Mantra Usai Pilpres

HASIL quick count (QC) yang sudah sepekan memenangkan paslon Jokowi-Ma'aruf tak semerta-merta meyakinkan pendukungnya. Keraguan masih menyelimut.
Apa benar QC lembaga-lembaga survei ini tepat?
Itulah kira-kira pertanyaan yang berkelindan dibenak partai pendukung petahana. Wajar.
Apalah tidak. Berbulan-bulan mereka dilambungkan oleh berderet lembaga survei. Dengan angka selisih jauh dari apa yang didedah saat ini. Keunggulan 20 persen lebih. Menjadi hanya 6 sampai 9 persen. Selisih yang membuat dahi mengkerut.
Bahkan, angka kemenangan yang digdaya itu masih di-publish beberapa hari sebelum Pilpres. 'Tak akan ada perubahan signifikan' kata lembaga survei meyakinkan induk semangnya.
Pada ujungnya, keraguan kubu 01 ini akan bermuara pada keraguan lain: jangan-jangan keunggulan yang dihidangkan itu pada faktanya berakhir kepada angka minus. Alias kalah. Tapi tarung belum usai. Strategi berlanjut.
Sadar nian kemenangan Pilpres adalah dominasi angka, maka segala potensi bentuk angka-angka yang memenangkan harus masif dijejal ke khalayak. Ilmiah atau persepsi, itu belakangan.
Maka penting menghujani media dengan angka QC. Yang penting masyarakat tahunya paslon 01 menang. Hanya itu misinya. Sampai di semprit KPI.
TKN putar otak. Harus ada data angka-angka lain yang tetap harus tayang tanpa henti di media televisi seperti QC. Maka, real count (RQ) Situng KPU yang bejibun salah itu akhirnya dipilih untuk dijejal di media mainstream. Mengganti QC.
Apakah lagi persentase keunggulan sementara di RQ Situng KPU lebih kurang sama dengan QC. Dengan data yang masuk, atau yang dipercepat masuk dari daerah basis pendukung Jokowi-Maruf: Jateng dan Jatim. Entah kenapa. Atau entah oleh siapa menjadi seperti itu.
Jabar dan Banten, bahkan Jakarta yang basis suara paslon 02 nampaknya masih tercecer atau mungkin dicecerkan untuk dimasukkan di Situng KPU. Atmosfer keunggulan di QC harus dipertahankan. Berestafet QC ke RQ.
Tak cukup dengan mantra angka-angka. Kubu 01 yang juga penguasa saat ini memberdayakan segala sumberdaya negara. Ribuan pasukan brimob dari berbagai wilayah didatangkan ke ibu kota. Katanya untuk stabilitas keamanan nasional. Seakan-akan republik yang baru berpesta dalam keadaan darurat.
Tapi publik juga tidak begitu mudah percaya. Ini hanya dianggap sebagai strategi untuk menyampaikan kabar 'Sudah, daripada perselisihan berakhir pada kerusuhan, lebih baik terima saja apa adanya' itulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan.
Paslon 02 dan pengikutnya juga tidak tinggal diam. Mereka sadar tidak memiliki dan menguasai sumberdaya: dana, media, aparatur. Maka, menguasai ruang pembicaraan publik tetap harus dikuasai sebelum hasil penghitungan manual perjenjang usai.
Maka keluarlah seruan 'Mengamankan dan menjaga kemenangan' dari Kertanegara.
Meski di saat yang sama tidak sepenuhnya Prabowo-Sandi meyakini benar-benar unggul dalam perolehan suara. Syukuran yang berulang itu penting. Sama pentingnya dengan membuka bobrok pelanggaran yang ada: menjaga semangat kemenangan bagi pengikut dan saksi di setiap jenjang tadi.
'Kalau tidak dicurangi. Kita menang 75 persen' kata Djoko Santoso. Ketua BPN. Yang dengan data internalnya Prabowo-Sandi unggul 62 persen.
Sahut-menyahut klaim kemenangan ini buah dari kepercayaan yang sudah pudar di negeri ini. Yang harusnya berada di tengah: aparatur negara, kaum cerdik pandai. Dengan posisi strategisnya sebagian dinilai tidak berdiri lagi pada posisinya. Buktinya terlalu banyak. Kecurigaan yang sama juga dilabuhkan ke penyelenggara.
Pemilu adalah gambaran dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. Helat lima tahunan yang tidak hanya tentang memilih. Namun juga cerminan perilaku rakyat dan yang diberi amanah kekuasaan.
Kecurangan sebagian penyelenggara, peserta dan juga sebagian rakyat yang menikmati kecurangan itu adalah tragedi.
Lalu apa yang diharap dengan pengelolaan negara ditangan eksekutif dan legislatif ke depan? Mustahil amanah akan dijalankan sepatutnya jika diperoleh dengan cara yang culas. Ini sangat merisaukan.
Pertanyaan lainnya. Revolusi mental apa yang ditransfer oleh rezim saat ini? Yang dulu digaungkan menjulang langit?
Dan yang terjadi saat ini terjawab sudah dengan apa dicakap baginda nabi ini 'Jika sesuatu tidak diserahkan pada ahlinya, maka tunggulah kehancuran'.
Kehancuran yang dinikmati oleh segelintir orang. Sesaat.
Alwira Fanzary Indragiri
Ketua OKP Lingkar Anak Negeri Riau (LAN-R); Wartawan
SUMBER
Post Comment
Tidak ada komentar