Sebut Kafir Pada Zaman Penjajahan Belanda, Ulama NU Ini Diadili
Pimpinan Muktamar NU tahun 1958. Kiri-kanan: KH Bisri Syansuri, KH M. Dahlan, KH Abdulwahab Hasbullah, dan KH Raden Asnawi. |
Kiai Asnawi menegaskan bahwa dirinya sekadar mengatakan apa yang tersebut dalam kitab Fiqih: Falaa tajibu �alaa kafirin ashliyyin wa shobiyyin wa majnuunin artinya maka sembahyang itu tidak wajib dikerjakan oleh orang kafir, anak masih bayi, dan orang gila.
�Dengan demikian maka siapa pun yang tidak melakukan sembahyang atau yang merasa dirinya tidak dibebani kewajiban sembahyang, samalah artinya dengan menyamakan dirinya orang gila. Yang menamakan dirinya sama dengan orang gila ialah pengakuannya sendiri berdasarkan bunyi kitab Fiqih, saya sekadar menerangkan bunyi kitab itu,� kata Kiai Asnawi membela diri.
Pengadilan menjatuhkan hukuman denda sebesar 100 gulden. Namun, Kiai Asnawi tidak memiliki uang sebanyak itu. �Kalau tak mampu membayar denda 100 gulden, Pak Kiai mesti masuk penjara sekian hari,� kata ketua pengadilan.
Kiai Asnawi keberatan alasannya masuk penjara bagi orang tua seperti dirinya amat menyusahkan. �Lagi pula bagaimana nasib santri-santri saya? Siapa yang mengajar mereka? Siapa yang mengimami sembahyang?� tanya Kiai Asnawi menebar pandangan ke sekeliling ruang pengadilan. Dia tetap berdiri dibantu tongkat dengan kepala tegak.
Majelis menjadi riuh. Ketua pengadilan menskor persidangan sambil berunding dengan jaksa. �Perundingan sambil berbisik itu diakhiri dengan sang ketua pengadilan merogoh dompet dari kantongnya dan menyerahkan sejumlah uang kepada jaksa,� kata Saifuddin, ayah dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
�Pak Kiai, ini ada uang seratus gulden, harap Pak Kiai membayarkan dendanya,� kata jaksa. Kiai Asnawi pun dibebaskan dengan membayar denda seratus gulden yang berasal dari ketua pengadilan.
sumber : historia
[islamedia].
Tidak ada komentar