya, Kapitalisme Timur (China) lebih dari itu.

China mensyaratkan bahan, teknologi dan segalanya dari China, termasuk tenaga kerjanya. Itu masih ditambah lagi dengan bunga utang.

Penjajahan ini tidak bisa berjalan kecuali ada penguasa yang sangat pro investasi China. Disadari atau tidak penguasa seperti itu adalah kaki tangan yang menjalankan kepentingan penjajahan ekonomi China.

Penjajahan Kapitalisme Timur ini mendapat jalan lebar karena strategi pembangunan yang ditempuh rezim saat ini secara hakiki tidak berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Berkedok investasi, Pemerintah terus menumpuk utang yang bisa menenggelamkan negeri ini.

Kemandirian negeri ini tergadai karena komitmen utang mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan pemberi utang, namun merugikan negara pengutang dan rakyatnya. Apalagi semua utang itu disertai riba yang jelas diharamkan oleh syariah.

Penjajahan oleh Kapitalisme Timur dilakukan atas sektor-sektor yang selama ini belum disentuh oleh Kapitalisme barat. Alhasil, lengkaplah penjajahan atas negeri ini. Hampir tidak ada sektor yang luput dari penjajahan Kapitalisme Barat dan Timur.

Tentu, semua itu harus diakhiri, sebab semua itu menjadi jalan bagi aseng dan asing untuk menguasai dan mengontrol negeri ini  serta menghisap kekayaan alam dan sumberdaya yang mereka miliki.

Tidak ada cara yang bisa ditempuh untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan Kapitalisme Barat dan Timur kecuali dengan kembali menerapkan syariah islam secara total di bawah sistem Khilafah Rasyidah �ala minhaj an-nubuwah.

Khilafah nantinya akan menjalankan sistem ekonomi Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia negeri ini, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan islam seperti utang ribawi.[MO/ad]

Tidak ada komentar