Breaking News

Hipokrisi Demokrasi


Oleh: Erna Ummu Azizah
(Ibu Peduli Umat)

Mediaoposisi.com-Tepat 17 April 2019 lalu rakyat Indonesia melaksanakan Pemilu secara serentak. Antusias masyarakat pun begitu besar untuk memberikan suaranya. Mereka berharap pemilu kali membawa perubahan dan perbaikan untuk bangsa dan negeri ini, mengingat di rezim yang ada saat ini banyak kekecewaan yang menghinggapi masyarakat. Mulai dari kehidupan ekonomi yang masih jauh dari kata sejahtera, angka pengangguran yang tinggi, harga-harga pangan yang kian hari kian melambung, juga sederet permasalahan lainnya.

Namun sayang, Pemilu yang diharapakan membawa perubahan ternyata menyisakan berbagai permasalahan. Seperti dikutip dari laman media online tirto.id, 17 April 2019, "Penyelenggaraan pemilihan umum 2019 di sejumlah daerah mengalami kendala. Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu."

Tak hanya dalam masalah teknis, dalam penyelenggaraan 'Pesta Demokrasi' inipun dilaporkan memakan biaya yang cukup fantastis. "Harapan bahwa negara akan lebih berhemat dengan pemilu serentak ternyata hanya teori belaka. Pemerintah menganggarkan Rp24,8 triliun untuk penyelenggaraan pemilu serentak pada 2019, yang meliputi Pilpres dan Pileg. Sebelumnya pada 2018, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran pemilu sebesar Rp16 triliun. Artinya, pemilu serentak justru menghabiskan lebih banyak biaya." (tirto.id, 22 April 2019)

Dan yang lebih tragisnya lagi, Pemilu kali ini telah menelan korban jiwa yang cukup banyak. "Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 sebanyak 144 orang dan 883 sakit." (CNN Indonesia, 24 April 2019)

Belum lagi dengan hebohnya pemberitaan tentang kecurangan dan cara-cara kotor seperti serangan fajar, money politics, vote buying, dsb menambah sederetan panjang permasalahan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi ini. Masyarakat pun akhirnya dibuat 'galau'. Mungkinkah Pemilu kali ini bisa membawa perubahan?

Lelah..Ya, rakyat begitu lelah. Pesta demokrasi tidak hanya mahal, juga telah menguras segenap jiwa raga rakyat. Harapan yang begitu tinggi demi tercapainya perubahan. Padahal, belum tentu pula pemimpin yang dipilih akan membawa kesejahteraan bagi mereka. Karena seperti yang sudah-sudah, semua calon pemimpin kebanyakan dipoles yang tampak di luar saja. Pencitraan dan umbar janji dalam kampanye.

Dalam era media massa dan elektronik yang sangat masif tentunya pencitraan hanya bisa dibeli oleh orang-orang yang memiliki modal kapital besar. Partai-partai politik pun diisi oleh orang-orang dari background yang sebetulnya hampir sama atau paling tidak memiliki cara pandang dan keberpihakan yang hampir sama yang banyak orang menyebutnya sebagai kartel politik. Sehingga, pemimpin yang terlahir adalah tidak lebih dari pemimpin pesanan sponsor atau pemodal.

Demokrasi telah menjadi demokrasi lips service. Pesta demokrasi menjadi panggung sandiwara dengan rakyat menjadi penonton. Hari-hari dari bangsa ini dihabiskan untuk mengejar kemenangan pertarungan politik pemilu, konflik antar pendukung, serta sengketa hasil pemilu. Awalnya rakyat dibuat terkesima, sehingga mau memberikan suaranya. Namun setelah itu habis manis sepah dibuang. Miris!

Setelah terpilih, penguasa yang duduk dalam sistem Demokrasi berlomba-lomba mengembalikan modal kampanye. Tak heran jika banyak yang korupsi, rakyat pun diabaikan. Penguasa lebih mementingkan pribadinya, partainya bahkan para kapital yang dulu membiayainya. Penguasa seakan tersandera oleh hutang budi kepada berbagai pihak pada saat pemilu, termasuk pihak asing. Maka wajar jika akhirnya penguasa lebih tunduk pada kepentingan korporasi dan asing.

Sebagai contoh, kebijakan pembukaan kran liberalisasi minyak dan gas serta bahan tambang dan mineral lain serta penjualan aset-aset negara strategis yang sesungguhnya amat merugikan ekonomi nasional, namun ternyata tetap dilakukan meskipun mengecewakan bahkan mengorbankan rakyat banyak. Maka layaknya bermimpi jika mengharap lahirnya pemimpin yang nasionalis, pro rakyat, dan berani berkata tidak dengan asing jika sistem yang ada sekarang dipertahankan.

Dari fakta-fakta ini membuktikan bahwa rakyat tidak bisa berharap bahwa Pemilu dalam sistem demokrasi benar-benar menjadi sarana untuk melakukan perubahan, sekalipun hanya merubah rezim. Demokrasi hanya akan berpihak pada penguasa yang akan melanggengkan penjajahan sistemisnya dalam segala aspek, baik politik, ekonomi maupun sosial dan budaya. Hipokritnya demokrasi itu karena jargon 'dari-oleh-untuk rakyat' tidak pernah benar-benar terbukti. Padahal yang dipakai uang rakyat, tenaga rakyat tapi pemilu hanya sebagai sarana bagi korporasi dan rezim untuk menguasai rakyat.

Sehingga tidak heran, dari zaman dahulu telah banyak kritik terhadap demokrasi ini yang dikeluarkan oleh para tokoh dunia. Aristoteles menyebutkan, �Demokrasi adalah pemerintahan yang menyimpang, karena terjadi pemanfaatan kepentingan hanya untuk (beberapa kalangan) orang-orang saja. Singkatnya, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang aturannya berdasarkan kehendak rakyat banyak, yang para pejabatanya baik dewan perwakilan rakyat maupun peradilan menghendaki untuk dibayar atau diupah.� (Dr. JH. Rapar, Th, D., Ph, D. Filsafat Politik Aristoteles, hal. 50-51&91)

Sampai kapan kondisi seperti ini akan terus dipertahankan? Pemimpin baik tidak cukup, tapi butuh juga sistem yang baik. Ada ukuran yang lebih tinggi dari demokrasi, yaitu sistem yang diturunkan Allah, Sang Pencipta sekaligus Pengatur manusia. Sistem yang berlandaskan ketakwaan. Takut kepada Tuhan menjadikan manusia tercegah dari perbuatan maksiat dan kedzoliman. Semestinya sistem seperti inilah yang harus diperjuangkan agar terwujud perubahan hakiki yang didambakan oleh umat. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar