Sandiwara Dibalik Mahalnya Tiket
Oleh: Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan
Jika ditotal keduanya akan menghasilkan angka fantastis dan membuat berpikir ulang untuk menggunakan transportasi udara.
Bandara-bandara megah yang tadinya ramai tetiba sepi bak kuburan. Bandar udara Syamsudin Noor justru kehilangan 30.000 penumpangnya (12/2). Banyak maskapai yang membatalkan penerbangan-nya karena tak ada penumpang. Tak hanya dunia penerbangan yang terkena imbasnya, UMKM pun banyak yang megap-megap. Asosiasi agen travel pun menjerit karena harga tiket mahal dan bagasi berbayar (22/2).
Menteri pariwisata pun membenarkan adanya keluhan dari semua pelaku industri pariwisata dan turunannya, mulai dari wisatawan, hotel, travel agent, UMKM, restoran, petani sayur, peternak ayam, dan lainnya (26/2).
Salah satu tenant di bandara Syamsudin Noor mengaku jumlah pengunjungnya menurun drastis, jika biasanya ada 10-15 orang perhari, semenjak tiket mahal hanya 4-5 orang setiap hari. Para porter mengaku sulit mendapatkan Rp50.000 dalam sehari (8/2).
Presiden kaget mendengar mahalnya tiket pesawat, dan segera memanggil dirut pertamina (12/2). Harga avtur yang dijual oleh pertamina, sebagai tersangka utama atas mahalnya tiket pesawat.
Menurut presiden, harga avtur pertamina lebih mahal 30% dibandingkan di luar negeri. Pertamina pun diminta menjual avtur dengan harga yang sama dengan harga internasional. Apabila Pertamina tidak bisa, maka presiden akan memberikan kesempatan ke perusahaan lain yang dapat menjual avtur di Indonesia (12/2).
Pertamina sebagai satu-satunya penjual bahan bakar pesawat (avtur) dianggap memonopoli harga. Pertamina memberi alasan bahwa harga avtur yang dijualnya masih kompetitif. Bahkan di pertengahan Februari tadi, harga avtur sudah diturunkan, namun tiket pesawat tetap mahal dan kebijakan bagasi berbayar masih berlanjut.
Aroma liberalisasi avtur mulai tercium dibalik kenaikan harga tiket pesawat. Sinyal dari RI 1 bahwa akan memberikan kesempatan perusahaan lain untuk menjual avtur di Indonesia bukanlah sekonyong-konyong. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) dalam Gala Dinner HUT PHRI bersama presiden, berharap agar masalah mahalnya tiket pesawat karena avtur ini segera teratasi.
Dia berharap pemerintah bisa segera mencarikan solusi mengenai kondisi tersebut dengan menghentikan monopoli pertamina dalam menjual avtur. Caranya dengan memberikan peluang kepada perusahaan lain untuk menjual avtur dengan harga yang lebih kompetitif (12/2).
Ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance adalah lembaga riset independen dan otonom), menyarankan pemerintah membuka jalan bagi kompetitor untuk masuk ke bisnis penjualan avtur. Namun, kompetitor itu harus bersedia membangun infrastruktur distribusi avtur yang efisien. Biaya distribusilah yang membuat avtur mahal.
Di luar negeri, avtur didistribusikan lewat pipa bawah tanah, sedangkan di sini masih lewat jasa transportasi.
Sudah ada perusahaan yang menyatakan berminat masuk ke bisnis avtur, yaitu PT AKR Corporindo (jpnn.com, 14/2/2019). PT Aneka Kimia Raya (AKR) Corporindo Tbk. menggandeng raksasa minyak asal Inggris British Petroleum (BP) untuk menjadi pesaing PT Pertamina (Persero) dalam menggarap pasar avtur di Indonesia (15/2).
Dengan masuknya pemain baru dalam perdagangan avtur dalam negeri, apakah harga akan turun? Bukankah akan terjadi persaingan yang semakin merajalela. Tidak menjamin pula harga tiket pesawat tak naik dan turun. Apa justru tambah semakin fluktuatif.
Diakui oleh Ketua Umum iNACA (Indonesia National Air Cartier Association), bahwa avtur bukan satu-satunya variabel penentu harga tiket pesawat. Ada 30% dari biaya sewa/cicil pesawat terhadap operasional. 20% biaya pegawai, 10% kontribusi biaya jasa bandara, dan 40% avtur. Yang kesemuanya distandarkan dalam dollar (27/2).
Jelaslah, bahwa ada sandiwara dibalik kenaikan harga tiket pesawat. Ada kapital yang siap bermain di pasar avtur.
Aroma liberalisasi avtur sudah tercium. Sebenarnya ekonom INDEF sudah menyampaikan permasalahan harga avtur, yaitu pada masalah distribusi. Semestinya, pemerintah mengupayakan distribusi yang efisien, bukan mempersilakan swasta turut jualan avtur.
Apalagi jika kita mengingat amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang harus digarisbawahi adalah kata "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Namun ternyata dianulir oleh UU Migas. Salah satu pasal dalam UU Migas, yaitu Pasal 1 ayat (23) dan Pasal 4 ayat (3) yang intinya menyebut bahwa pengelolaan migas diserahkan kepada Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sebagai wakil pemerintah untuk menandatangani kontrak-kontrak dengan para kontraktor. Ini UU yang inkonstitusional, karena bertentangan dengan UUD 45. Dan menjadi pintu masuk penjajah asing untuk mengeruk SDA kita.
Tak hanya mengeruk, namun juga ikut jualan. Sektor hulu dan hilir migas kita telah terbuka bagi asing. Lalu kapan kita bisa jadi negara berdaulat?
Sandiwara ini, penjajahan ini hanya bisa berakhir jika kita mengembalikan SDA kepada pemiliknya. Yaitu rakyat dan negara sebagai pengelolanya. Tentunya dengan pengelolaan yang penuh amanah, tak mengambil untung, murni melayani. Jika para pemimpin negeri ini bertakwa, berpikir bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban, maka akan lahir sikap melayani rakyat dengan pelayanan yang paripurna.
Pelayanan paripurna hanya bisa diwujudkan dengan aturan Islam. Masyarakat pun akan ringan hati mengingatkan kewajiban dan tanggung jawab pemimpin serta membantu tugasnya dengan menjadi warga yang bertakwa pula.
Jika pemimpin dan rakyatnya bertakwa, maka Allah akan melimpahkan keberkahan bagi negeri tersebut. Berkah dari bumi dan dari langit. Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur'an surah Al-A'raf ayat 96.[MO/ge]
Tidak ada komentar